Kamis, 18 Desember 2008

Janganlah Anak Kami Anak Tunggal (2)

Saya tahu bagaimana rasanya. Sendiri. Ada ruang-ruang hati yang kosong, karena tidak pernah ada pertengkaran, berbagi hingga berebut atau hal lainnya layaknya sebuah keluarga dengan anggota lebih dari 3 orang. Ketika kecil saya selalu ingin berada dekat keramaian. Atau saya ajak teman-teman untuk berkumpul dirumah agar tidak merasa sepi. Saya takut suasana senyap, meskipun saat beranjak dewasa saya mulai menyukainya.

Tanpa mengurangi rasa cinta kepada kakak perempuan saya almarhum dan juga kakak lelaki saya yang berada di Jember. Terpaksa saya mesti bercerita mengapa saya bisa kesepian, padahal di tulisan terdahulu saya menyebutkan mempunyai kakak. Sebenarnya saya adalah anak tunggal. Ketika menikah dengan Ibu, Bapak adalah seorang duda dengan membawa putra sedangkan Ibu adalah seorang janda kembang yang membawa satu putra dan satu putri. Kakak lelaki putra Ibu saya meninggal ketika sekolah dasar.

Jadilah Ibu hanya membawa putri. Namun karena Ibu-pun juga putri tunggal maka putri Ibu tersebut diasuh oleh nenek. Dari perkawinan tersebut lahirlah saya, dengan cinta yang melimpah dari kedua orang tua. Cinta itu kadang menenggelamkan, namun kadang juga menjadikan saya seperti sebongkah cadas.

Saya tidak ingin anak saya merasakan kesepian dan kesendirian seperti yang saya rasakan. Saya harap, saudara kandung akan membuat mereka saling berpegangan mengarungi samudra kehidupan dan saling menguatkan ketika tertimpa persoalan.
Karena itulah, ketika putra pertama kami berusia dua tahun kami berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk mendapatkan putra ke dua. Maka dilepaslah IUD saya.

Namun setelah kami tunggu kurang lebih enam bulan, bayi yang kami harapkan tidak kunjung datang. Setelah beberapa kali kontrol, dokter meminta persetujuan saya untuk melakukan USG ‘dalam’. Saya masih ingat kata-kata dokter kandungan yang sangat kami percaya tersebut: inilah yang paling tidak saya suka. Oops, deg-deg-an saya semakin bertambah. Dokter mangatakan bahwa di salah satu rahim saya terdapat endometriosis.

Bisa diterapi namun agak lama. Jika saya menginginkan segera punya anak lagi maka terapi yang terbaik adalah dengan operasi, untuk memudahkan sperma bertemu dengan sel telur. Yang saya sukai dari dokter kandungan saya, salah satu-nya adalah dia tidak pernah mengungkapkan kekhawatirannya. Hal tersebut saya ketahui ketika operasi sudah terjadi.

Dokter menanyakan apakah selama ini ketika menstruasi saya sering merasa kesakitan. Wach saya sungguh tidak tahu bahwa hal tersebut adalah salah satu gejala yang mesti saya sampaikan. Saya pikir rasa ‘sedikit’ sakit tersebut karena saya sudah punya anak. Sehingga terdapat perbedaan ketika menstruasi. Saya anggap hal yang biasa apalagi menurut saya tidak ada keluhan lain yang cukup berarti. Saya pikir banyak wanita akan kecolongan dengan gejala ini.

Yang saya tahu, miom, kista atau endometriosis adalah jenis-jenis tumor jinak. Tidak mematikan sebagaimana kanker rahim yang sudah menyerang kakak saya almarhum. Tiga kanker terbesar wanita yang mematikan jika tidak cepat ditangani adalah Kanker Ovarium, Kanker Payudara dan Kanker serviks (kanker leher rahim).

Saya meminta waktu sebulan menyiapkan mental dan jiwa saya untuk menghadapi operasi kedua ini. Apalagi setelah saya tanyakan, apakah operasi tersebut berbeda dengan operasi Caesar ketika melahirkan? Inilah jawaban dokter kandungan saya: operasi Caesar ibaratnya membenahi sepeda motor sedangkan operasi endometriosis seperti membenahi arloji. Ooops. Sedangkan waktu yang dibutuhkan sekitar tiga jam, padahal Caesar (jika tidak ada masalah) cukup dengan 20-30 menit. Meskipun belakangan saya ketahui dengan biaya yang lebih mahal maka operasi endometriosis bisa dilakukan dengan laser sehingga waktunya relative lebih cepat.

Sebulan kemudian, sore hari saya diantar suami berangkat kerumah sakit provider dari asuransi kami. Malamnya selain puasa, usus saya ‘dibersihkan’. Sungguh tidak nyaman proses pembersihan ini. Seingat saya dengan memasukkan selang berisi air ke dalam anus saya, dibersihkan beberapa kali hingga cairan yang keluar hanya tersisa air. Maka proses pembersihan tersebut baru dianggap selesai. Nampaknya malam tersebut saya diberi obat tidur, sehingga tidur saya sangat lelap.

