Jumat, 24 April 2009

Obrolan Di Arisan Bulan Ini

Balgis Muhyidin

Sebulan sekali ibu-ibu di perumahan tempat saya tinggal, mengadakan arisan. Selain Arisan, kami membicarakan kegiatan kampung lainnya. Kebersihan, Tujuh Belasan, donor darah, keamanan, pengajian adalah topik-topik langganan kami. Namun topik tersebut tidak muncul di arisan bulan April ini. Topik yang muncul adalah seputar berita tentang pemilu 2009. Berita tentang partai mana yang mendulang suara tertinggi atau terendah tidaklah terlalu menarik hati, namun Calon Legislatif/ Caleg yang stres dan tingkah polah caleg-caleg yang kami dengar dari TV mendominasi pertemuan kami bulan ini.

Sebutlah Ibu Ina, dia mengatakan seperti ini: “waduh kalau kalah lalu jadi penghuni rumah sakit jiwa, terus kalau jadi bagaimana donk?” Mungkin maksudnya dengan stresnya caleg tersebut menandakan dia kurang kuat menghadapi ujian, lalu bagaimana jika jadi DPR/DPRD ketika menghadapi persoalan? Bukankah dia wakil rakyat yang harus memikirkan persolan rakyat yang cukup kompleks? Bagaimana mereka menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan budgeting jika mereka mudah patah?

Tapi Bu Lasmi (bukan nama sebenarnya) justru mengatakan seperti ini: “Jangan – jangan DPR/D kita pun saat ini banyak dijabat oleh orang-orang yang kurang waras, meskipun tidak menghadapi kekalahan dan stres, namun mereka stres melihat iming-iming uang dan wanita. “Kasus korupsi dan perbuatan asusila banyak menimpa wakil rakyat kita, itupun yang ketahuan”. Imbuhnya.

Bu Dila tetangga samping kanan saya ikut nimbrung:” lebih memalukan lagi mereka yang tidak terpilih, karpet, aspal dan alat musik yang sudah disumbangkan diambil kembali”
“Wanita dari partai Petruk bahkan bunuh diri, padahal dia sedang hamil” papar bu Novi. Begitulah mulai jam 7 sampai jam 9 malam, kami masih asyik membicarakan perilaku-perilaku caleg tersebut. Calon wakil-wakil rakyat, wakil-wakil kami. Orang orang yang nantinya menyuarakan kepentingan kami. Orang-orang dimana harapan kami gantungkan.

Dengan sistim perolehan suara terbanyak maka caleg-caleg nomor urut besar sama optimisnya dengan caleg nomor urut kecil. Kadang keoptimisan itu membutakan dari kekurangan. Menghabiskan apapun yang dipunya tanpa kalkulasi yang matang.
Banyaknya partai baru, memudahkan siapapun menjadi caleg. Bahkan mereka yang tidak pernah mendapatkan pengalaman berorganisasi. Di kantor, salah satu teman saya mengatakan bahwa DPR/D kita hanya akan dihuni oleh dua kelompok. Yaitu, pedagang dan kyai. Pedagang bisa lolos karena mereka punya uang, sedangkan kyai bisa lolos karena mereka punya massa. Sedangkan mereka yang memang kapable, belum tentu akan dipilih oleh rakyat.

Teman saya yang lain justru mengatakan bahwa dia menyukai model pemilihan sebelumnya. Pemilu legislatif dengan menggunakan no urut tertinggi. Karena sampai dengan detik terakhir pemilu legislatif 9 April lalu dia masih belum mengenal salah satu caleg didaerahnya. Menurutnya, dengan system no urut tertinggi, partai politik sudah melakukan seleksi awal. Selanjutnya kredibilitas partai politik yang akan mempengaruhi pilihannya.

Saya sendiri lebih suka mengatakan bahwa saat ini Negara kita sedang berbenah setelah sekian lamanya dalam hegemoni kekuasaan yang sama. Semoga dengan berjalannya waktu kedewasaan berpolitik untuk caleg dimasa yang akan datang lebih matang dan ‘siap’ bertarung. Lebih siap menerima kekalahan, dan jika menang menjadi amanah dan setia terhadap rakyat. Selamanya, tidak mencederai kepercayaan pemilihnya.

Ketika duduk di sekolah dasar saya sangat menyukai buku silat kho ping ho. Salah satu wejangan dalam bukunya (saya lupa edisinya) kho ping ho menulis untuk bisa merasakan gurih dan manisnya kehidupan maka kita terlebih dahulu mesti merasakan kecut dan pahitnya kehidupan. Bagaimana kita bisa mengatakan hal tersebut manis, jika sebelumnya kita tidak pernah merasakan pahit?

9 April sudah kita lewati. The show must go on. Meskipun masih ada kekisruhan DPT, ketidakpuasan dari beberapa pihak, caleg yang stress dan persoalan-persoalan lainnya. Bagaimanapun, semoga terpilih caleg-caleg yang baik, santun dan amanah. Mungkin tidak seluruhnya tapi pada merekalah harapan bumi tercinta ini digantungkan.

Surabaya, 21 April 2009