Selasa, 31 Maret 2009

Kejaiban, Membuka Pintu yang Diliputi Lara

Balgis Muhyidin

Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Semua yang menyedihkan pasti ada hikmaknya. Terjadi pada kami dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Membukakan pintu hati kami yang semula diliputi lara.

Hari itu, usia bayi kami hampir tujuh bulan tiba-tiba badan saya demam tinggi. Bahkan beberapa teman di kantor mengatakan saking panasnya muka saya sampai memerah. Tidak sampai bubaran kantor pimpinan menyuruh saya pulang karena saya terlihat kepayahan. Karena tidak tahu panasnya disebabkan oleh apa, maka dirumah saya tidak berani mendekati bayi saya. Selain ASI (Air Susu Ibu) dia sudah mendapatkan susu formula sehingga dia tidak kelaparan. Selain itu dia juga sudah berkenalan dengan beberapa makanan pendamping ASI (MPASI).

Jadilah esok harinya saya ke rumah sakit karena panas saya tidak kunjung reda. Dokter di UGD mengatakan bahwa saya kemungkinan terkena campak Jerman, dan harus menginap di RS untuk di observasi. Dia menunjukkan bahwa di sekujur badan saya pasti muncul bercak-bercak. Saya mengidap alergi, dan kadang badan saya muncul bercak-bercak seperti saat ini meskipun tidak pernah dibarengi demam. Dari hasil laboratorium internist mengatakan bahwa saya terkena typus.

Karena demam yang masih tinggi maka dia juga mengkawatirkan saya terkena Demam Berdarah (DB). Banyaknya kasus DB yang mebuat dokter kecolongan karena perubahan-perubahan gejalanya, maka dokter menyarakan saya tetap di RS. Setelah lima hari, saya mendapat kepastian bahwa panas tinggi saya bukan karena DB, maka esoknya saya diperbolehkan pulang. Demam saya sudah menghilang.

Seminggu kemudian, saya merasa ada yang salah dengan tubuh saya, rasanya tidak enak. Dan setelah saya ingat-ingat nampaknya karena saya tidak mens. Saya pikir (sebagai orang awam) mungkin karena banyaknya antibiotic yang saya terima ketika di RS. Untuk mamastikan hal tersebut kami mengunjungi dokter kandungan kami. Sungguh tidak kami duga, dokter mengatakan bahwa saya hamil sekitar lima minggu. Artinya ketika menginap di RS saya sudah hamil. Sebagai antisipasi dokter kandungan berkomunikasi dengan internist yang merawat saya untuk mendapatkan informasi antibiotic apa saja yang sudah diberikan.

Saya juga menceritakan diagnose awal dari dokter UGD bahwa saya terkena campak Jerman. Meskipun tidak mengatakan apa-apa, dia mengatakan bahwa ada serangkaian test yang harus saya jalani untuk memastikan apakah memang campak Jerman. Namun dilubuk hati saya, terasa ada yang salah. Dan menurut saya (meskipun suami saya berpendapat berbeda) saya melihat raut muka dokter kandungan kami tidak berbahagia. Tidak biasanya dokter kandungan kami begitu, biasanya untuk setiap proses kehamilan dia akan menyalami kami dan mengucapkan selamat.

Setelah beberapa hari, kami membawa hasil test tersebut. Dipastikan saya memang positif terkena campak Jerman. Dr. Kandungan mengatakan bahwa kemungkinan selama ini saya tidak pernah terkena campak, karena campak hanya sekali seumur hidup. Yang lebih memukul kepala kami lebih keras lagi adalah, jika seorang wanita hamil di tri semester pertama terkena campak Jerman maka dipastikan 98% bayi yang dikandungnya akan mengalami, buta, tuli, bisu dan cacat permanen lainnya. Suami saya tertegun seperti patung, saya tahu saat seperti ini saya tidak bisa mengandalkannya untuk menenangkan hati saya yang retak.

Ya Allah bagaimana bisa? Meskipun dua anak lelaki bagi kami sudah cukup, bukan berarti kami tidak akan menerimanya jika kami kau beri satu lagi. Adakah hal lain yang bisa kami lakukan agar kemungkinan 2% tersebut adalah keajaiban? Sebagai seorang ahli, saran apa yang bisa dokter berikan? Beliau mengatakan: dikuret. Tidak adakah jalan lain? Tidak adakah hal lain yang bisa dilakukan oleh Ilmu kedokteran? Ilmu kedokteran sejauh ini membantu mendiagnosa sehingga kita bisa memiliki pilihan-pilihan yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Hanya itu. Dokter memperbolehkan kami pulang dengan pesan, keputusan mesti segera diambil atau too late.

Berhari-hari saya seperti hilang kesadaran, seperti tubuh saya dicacah dan jiwa saya melompat-lompat tanpa tentu rimbanya. Saya yang tidak mempunyai saudara, saya yang jika dunia ini belum cukup padat ingin mempunyai anak banyak. Dan sekarang saya dihadapkan pada pilihan seperti ini? Bagaimana jika saya mempertahankannya, dan sepanjang hidup saya melihatnya hanya terkapar di tempat tidur? Bagaimana jika suatu saat kelak dia justru menghakimi saya karena membiarkannya hidup dalam keadaan seperti itu? Buta, tuli, bisu dan cacat lainnya? Bagaimana bila dia termasuk yang 2%. Adakah selama ini bukti dari 2%?.

Orang-orang yang kami cintai yang mengelilingi kami, yang tahu banyak ajaran agama lebih berpikir rasional. Bahwa sebelum usia tiga bulan dengan alasan yang kuat, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, mampukah saya ‘membuangnya? Sekarang saja jiwa saya serasa tercabut seluruhnya.

Untunglah saya mempunyai dua wajah malaikat di samping saya, keceriaan dan tangisan mereka menjadi satu-satunya penghubung saya dengan dunia nyata. Kami harus mengambil keputusan, putra kami membutuhkan saya. Mereka tidak membutuhkan mayat hidup disamping mereka.

Seandainya imunisasi campak sudah diberikan gratis seperti saat ini, pada bayi-bayi ketika berusia 9 bulan. Mungkin kami tidak akan pernah dihadapkan pada pilihan simalakama ini. Kami mengambil keputusan. Keputusan yang meremuk redamkan. Keputusan yang membawa sebagaian jiwa kami hilang.

Hari ini tepat putra kami yang kedua berusia 3 tahun, waktu berlalu dari dua setengah tahun waktu yang menyedihkan. Kami hanya manusia, mencoba membuat pilihan. Semoga pilihan tersebut tidak salah.

Bukannya mudah, menatap ruang operasi yang dingin. Saya mengalami operasi ke empat. Masih melintang dan perih. Dan putri kami menangis keras-keras. Dia memberikan kebahagiaan yang dalam. Kami memanggilnya Aya, yang artinya keajaiban.