Esok paginya jam enam pagi saya mesti menuju ruang operasi, suster sudah menunggu. Namun saya masih membaca doa-doa yang saya kumpulkan selama sebulan. Doa-doa ini saya dapatkan dari mana-mana untuk menguatkan dan memberikan ketabahan pada saya. Untunglah dokter kandungan saya sangat paham dengan membiarkan bahkan meminta suster untuk menunggu saya menyelesaikan doa-doa tersebut hingga saya siap menunggu ruang operasi.

Jam 6 lebih 10 menit saya didorong menuju ruang operasi. Menuju ruang yang sangat dingin. Ada hiruk pikuk dari ruang operasi sebelah, ada seorang artis yang juga sedang dioperasi. Nampaknya semua orang ingin melihatnya. Tubuh saya telentang, dingin yang menyergap perlahan semakin tidak terasa, sesayup bunyi lagu yang semakin tidak terdengar. Saya tidak merasakan apapun. Batas antara hidup dan mati yang sangat tipis, mengapa hanya terasa ketika saya hendak operasi? Ketika seolah saya mendatangi maut? Bukankah seharusnya setiap saat mesti saya rasakan? Bukankah kematian bisa kapanpun dan dalam keadaan sedang bagaimanapun?

Perut saya dibedah yang ke dua kalinya, ditempat sayatan yang sama.
Keluar dari ruang operasi sekitar jam 10, saya tersenyum-senyum kepada penunggu saya. Saya tidak merasakan sakit sedikitpun, padahal kaki saya masih lumpuh belum bisa digerakkan pengaruh bius. Bahkan rasa bahagia yang mengharu-biru menyelimuti, membuat saya mudah tertawa. Esoknya saya tanyakan, mengapa setelah Caesar yang hanya 20 menit membuat saya kesakitan sedangkan operasi tiga jam ini justru membuat saya merasa nyaman. Dokter mengatakan karena ada morphin yang dimasukan melalui tangan kiri saya.

Ah itulah jawabnya, morphin dalam arti yang sebenarnya. Sangat membantu ketika pasien kesakitan. Tiga hari dirumah sakit saya tidak merasa sakit sama sekali, sakit justru agak terasa ketika hari ke empat. Ketika saya diperbolehkan pulang. Semoga saya tidak menjadi pecandu…..meskipun 3 hari saya merasakan nikmatnya morphin.
Beberapa hari kemudian saya mendapatkan informasi bahwa tumor tersebut tumor jinak. Ternyata, di awal pemeriksaan ketika ditemukan benjolan dokter mengkawatirkan jika tumor itu ganas. Apalagi dokter juga tahu ada riwayat kanker dalam keluarga kami.

Salah satu yang mesti diwaspadai adalah jika dalam keluarga terdapat riwayat cancer. Jika stadium awal keganasan tersebut bisa dilihat melalui operasi dengan memeriksakan jaringan tersebut ke laboratorium.

Taman Indah, 12 Desember 2008.

Sabtu, 22 November 2008

Ibu Saya Benar, Kadang Kata-Kata Adalah Doa (I)

Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah permintaan maaf. Saya merasa terlalu lama kita tidak berbincang-bincang melalui media yang sama-sama kita cintai ini. Jika kemarin-kemarin hal itu karena kesibukan dalam pekerjaan, sedangkan saat ini karena saya melahirkan dan sekali lagi sedang sangat menikmati mempunyai ‘mainan baru’ dirumah.

Alhamdulillah, setelah dua putra saat ini kami diberi amanah lagi seorang putri yang (menurut saya) sangat cantik. Lengkaplah sudah kebahagiaan kami. Masa mendatang, hidup kami sebagian besar hanyalah untuk memberikan dan memastikan yang terbaik bagi mereka.

Ketika saya terkapar dirumah sakit, ada banyak hal yang saya pikirkan salah satunya adalah mencoba membagi pengalaman personal saya di milis ini. Dengan harapan bisa berguna untuk orang lain khususnya bagi yang mempunyai persoalan sama dengan saya. Perut saya sudah dibelah empat kali. Sejujurnya saya ‘ngeri’ di operasi yang ke empat ini, keberanian saya tidaklah sebesar operasi pertama, kedua ataupun ketiga. Saya ingin membaginya dengan ‘bahasa saya’ dan semoga tidak membosankan. Untuk yang akan melakukan operasi yang ke empat, semoga bisa menjadi kekuatan.

Meskipun bagi sebagian orang persalinan secara Caesar lebih sebagai kecantikan, bahkan sebagian orang mengatakan agar tetap ‘perawan’. Pengalaman saya bukanlah karena salah satu alasan itu, saya harus Caesar sampai dengan tiga kali dan satu kali operasi endometriosis. Menurut dokter kandungan saya, itulah yang memang harus saya lakukan. Alhamdulillah saya sudah melewatinya, dan sampai dengan saat ini saya baik-baik aja. Saya masih diberi nafas olehNYA.

Membagi pengalaman operasi Caesar pertama, Januari 2002.

Pagi itu saya dengan beberapa teman kantor berencana pergi ke Malang. Usia kandungan saya delapan bulan satu minggu. Besuk saya dengan suami berencana control ke dokter kandungan kami. Karena setelah usia kandungan delapan bulan, kontrol di perpendek. Jika di awal-awal kelahiran perbulan, maka diusia kandungan tujuh bulan menjadi dua minggu sekali dan setelah delapan bulan menjadi setiap minggu.

