Sabtu, 22 November 2008

Ibu Saya Benar, Kadang Kata-Kata Adalah Doa (I)

Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah permintaan maaf. Saya merasa terlalu lama kita tidak berbincang-bincang melalui media yang sama-sama kita cintai ini. Jika kemarin-kemarin hal itu karena kesibukan dalam pekerjaan, sedangkan saat ini karena saya melahirkan dan sekali lagi sedang sangat menikmati mempunyai ‘mainan baru’ dirumah.

Alhamdulillah, setelah dua putra saat ini kami diberi amanah lagi seorang putri yang (menurut saya) sangat cantik. Lengkaplah sudah kebahagiaan kami. Masa mendatang, hidup kami sebagian besar hanyalah untuk memberikan dan memastikan yang terbaik bagi mereka.

Ketika saya terkapar dirumah sakit, ada banyak hal yang saya pikirkan salah satunya adalah mencoba membagi pengalaman personal saya di milis ini. Dengan harapan bisa berguna untuk orang lain khususnya bagi yang mempunyai persoalan sama dengan saya. Perut saya sudah dibelah empat kali. Sejujurnya saya ‘ngeri’ di operasi yang ke empat ini, keberanian saya tidaklah sebesar operasi pertama, kedua ataupun ketiga. Saya ingin membaginya dengan ‘bahasa saya’ dan semoga tidak membosankan. Untuk yang akan melakukan operasi yang ke empat, semoga bisa menjadi kekuatan.

Meskipun bagi sebagian orang persalinan secara Caesar lebih sebagai kecantikan, bahkan sebagian orang mengatakan agar tetap ‘perawan’. Pengalaman saya bukanlah karena salah satu alasan itu, saya harus Caesar sampai dengan tiga kali dan satu kali operasi endometriosis. Menurut dokter kandungan saya, itulah yang memang harus saya lakukan. Alhamdulillah saya sudah melewatinya, dan sampai dengan saat ini saya baik-baik aja. Saya masih diberi nafas olehNYA.

Membagi pengalaman operasi Caesar pertama, Januari 2002.

Pagi itu saya dengan beberapa teman kantor berencana pergi ke Malang. Usia kandungan saya delapan bulan satu minggu. Besuk saya dengan suami berencana control ke dokter kandungan kami. Karena setelah usia kandungan delapan bulan, kontrol di perpendek. Jika di awal-awal kelahiran perbulan, maka diusia kandungan tujuh bulan menjadi dua minggu sekali dan setelah delapan bulan menjadi setiap minggu.

Saya mempersiapkan kelahiran normal. Sebagaimana saran dokter maka salah satu olah raga yang saya lakukan adalah jalan kaki mengelilingi komplek perumahan. Olah raga ini katanya akan membuat otot-otot pinggul bergerak dan akan mempermudah proses persalinan secara normal. Tadi malam saya melakukan olah raga tersebut ditemani suami.

Sebenarnya keyakinan untuk melahirkan secara normal tidak saya dapat dengan mudah. Beberapa tahun yang lalu tepatnya ketika saya masih SMA saya mempunyai pengalaman yang cukup traumatis. Saat itu saya pernah melihat langsung kakak (almarhum) saya melahirkan anak ke-3nya di rumah. Dibantu oleh seorang Bidan, saya melihat langsung bagaimana dia ‘bertarung’ hingga bisa mengeluarkan bayinya. Melihat perjuangannya waktu itu nyali saya ciut dan miris setiap kali membayangkan proses persalinan secara normal.

Beberapa tahun kemudian ketika saya sudah di perguruan tinggi, Ibu (almarhum) bercerita melalui telp bahwa kakak saya melahirkan anak ke empatnya tanpa bantuan tenaga medis. Menurut Ibu, Bapak sudah menghubungi empat bidan yang ada di desa kami dan kebetulan ke empatnya tidak bisa membantu karena sedang menangani persalinan lain, Bidan lainnya tidak berada ditempat. Ketika ayah pulang dari perburuan mengejar empat bidan, ternyata kakak saya sudah melahirkan di rumah. Dia dibantu tetangga yang katanya punya pengalaman membantu melahirkan. Saat itu saya langsung nyeletuk” Kalau suatu saat saya hamil biarlah saya melahirkan dengan cara operasi saja”. Ibu saya langsung menangis dan marah karena menurutnya apa yang saya ucapkan adalah doa dan bisa terjadi. Beliau menangis karena operasi bagi beliau (dan mungkin kebanyakan orang desa lainnya) selalu identik dengan sesuatu yang gawat dan bahkan sering berakibat kematian.