Saya mempersiapkan kelahiran normal. Sebagaimana saran dokter maka salah satu olah raga yang saya lakukan adalah jalan kaki mengelilingi komplek perumahan. Olah raga ini katanya akan membuat otot-otot pinggul bergerak dan akan mempermudah proses persalinan secara normal. Tadi malam saya melakukan olah raga tersebut ditemani suami.

Sebenarnya keyakinan untuk melahirkan secara normal tidak saya dapat dengan mudah. Beberapa tahun yang lalu tepatnya ketika saya masih SMA saya mempunyai pengalaman yang cukup traumatis. Saat itu saya pernah melihat langsung kakak (almarhum) saya melahirkan anak ke-3nya di rumah. Dibantu oleh seorang Bidan, saya melihat langsung bagaimana dia ‘bertarung’ hingga bisa mengeluarkan bayinya. Melihat perjuangannya waktu itu nyali saya ciut dan miris setiap kali membayangkan proses persalinan secara normal.

Beberapa tahun kemudian ketika saya sudah di perguruan tinggi, Ibu (almarhum) bercerita melalui telp bahwa kakak saya melahirkan anak ke empatnya tanpa bantuan tenaga medis. Menurut Ibu, Bapak sudah menghubungi empat bidan yang ada di desa kami dan kebetulan ke empatnya tidak bisa membantu karena sedang menangani persalinan lain, Bidan lainnya tidak berada ditempat. Ketika ayah pulang dari perburuan mengejar empat bidan, ternyata kakak saya sudah melahirkan di rumah. Dia dibantu tetangga yang katanya punya pengalaman membantu melahirkan. Saat itu saya langsung nyeletuk” Kalau suatu saat saya hamil biarlah saya melahirkan dengan cara operasi saja”. Ibu saya langsung menangis dan marah karena menurutnya apa yang saya ucapkan adalah doa dan bisa terjadi. Beliau menangis karena operasi bagi beliau (dan mungkin kebanyakan orang desa lainnya) selalu identik dengan sesuatu yang gawat dan bahkan sering berakibat kematian.

Ibu, orang yang sangat saya cintai yang sering menjadi rujukan bagi saya akan banyak hal, meninggal sebelum sempat menyaksikan saya melahirkan. Untunglah saya bertemu Ibu mertua yang luar biasa. Beliau mempunyai 7 anak yang masih hidup (anak ke tiganya dari yang hidup adalah suami saya) dan empat yang lain meninggal ketika masih bayi maupun anak-anak. Jadi keseluruhan putra-putri beliau mestinya sebelas. Angka yang fantastis bagi saya, kakak saya (almarhum) dengan anak empat, waktu itu ayah saya memanggilnya ‘ kucing’. Panggilan itu identik dengan kakak saya yang (menurut kami sekeluarga) beranak banyak.

Menurut Ibu mertua saya yang kami panggil Umi, mintalah kepada Allah agar proses kelahiranmu dipermudah dan InsyaAllah akan diperlancar. Bahkan ketika melahirkan adik bungsu suami saya, usia Umi sudah diatas 40 tahun. Dan katanya, semua proses kelahirannya mudah, tidak sakit, biasanya setelah melahirkan beberapa jam kemudian Umi sudah bisa kembali bekerja. Memberi makan ternak yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian keluarga. Cerita-cerita Umi mendorong semangat saya untuk melahirkan normal. Jika Umi se-usia itu bisa kenapa saya mesti takut? Padahal waktu itu, wanita melahirkan berusia diatas 30 tahun sudah dianggap beresiko tinggi. Itulah salah satu tekad saya. Apalagi setelah membaca beberapa referensi saya tahu, bahwa melahirkan Caesar sebenarnya relative lebih bersiko daripada melahirkan secara normal. Tahun ini, tahun 2001 saya masih mendapatkan informasi bahwa orang yang melahirkan Caesar hanya bisa melahirkan maksimal tiga kali.

Akhirnya saya mempersiapkan mental, jiwa dan raga saya untuk melahirkan secara normal. Salah satunya dengan upaya jalan kaki tersebut. Saya juga melakukan olah raga ‘ngepel’ lantai. Banyak orang mengatakan ‘ngepel’ lantai juga akan mempermudah proses persalinan. Saya tidak ikut senam persalinan karena kebetulan waktu kerja berbenturan dengan jadwal senam tersebut. Meskipun saya tahu senam persalinan akan mempermudah proses persalinan khususnya dalam mengatur pernafasan.

Pagi itu, tidak ada yang berbeda dengan pagi-pagi lainnya. Saya bersiap-siap akan berangkat ke Malang. Sekitar jam 05.30 saya merasa sesuatu yang basah keluar seperti air kencing. Salah satu pesan dokter yang saya ingat adalah mesti berhati-hati dengan cairan apapun yang keluar dari vagina. Saya membangunkan dan melontarkan kekhawatiran saya kepada suami. Setelah saya mengganti celana dalam saya dengan yang baru, suami saya mencium celana dalam saya yang basah dan dia mengatakan baunya seperti kencing, dan dia tidur lagi.

Ketika saya mengatakan hal tersebut kepada teman kantor yang seorang dokter, dia mengatakan jangan-jangan itu air ketuban. Info tersebut saya sampaikan kepada suami dengan agak bermalas-malasan (karena kami belum tahu resiko yang akan terjadi) kami berangkat ke rumah sakit. Sejak kehamilan saya memasuki usia 7 bulan, dokter memberi kami surat pengantar jika sewaktu-waktu melahirkan di salah satu rumah sakit yang kami pilih. Thanks GOD, salah satu sahabat yang sudah melahirkan bahkan memberikan tips yang sangat berguna. Sahabat tersebut mengatakan sebaiknya ketika usia kehamilan memasuki bulan ke 7 mulai menyiapkan keperluan untuk ke rumah sakit dalam tas yang sewaktu-waktu bisa langsung dibawa. Meskipun tidak yakin, kami membawa tas tersebut.

Masih pukul 6.15 ketika kami keluar dari rumah. Uang di dompet kami sangat ‘tipis’ kami berencana mengambil uang di ATM. Ternyata ATM baru buka jam 7 pagi, kami berputar-putar menghabiskan waktu sebelum jam 7 pagi. Setelah dari ATM, kami menuju rumah bersalin yang sudah kami pilih. Kami menceritakan kondisi kami dan memberikan surat dari dokter kepada resepsionis RS tersebut. Kami diminta menunggu sebentar, lalu seseorang dengan membawa kursi roda meminta saya naik ke kursi tersebut dan dibawa ke kamar bersalin. Malu dan aneh adalah perasaan saya waktu itu, malu karena merasa sehat, tidak sakit namun kenapa mesti didorong seolah-olah saya kesakitan. Aneh, karena saya tidak merasa sakit sama sekali, perut ataupun yang lainnya. Kecuali adanya cairan yang keluar, itu saja.

Di ruang bersalin seorang Bidan menemani saya dan memasukan jari tangannya ke kemaluan saya, untuk melihat berapa bukaan yang sudah terjadi. Bidan tersebut mengatakan dua bukaan. Duh, sungguh tidak enak proses melihat bukaan tersebut. Beberapa saat kemudian, sekitar jam 8 dokter kandungan saya datang menanyakan kepada Bidan berapa bukaan, lalu meraba perut saya. Di waktu yang hampir sama Bidan tersebut bertanya kamar kelas berapa yang akan kami ambil. Kami mengatakan kelas 2 sesungguhnya kami sudah berhitung-hitung tentang hal tersebut. Jika melahirkan normal dana kami cukup menggunakan kelas 2, bukan kelas utama tapi lumayanlah.

Pasti saya menginginkan kenyamanan untuk persalinan pertama ini. Namun ternyata setelah beberapa saat meraba-raba perut saya, dokter mengatakan bahwa bayi saya ‘belum menempati posisi’ artinya kepala belum berada dibawah. Dokter mengatakan bahwa bayi saya posisinya melintang, masing serong. Dokter masih berupaya menata letak janin tersebut agar bisa dilahirkan secara normal. Namun tidak bisa. Dokter mengatakan bayi saya harus dikeluarkan dengan operasi, karena jika ketuban saya sampai habis maka bayi tersebut akan keracunan dan bisa menyebabkan kematian.

Saya tersentak, saya merasa sangat beruntung hidup di kota dimana kami bisa langsung menuju RS dan dibantu oleh dokter yang berpengalaman dengan peralatan medis yang relative lengkap. Saya membayangkan ayah saya yang mesti berlarian mencari Bidan ketika proses persalinan kakak saya. Duh jika kondisi tersebut saya alami, mungkin anak tercinta yang kami dambakan kehadirannya tidak akan pernah ada.

Saya jadi tahu mengapa angka kematian Ibu dan bayi khususnya pada saat persalinan di Indonesia masih tinggi. Saya yang relative mendapatkan banyak akses informasi masih tidak waspada dengan persalinan. Dan saya jadi paham, inilah gunanya program desa siaga, keluarga siaga, inilah gunanya program suami siaga.

Saya tercenung, ternyata kadang Allah menyentil saya dengan bahasaNYA. Agar saya tidak mudah mengumbar kata-kata. Ucapan yang saya sampaikan kepada Ibu tentang keinginan melahirkan melalui operasi, telah dijawabNYA. Meskipun Ibu saya yang menjadi saksi ucapan tersebut tidak bisa menyaksikan semua ini. Ternyata DIA tidak pernah diam, tidak tidur. Saya mesti berhati-hati dengan ucapan saya. Ibu saya benar, kata-kata kadang menjadi doa.

Kami berpindah ke ruang kelas 3 karena dengan operasi dana kami tidak cukup untuk membayar kelas 2.

Kamis, 16 Oktober 2008

Jangan Benci Cuci Tangan

Kebiasaan atau perilaku cuci tangan pakai sabun jika diterapkan dengan benar setidaknya sebelum makan dan setelah buang air besar akan meningkatkan kesehatan keluarga sampai dengan 40%. Karena kebiasaan tersebut akan memutus mata rantai penularan yang disebabkan oleh jemari tangan dan membersihkan tangan yang kotor setelah menyentuh feces. Setidaknya beberapa penyakit yang bisa dicegah akibat dari kebersihan jemari tangan adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), Typus, Colera, Disentri, Syndrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Hepatitis A.

Di Dunia, UNICEF memperkirakan setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal karena diare. Sedangkan di Indonesia, Departemen Kesehatan mengatakan dari setiap seribu bayi yang lahir, hampir 50% diantaranya mati sebelum menginjak usia lima tahun.
Jika seorang bayi terkena diare biasanya berat badannya akan turun dengan drastis, apalagi jika terjadi berulang. Diare merupakan penyumbang terbesar terhadap terjadinya gizi buruk jika tidak ditangani dengan tepat. Selain itu juga berdampak negative terhadap waktu, dan ekonomi sebuah keluarga. Padahal kebiasaan cuci tangan dengan sabun mudah dan bisa diterapkan untuk mencegah diare terjadi.

Hari ini sebuah stasiun televesi mewawancarai beberapa anak jalanan terkait dengan kebiasaan cuci tangan pakai sabun. Rata-rata mereka tahu dampak dari kebiasaan cuci tangan pakai sabun, namun dengan alasan mahal dan sulit mendapatkan air bersih yang mengalir maupun sabun akhirnya kebiasaan tersebut tidak dilakukan.

Sebuah baseline survey oleh USAID kepada 7200 responden dari seluruh Indonesia di sekitar tahun 2006 menghasilkan temuan sebagai berikut, cuci tangan pakai sabun dengan benar setelah BAB hanya dilakukan oleh 8% responden, setelah menceboki BAB anak 6,8%, sebelum menyiapkan makanan bayi 4.3%, sebelum menyiapkan makanan 2,8% dan sebelum makan 7,4%. Meskipun dilakukan pada responden yang berbeda, artinya sedikit banyak bisa diambil gambaran tahun 2006 dan saat ini perilaku masyarakat relative masih sama. Karena satu dan lain hal, kebiasaan cuci tangan pakai sabun sulit dilakukan. Padahal memberikan daya ungkit yang besar untuk meningkatkan derajat kesehatan.

Semua berpulang kepada kita, maukah kita membiarkan anak kita masuk kedalam daftar 50% Depkes sebagai balita yang meninggal ketika usianya belum genap lima tahun? Ataukah membiarkan buah hati kita (sebagai kelompok yang rentan karena ketergantungannya kepada kita) menjadi salah satu penderita gizi buruk? Ataukah sejak saat ini cuci tangan pakai sabun menjadi prioritas kita dalam berperilaku? Membiasakannya mulai dari diri sendiri dan semua keluarga? Selamat mencoba.

Senin, 29 September 2008

Dua "Narkoba" di Sekeliling Kita

Balgis Muhyidin

Menyedihkan, itu adalah ungkapan yang pertama kali muncul ketika layar kaca disibukkan dengan berita artis-artis pecandu narkoba. Ironi, dari yang usianya belasan bahkan sampai sangat senior bisa terjerat oleh godaannya. Potret ini sesungguhnya menunjukkan potret bangsa ini dalam menghadapi persoalan narkoba. Bahwa, siapapun anak bangsa ini, tua - muda mempunyai resiko untuk menjadi pecandu.

Berdasarkan pedoman Harm Reduction di Asia, dua jenis narkoba yang sangat umum ada disekeliling kita namun luput dari pengamatan adalah, yang pertama: Pelarut, Penghirup dan Zat Volatil

Sejak jaman purbakala manusia telah menghirup asap wangi-wangian, obat salep dan rempah-rempah yang dibakar sebagai bagian dari upacara keagamaan mereka. Penyalahgunaan pelarut, seperti yang kita kenal, muncul pada 1950-an di AS dan sejak itu menjalar ke sebagian besar dunia. Tiga jenis utama penghirup adalah pelarut organik, nitrat volatil dan oksida nitrous. Beberapa penghirup yang paling umum termasuk lem, penyemprot aerosol, bahan pengencer cat, produk minyak, cat dasar krom, spidol.

Menghirup dilakukan melalui mulut atau hidung. Sering kali produk dapat disemprotkan ke dalam kantong plastik atau kain lap yang direndam dan kemudian dihirup, atau secara langsung dihirup dari wadahnya. Penghirup diserap melalui paru ke dalam aliran darah, yang kemudian membawa bahan kimia dengan cepat ke otak. Bahan ini melambatkan kegiatan otak dan susunan saraf pusat. Efek yang memabukkan sering bertindak cepat (7-10 detik), hebat dan bertahan singkat tidak lebih dari 30-60 menit (beberapa penghirup hanya bertahan dua menit).

Efeknya dapat termasuk kegembiraan, pening, keadaan kelengar, disorientasi dan gangguan visual tak teratur serta berbicara mencerca. Penggunaan jangka panjang, terutama produk minyak yang mengandung timbel, dapat mengakibatkan kerusakan pada otak, hati, ginjal dan terutama paru. Kematian dapat terjadi akibat berhenti bernapas dan denyut jantung tidak teratur. Pelarut organik sering mudah tersedia, murah dan umumnya dipakai oleh orang muda saat tahun-tahun pertama di sekolah menengah pertama.

Kedua: Nikotin/Tembakau

Dikenal dan telah dipakai oleh penduduk asli Amerika pada upacara keagamaan dan peristiwa sosial seribu tahun lalu. Dikenal di Eropa pada abad ke-17, nikotin telah dipakai untuk maksud hiburan dan pengobatan. Pemakaian tembakau diperluas dengan diperkenalkannya jenis tembakau yang lebih ringan, mesin penggulung rokok otomatis, kampanye iklan secara besar-besaran dan ketika pemerintah melihat ini sebagai sumber pajak.

Nikotin, terdapat di tembakau, adalah salah satu zat yang paling adiktif yang dikenal. Nikotin adalah perangsang susunan saraf pusat (SSP) yang mengganggu keseimbangan neuropemancar. Ketergantungan fisik pada nikotin dan yang lebih penting, ketergantungan psikologis pada rokok, berkembang dengan cepat. Menghisap tembakau menghasilkan efek nikotin pada SSP dalam waktu kurang-lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada SSP dialami dalam waktu 3-5 menit.

Efek nikotin ketika tembakau dipakai dengan cara menghisap, mengunyah atau menghirup tembakau sedotan, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang, menimbulkan emfisema ringan, sebagian menghilangkan perasaan citarasa dan penciuman serta memerihkan paru. Penggunaan tembakau jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru, jantung dan pembuluh darah, dan menyebabkan kanker.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization--WHO) memperkirakan bahwa merokok bertanggung jawab terhadap kematian satu dari lima orang. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen perokok akan meninggal dunia sebelum waktunya sebagai akibat langsung dari penyakit yang disebabkan tembakau.

Toleransi pada efek nikotin berkembang dengan cepat, lebih cepat dibanding heroin dan kokain. Gejala putus zat setelah penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan sakit kepala, sifat lekas marah yang parah, ketidakmampuan berkonsentrasi, gelisah dan gangguan tidur. Ketagihan pada nikotin mungkin bertahan seumur hidup setelah berhenti memakai tembakau. Untuk yang sangat ketergantungan fisik, koyo nikotin tersedia sebagai bentuk yang secara relatif tidak berbahaya untuk menghindari efek asap tembakau yang berbahaya seperti karbon monoksida, tar, sulang asap dan hasil sambilan tembakau lainnya.

Jika dua pengguna narkoba yang ‘lazim’ diatas disebut sebagai pecandu. Maka semua data tentang pengguna narkoba jenis Heroin, Opium, Kokain, Cannabis, Amfetamin, Ecstasy, Metadon dan Halusinogen akan bertambah berlipat-lipat jumlahnya. Kita bisa lihat pengguna rokok ada dimana-mana. Lalu pertanyaannya, apakah mereka semua mesti dipenjara? Bukankah lebih bijaksana untuk menyediakan klinik ketergantungan narkoba secara gratis dengan metode yang lebih manusiawi? Membantu mereka keluar dari lingkaran ketergantungan narkoba, dengan masih mempunyai segudang harga diri. Bukan penjara, karena penjara hanya meruntuhkan harga diri dan juga asa mereka.
Penjara hanya layak untuk pembuat dan penjual narkoba.

Selasa, 12 Agustus 2008

Renungan Tahun Ajaran Baru

Biasanya, tahun ajaran baru identik dengan baju baru, tas baru, sepatu baru dan pernak-pernik sekolah lainnya yang serba baru. Mall maupun department store penuh dengan keluarga yang memilih semua perangkat itu, baik dengan label ‘sale’ ataupun tidak. Entahlah, ini kebiasaan umum, menyenangkan anak, menyenangkan orang tua atau culture?

Dalam dua minggu ini saya menikmati perayaan tersebut, menikmati peran sebagai ibu. Kebetulan anak pertama saya memasuki sekolah dasar. Terus terang ini menguras tabungan, belum lagi beberapa bulan sebelumnya mesti melunasi uang gedung yang (menurut kami) jumlahnya lumayan. Semua kami lakukan agar putra tercinta bisa bersekolah di tempat yang bagus, meskipun kantong kami jadi kempis.

Dua hari masa orientasi sekolah nampaknya berjalan lancar, ketika saya tanyakan pada putra saya, jawabnya: “Menyenangkan, Bun”. Ya, selama pengenalan sekolah dia diajak berkeliling sekolah dengan cara yang menyenangkan dan hari kedua diajak menanam pohon dengan cara yang menarik. Ops, syukurlah. Dia sangat excited bangun jam enam pagi padahal ketika di taman kanak-kanak sebelum pak becak menunggu-nya hingga seperempat jam dia belum bersiap untuk berangkat. Tidak seperti sekolah taman kanak-kanak, sekolah barunya cukup jauh membutuhkan waktu sekitar tiga perempat jam untuk sampai disana.

Hari pertama sekolah, saya mengambil cuti dan menemaninya seharian di sekolah. Kami, sebagian besar ibu-ibu bergerombol di depan sekolah dan berbincang-bincang. Dua ibu teman mengobrol saya mempunyai anak lain selain yang sekarang di kelas satu. Anak pertama mereka sudah kelas tiga sekolah dasar. Duh, saya dibuatnya stress. Bagaimana tidak, mereka mengatakan bahwa ketika putra-putri mereka duduk di kelas tiga, dari Sembilan mata pelajaran empat diantaranya dengan nilai delapan sedangkan yang lain dengan nilai Sembilan atau sepuluh, prestasi tersebut ternyata dianggap ‘ tidak bagus’. Artinya angka Sembilan dan sepuluh menjadi umum didalam kelas.

Kini, setelah dua minggu bersekolah anak saya mulai malas-malasan. Dan beberapa kali mengatakan “Sekolah tidak menyenangkan, Bun”. Duh, sedih sekali mendengarnya seolah-olah kami memenjarakannya di ruang yang tidak dia sukai. Namun bagaimana lagi nak, inilah metode pembelajaran umum di sini, kau harus bisa disemua mata pelajaran itu. Berhitungmu mungkin cepat namun manakala kau tidak bisa membaca maka kau dianggap tidak sempurna.

Saya ingat perbincangan dengan teman saya yang lulusan Harvard USA, pada umumnya di USA sampai dengan usia Sembilan tahun semua anak dibiarkan ‘bermain-main’ mereka tidak dituntut untuk bisa membaca, berhitung atau menulis. Ketika seorang anak menyukai salah satu mata pelajaran maka dia bisa focus mengambil pelajaran tersebut, tidak dituntut semua mata pelajaran harus bisa. Dan dengan metode itu, pendapatan perkapita penduduknya sangat jauh lebih baik dari negara kita. Saya merenungkan percakapan tersebut dan terlintas dalam benak saya: Adakah yang perlu dicontoh untuk kebaikan metode pembelajaran kita? Membuat anak-anak kita semakin Berjaya dengan metode yang ‘lebih ramah’?

Selasa, 01 Juli 2008

Berdamai Dengan Harga Tinggi

Dampak dari kenaikan harga BBM sangat terasa oleh keluarga, khususnya ibu selaku pengelola keuangan. Bapak, sebagai kepala keluarga yang pada umumnya merupakan tulang punggung keluarga, pasti juga bertambah pusing. Apalagi jika tidak bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Maka ibulah yang mesti berinisiatif untuk melakukan upaya-upaya tertentu agar kebutuhan keluarga tetap terjaga.

Salah satu yang mesti diperhatikan adalah pemberian makanan pokok, lauk-pauk serta sayur dan buah, karena akan mendukung tumbuh kembang anak dengan optimal. Kontribusi ini akan dirasakan dengan hadirnya generasi-generasi muda yang kuat dan sehat di masa mendatang.

Berikut adalah beberapa tips yang bisa dilakukan agar berdamai dengan harga-harga yang membuat kita semua menjerit:

1. Gunakan lahan kosong untuk menanam sayuran atau buah, misalnya pohon pepaya yang kaya dengan manfaat. Pohon pepaya daunnya bisa digunakan sebagai sayur dan buahnya biasanya bisa dimakan oleh siapapun, termasuk anak yang alergi dengan makanan tertentu.

2. Jika tidak mempunyai lahan kosong, sayuran bisa ditanam di pot-pot kecil ataupun menggunakan bamboo yang diberi lubang dan diberi tanah secukupnya dan dibuat kebun vertical. Maka, uang belanja sayur (jika mungkin buah) bisa kita simpan untuk kebutuhan lain. Selain itu, banyaknya tanaman di sekitar rumah akan membuat polusi udara semakin berkurang.

3. Jangan buang sisa makanan, tapi buatlah kompos. Kompos dari sisa makanan merupakan kompos alam yang sangat bagus untuk sayuran yang ditanam. Dengan memastikan kompos yang digunakan berasal dari kompos organic, maka sayuran yang ditanam merupakan sayuran yang tidak terkontaminasi oleh zat-zat kimia yang membahayakan tubuh. Di beberapa supermarket yang menjual sayuran maupun buah dengan menggunakan pupuk organic, harganya lebih tinggi dari sayuran maupun buah yang menggunakan pupuk an organic.

4. Bukalah semua jendela dan ventilasi rumah ketika siang hari. Selain untuk meminimalkan penggunaan listrik, sirkulasi udara yang berganti akan memberikan udara baru yang lebih segar. Panas matahari yang masuk akan membunuh sebagaian kuman-kuman yang berada di dalam ruangan.

5. Tampunglah air hujan sebanyak mungkin, untuk mengurangi biaya penggunaan air PDAM juga untuk mengurangi krisis air bersih yang sudah banyak melanda di beberapa tempat di Indonesia. Jika tidak mungkin menampung air, gunakan air seperlunya. Tutup kran air begitu tempat air penuh.

6. Kurangi minuman yang manis. Jika sebelumnya untuk satu gelas teh gula menggunakan 3 sendok, maka cobalah selama seminggu menggunakan 2 sendok gula, dan minggu setelahnya menjadi satu sendok gula. Secara perlahan kita mengurangi ketergantungan terhadap gula, dan juga mengurangi kemungkinan penyakit diabetes.

7. Cobalah untuk tidak tergiur dengan model-model baju baru. Upayakan baju yang dikenakan merupakan padu padan antara baju yang satu dengan baju yang lain, atau tambahkan aksesoris berupa selendang, bros sehingga memberikan kesan beda.

8. Datanglah di setiap acara kenduri. Biasanya tuan rumah selalu memasak berlebih, jika banyak undangan tidak datang maka makanan banyak tersisa. Dengan adanya kenduri jatah makan malam bisa dikurangi.

Beberapa hal di atas mungkin tidak serta merta bisa diterapkan. Yang terpenting adalah kemauan untuk mencoba. Dengan kebiasaan tersebut, jika dalam satu hari kita bisa mengurangi biaya yang dikeluargakan sebanyak Rp. 5.000,- maka dalam satu tahun atau 365 hari, akan tersimpan Rp. 1.825.000,- Uang tersebut bisa untuk dana pensiun atau kebutuhan urgent lainnya.