Ibu, orang yang sangat saya cintai yang sering menjadi rujukan bagi saya akan banyak hal, meninggal sebelum sempat menyaksikan saya melahirkan. Untunglah saya bertemu Ibu mertua yang luar biasa. Beliau mempunyai 7 anak yang masih hidup (anak ke tiganya dari yang hidup adalah suami saya) dan empat yang lain meninggal ketika masih bayi maupun anak-anak. Jadi keseluruhan putra-putri beliau mestinya sebelas. Angka yang fantastis bagi saya, kakak saya (almarhum) dengan anak empat, waktu itu ayah saya memanggilnya ‘ kucing’. Panggilan itu identik dengan kakak saya yang (menurut kami sekeluarga) beranak banyak.

Menurut Ibu mertua saya yang kami panggil Umi, mintalah kepada Allah agar proses kelahiranmu dipermudah dan InsyaAllah akan diperlancar. Bahkan ketika melahirkan adik bungsu suami saya, usia Umi sudah diatas 40 tahun. Dan katanya, semua proses kelahirannya mudah, tidak sakit, biasanya setelah melahirkan beberapa jam kemudian Umi sudah bisa kembali bekerja. Memberi makan ternak yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian keluarga. Cerita-cerita Umi mendorong semangat saya untuk melahirkan normal. Jika Umi se-usia itu bisa kenapa saya mesti takut? Padahal waktu itu, wanita melahirkan berusia diatas 30 tahun sudah dianggap beresiko tinggi. Itulah salah satu tekad saya. Apalagi setelah membaca beberapa referensi saya tahu, bahwa melahirkan Caesar sebenarnya relative lebih bersiko daripada melahirkan secara normal. Tahun ini, tahun 2001 saya masih mendapatkan informasi bahwa orang yang melahirkan Caesar hanya bisa melahirkan maksimal tiga kali.

Akhirnya saya mempersiapkan mental, jiwa dan raga saya untuk melahirkan secara normal. Salah satunya dengan upaya jalan kaki tersebut. Saya juga melakukan olah raga ‘ngepel’ lantai. Banyak orang mengatakan ‘ngepel’ lantai juga akan mempermudah proses persalinan. Saya tidak ikut senam persalinan karena kebetulan waktu kerja berbenturan dengan jadwal senam tersebut. Meskipun saya tahu senam persalinan akan mempermudah proses persalinan khususnya dalam mengatur pernafasan.

Pagi itu, tidak ada yang berbeda dengan pagi-pagi lainnya. Saya bersiap-siap akan berangkat ke Malang. Sekitar jam 05.30 saya merasa sesuatu yang basah keluar seperti air kencing. Salah satu pesan dokter yang saya ingat adalah mesti berhati-hati dengan cairan apapun yang keluar dari vagina. Saya membangunkan dan melontarkan kekhawatiran saya kepada suami. Setelah saya mengganti celana dalam saya dengan yang baru, suami saya mencium celana dalam saya yang basah dan dia mengatakan baunya seperti kencing, dan dia tidur lagi.

Ketika saya mengatakan hal tersebut kepada teman kantor yang seorang dokter, dia mengatakan jangan-jangan itu air ketuban. Info tersebut saya sampaikan kepada suami dengan agak bermalas-malasan (karena kami belum tahu resiko yang akan terjadi) kami berangkat ke rumah sakit. Sejak kehamilan saya memasuki usia 7 bulan, dokter memberi kami surat pengantar jika sewaktu-waktu melahirkan di salah satu rumah sakit yang kami pilih. Thanks GOD, salah satu sahabat yang sudah melahirkan bahkan memberikan tips yang sangat berguna. Sahabat tersebut mengatakan sebaiknya ketika usia kehamilan memasuki bulan ke 7 mulai menyiapkan keperluan untuk ke rumah sakit dalam tas yang sewaktu-waktu bisa langsung dibawa. Meskipun tidak yakin, kami membawa tas tersebut.