Dalam hal penggunaan kompos, menampung air hujan, dan tidak selalu membeli baju model baru selain berdamai dengan harga, kegiatan tersebut juga membuat kita berdamai dengan bumi. Membuat lebih lama penggunaan TPA (Tempat Penampungan Akhir) sampah, melindungi air dan mengurangi sampah kain dari model baju yang selalu berganti.
Akhirnya, selamat mencoba!

Jumat, 27 Juni 2008

Imunisasi Yuuk…

Imunisasi adalah upaya pemberian kekebalan kepada seseorang agar terhindar dari penyakit-penyakit tertentu. Bisa diberikan kepada orang dewasa maupun balita. Tulisan ini sengaja di batasi imunisasi pada bayi dibawah satu tahun, dengan asumsi bayi di bawah satu tahun adalah kelompok yang rentan untuk terkena penyakit yang dapat menyebabkan sakit berat, kecacatan atau bahkan kematian.

Indonesia memulai upaya imunisasi tahun 1956 di Pulau Jawa dengan vaksin cacar. Bahkan tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Secara nasional dikembangkan vaksinasi cacar dan BCG tahun 1973. Begitulah, hingga saat ini dikenal bermacam-macam vaksin untuk balita bahkan orang dewasa. Namun karena keterbatasan pemerintah, maka secara gratis Pemerintah hanya bisa menyediakan lima vaksin dasar untuk bayi dibawah satu tahun. Lima vaksin tersebut adalah Hepatitis B (HB), Polio, BCG, DPT dan Campak. Yang dilakukan dengan cara menyuntik (vaksin Hepatitis B, BCG, DPT dan campak) atau dengan meneteskan di mulut (vaksin polio).

Beberapa tahun terakhir kini, bahkan beberapa virus yang sudah mulai menghilang justru muncul lagi, sehingga beberapa kali pemerintah melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Yang memakan biaya sungguh besar. Padahal jika masyarakat mau datang secara rutin untuk mengimunisasikan anaknya PIN tidak perlu dilakukan.

Sebagai informasi, Imunisasi hepatitis B adalah untuk melindungi anak dari penyakit hepatitis B (kuning) yang dapat merusak hati atau menimbulkan kanker hati pada usia dewasa. Imunisasi BCG untuk melindungi anak dari penyakit tuberkulosis (TBC) yang dapat menyerang paru, otak dan tulang. Imunisasi Polio untuk melindungi anak dari penyakit Polio yang dapat menyebabkan kelumpuhan.

Imunisasi DPT untuk melindungi anak dari 3 penyakit berbahaya : Difteri, Pertusis dan Tetanus. Penyakit Difteri dapat menyerang saluran nafas dan jantung. Penyakit Pertusis (batuk rejan, batuk seratus hari) dapat menyerang paru dan telinga. Penyakit Tetanus dapat menyerang syaraf dan otot, Ketiga penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi DPT. Imunisasi Campak untuk melindungi anak dari penyakit campak yang dapat menyerang paru, usus, mata dan otak.

Jadi setelah tahu manfaat imunisasi untuk bayi ketika dewasa kelak, apalagi yang kita tunggu? Yukk kita bawa bayi, keponakan dan adik kita ke pusat pelayanan imunisasi terdekat. Yaitu; posyandu, puskesmas, Rumah Sakit, Dokter Keluarga atau Dokter Spesialis Anak.

Jumat, 13 Juni 2008

Ketika Coklat Membuat "Sakaw"

Balgis Muhyidin

Hmmm, yummy,..

Siapapun yang membayangkan coklat, pasti tergiur. Coklat yang konon bisa membuat relax itu bisa dikonsumsi siapa saja. Bahkan beberapa keluarga lebih memilih anak-anaknya mengkonsumsi coklat, daripada permen jenis lain. Berlasan memang, karena coklat mengandung beberapa zat yang bermanfaat untuk pertumbuhan. Namun belakangan, ditemukan zat adiktif dalam balutan coklat. Bagaimana mengontrol hal ini?

Bisa dibayangkan jika sejak sekolah dasar si anak sudah mengkonsumsi narkoba dari jenis yang paling ringan sekalipun, dosis akan selalu ditambah untuk mendapatkan efek yang sama. Semula dirasa tidak enak, namun lama kelamaan akan menimbulkan kecanduan. Aksi "cerdas" ini dilakukan bandar narkoba sebagai upaya membuka "pasar" baru produknya.

Belakangan, agen bandar pun kabarnya semakin berani menjualnya secara terang-terangan. Bahkan, jika semula hanya berbagai jenis obat yang bisa menimbulkan kantuk atau halusinasi ringan lama kelamaan akan ditawari jenis narkoba lainnya yang lebih ‘greng’. Misalnya jenis heroin atau putaw yang pasti akan ditawarkan ketika narkoba jenis lainnya dirasa tidak memberikan efek seperti yang diharapkan.

Padahal ketika narkoba digunakan dengan cara menyuntik maka masalah lain muncul, yaitu adanya risiko untuk terjadinya penularan HIV/AIDS. Kejadian ini bisa menimpa siapa saja. Apa jadinya negeri ini jika menimpa sebagian besar generasi muda Indonesia? Yang awalnya hanya karena kebiasaan mengkonsumsi coklat?

"Nak, coklat apa yang kamu makan itu?!"