Masih pukul 6.15 ketika kami keluar dari rumah. Uang di dompet kami sangat ‘tipis’ kami berencana mengambil uang di ATM. Ternyata ATM baru buka jam 7 pagi, kami berputar-putar menghabiskan waktu sebelum jam 7 pagi. Setelah dari ATM, kami menuju rumah bersalin yang sudah kami pilih. Kami menceritakan kondisi kami dan memberikan surat dari dokter kepada resepsionis RS tersebut. Kami diminta menunggu sebentar, lalu seseorang dengan membawa kursi roda meminta saya naik ke kursi tersebut dan dibawa ke kamar bersalin. Malu dan aneh adalah perasaan saya waktu itu, malu karena merasa sehat, tidak sakit namun kenapa mesti didorong seolah-olah saya kesakitan. Aneh, karena saya tidak merasa sakit sama sekali, perut ataupun yang lainnya. Kecuali adanya cairan yang keluar, itu saja.

Di ruang bersalin seorang Bidan menemani saya dan memasukan jari tangannya ke kemaluan saya, untuk melihat berapa bukaan yang sudah terjadi. Bidan tersebut mengatakan dua bukaan. Duh, sungguh tidak enak proses melihat bukaan tersebut. Beberapa saat kemudian, sekitar jam 8 dokter kandungan saya datang menanyakan kepada Bidan berapa bukaan, lalu meraba perut saya. Di waktu yang hampir sama Bidan tersebut bertanya kamar kelas berapa yang akan kami ambil. Kami mengatakan kelas 2 sesungguhnya kami sudah berhitung-hitung tentang hal tersebut. Jika melahirkan normal dana kami cukup menggunakan kelas 2, bukan kelas utama tapi lumayanlah.

Pasti saya menginginkan kenyamanan untuk persalinan pertama ini. Namun ternyata setelah beberapa saat meraba-raba perut saya, dokter mengatakan bahwa bayi saya ‘belum menempati posisi’ artinya kepala belum berada dibawah. Dokter mengatakan bahwa bayi saya posisinya melintang, masing serong. Dokter masih berupaya menata letak janin tersebut agar bisa dilahirkan secara normal. Namun tidak bisa. Dokter mengatakan bayi saya harus dikeluarkan dengan operasi, karena jika ketuban saya sampai habis maka bayi tersebut akan keracunan dan bisa menyebabkan kematian.

Saya tersentak, saya merasa sangat beruntung hidup di kota dimana kami bisa langsung menuju RS dan dibantu oleh dokter yang berpengalaman dengan peralatan medis yang relative lengkap. Saya membayangkan ayah saya yang mesti berlarian mencari Bidan ketika proses persalinan kakak saya. Duh jika kondisi tersebut saya alami, mungkin anak tercinta yang kami dambakan kehadirannya tidak akan pernah ada.

Saya jadi tahu mengapa angka kematian Ibu dan bayi khususnya pada saat persalinan di Indonesia masih tinggi. Saya yang relative mendapatkan banyak akses informasi masih tidak waspada dengan persalinan. Dan saya jadi paham, inilah gunanya program desa siaga, keluarga siaga, inilah gunanya program suami siaga.

Saya tercenung, ternyata kadang Allah menyentil saya dengan bahasaNYA. Agar saya tidak mudah mengumbar kata-kata. Ucapan yang saya sampaikan kepada Ibu tentang keinginan melahirkan melalui operasi, telah dijawabNYA. Meskipun Ibu saya yang menjadi saksi ucapan tersebut tidak bisa menyaksikan semua ini. Ternyata DIA tidak pernah diam, tidak tidur. Saya mesti berhati-hati dengan ucapan saya. Ibu saya benar, kata-kata kadang menjadi doa.

Kami berpindah ke ruang kelas 3 karena dengan operasi dana kami tidak cukup untuk membayar kelas 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar