Selasa, 29 Desember 2009

Nasibmu TKI

Balqis Muhyidin

Mungkin judul tulisan ini, Nasibmu TKI (Tenaga Kerja Indonesia) seolah olah menyatakan bahwa saya tidak berpihak kepada mereka. Bahwa apapun yang terjadi dengan mereka, ya persoalan mu alias dirimu sendiri bukan diri kami atau diri kita, bukan saya. Karena itu tidak salah jika selama tahun 2009 seribu delapan belas TKI (Jawa Pos, 18 Desember 2009) tewas ketika bekerja, dan saya – kita! terkesan tidak berdaya mencegahnya.

Seribu delapan belas TKI, bukanlah sekedar angka namun jumlah jiwa. Jumlah yang tidak sedikit. Jiwa warga negara Indonesia, karena keterbatasan lapangan pekerjaan yang dimiliki oleh Negara ini mengadu nasib ke negeri lain. Demi kelangsungan hidup keluarga. Memenuhi urusan perut, kadang banyak perut yang harus mereka tanggung. Sepadankah jika siksaan bahkan kematian yang mereka peroleh?

Ketika saya membaca alasan beberapa TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Menterjemahkan alasan kepulangan, ketika suami saya bekerja di salah satu asuransi yang mengurusi TKI di Jawa Timur. Saya, sering mengeryitkan dahi. Bagaimana tidak, alasan-alasan itu bagi saya pribadi sungguh tidak masuk akal. Sungguh tidak manusiawi. Antara lain, TKW tersebut dipulangkan karena keringatnya bau. Karena anjingnya tidak suka dsb…dsb. Se-rendah itukah, harga tenaga kerja wanita kita? Sehingga seekor anjing bisa menjadi persoalan baginya untuk tidak mendapatkan pekerjaan?

Tulisan ini bukan meniadakan bahwa mungkin tenaga kerja kita terkadang mempunyai persoalan-persoalan internal yang mesti diselesaikan. Namun, tidak bisakah kita mengirim mereka untuk menjadi lebih professional, sehingga orang tidak semena-mena kepada mereka?

Saya tidak pernah ada di birokrat, sehingga mungkin apa yang saya sampaikan terkesan mustahil bagi birokrat. Benarkah? Jika menurut kaca mata sederhana saya, hal ini hanya tentang dua hal. Satu, menyiapkan mereka seoptimal mungkin sebelum berangkat, pelatihan-pelatihan yang bisa dicerna dengan cepat dan mudah dimengerti. Bisa diaplikasikan dan memang berguna untuk pekerjaan mereka kelak.

Tidak ada salahnya memberi info tambahan tentang Negara yang dituju berikut kebiasaan-kebiasaan dan etika masyarakatnya. Bagus juga jika ditambah dengan pelatihan kepribadian sederhana. Sehingga mereka bisa menjadi tenaga kerja yang bisa menempatkan diri dan menyenangkan. Dengan sendirinya akan meningkatkan price dari TKI/TKW.

Dua, Negara tercinta ini membuat hubungan diplomatis yang setara dengan Negara penerima TKI/TKW. Membuat hotline 24 jam, buku saku atau apalah yang bisa mereka akses dalam kondisi darurat. Dan juga secara rutin KBRI setempat mengecek keberadaan warganya, berbicara langsung dengannya. Sehingga kasus-kasus penyekapan sekian bulan bisa diminimalkan.

Saya menyadari adanya TKI/TKW yang berangkat secara illegal. Menyulitkan penanganannya. Benarkah itu? Bukankah petugas immigrasi, bandara/ pelabuhan adalah pegawai pemerintah? Bukankah masih berada dalam satu lini untuk koordinasi? Benarkah itu masalah yang tidak bisa dipecahkan? Bukankah kita punya data wilayah-wilayah sending area atau wilayah-wilayah yang banyak mengirimkan TKI, bisa khan kita mulai melakukan sesuatu dari sana?

Ketika TKI/TKW menjadi tenaga kerja yang mumpuni dan handal, saya pikir keringat bau ataupun alasan yang tidak masukan akal lainnya tidak akan dengan mudah mendepak mereka. Dengan mempertimbangkankan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi TKI/TKW yang tidak murah. Sungguh menyedihkan jika mereka mesti dipulangkan hanya dalam kurun waktu satu atau dua bulan. Meskipun itu masih lebih baik dari pada mereka hanya pulang berupa jasad.

Saya yakin seseorang bisa melakukannya. Seseorang yang mau dan mempunyai kesempatan. Membenahi kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan TKI/ TKW. Semoga, orang yang punya kewenangan agar dampaknya bisa lebih besar. Sehingga teman-teman, saudara-saudara kita ketika kembali ke tanah air, tidak hanya nama. Ketika pulang, mereka bisa menikmati hasil jerih payah dalam keadaan sehat, berkumpul dengan keluarga. Mengganti waktu waktu penuh kerinduan dan kerja keras yang sudah dilakukan sebelumnya. Untuk itulah, seharusnya keringat mereka menetes.

Di Taman yang Indah, 19 December 2009

Jumat, 18 Desember 2009

Mencintai Batik Adalah Mencintai Indonesia

Balgis Muhyidin

Sebelum tanggal 15 oktober lalu, saya menerima banyak sms yang berisikan ajakan untuk mengenakan busana batik di hari tersebut. Sebagai bentuk solidaritas terhadap pengukuhan batik oleh Unesco sebagai warisan budaya asli Indonesia. Namun ketika di hari H, saya me reply sms teman-teman tersebut dengan pertanyaan: Apakah anda menggenakan batik hari ini?. Jawaban yang saya terima beragam. Ada yang menjawab, ya iyalah masak iya donk. Atau cukup dengan yoi. Dan he..he… lupa.

Dalam beberapa bulan terakhir ini (khususnya di Surabaya) banyak pameran bertajuk batik. Ada pameran khusus batik, batik dengan handycraft lainnya ataupan pameran lain namun menempelkan unsur batik. Dari pengamatan saya, remaja pun banyak yang mengenakan batik dan mereka tidak nampak jadul (jaman dulu). Model dengan bahan dasar batik yang ditawarkan saat ini mempunyai banyak pilihan. Hal ini menjadi angin segar bagi pengrajin, dengan banyaknya kesempatan pameran mereka memunyai banyak kesempatan untuk memasarkan hasil karyanya.

Batik, sebagai sebuah produk sebagaimana pergeseran jaman, batik juga mengalami perubahan. Meskipun masih ada batik yang tetap mempertahan pakem dengan tetap mempunyai makna filosofi pada setiap motifnya. Misalnya motif kuno Sidomukti, biasa dipakai pada saat pernikahan dengan harapan pernikahan tersebut akan langgeng dan membahagiakan. Atau motif kuno Satrio Manah, yang mempunyai arti bahwa pemakai batik ini adalah orang yang menjunjung tinggi moral dalam mencapai tujuannya. Di Jawa Timur, motif kuno yang mirip motif batik kuno dari Solo dan Jogja banyak ditemui salah satunya pada batik tulis yang berasal dari Tulung Agung.

Selain pergeseran motif, batik juga mengalami pergeseran cara pembuatan. Jika sebelumnya batik hanya ada batik tulis, maka sekarang banyak dibuat batik cap. Biasanya digunakan dalam jumlah besar agar mendapatkan batik yang sama, umumnya untuk seragam. Bahkan kain dengan motif batik, juga disebut batik. Padahal proses pembuatan batik, baik batik tulis maupun cap melalui beberapa tahap yang cukup rumit dan memakan waktu lama hingga akhirnya kain menjadi bahan. Selembar batik tulis bisa memakan waktu seminggu, dua minggu bahkan bisa berbulan-bulan.

Yang pasti, batik cap khususnya batik tulis banyak menyerap tenaga kerja manusia dalam pembuatannya. Seharusnya jika kita mencintai negeri ini, kita bisa memberikan sumbangan yang luar biasa jika masing-masing dari kita mempunyai koleksi batik tulis yang bukan hanya digunakan saat kondangan. Sehingga pengrajin batik tidak perlu eksport (yang aturannya dirasa cukup menyulitkan bagi sebagian pengrajin). Mengenakan batik pada setiap kesempatan. Mengenakannya dengan bangga. Sehingga siapapun tidak ada yang bisa mengklaim, bahwa batik milik mereka. Kesempatan mengklaim akan muncul, ketika kita menempatkan batik dalam sebuah ruang terisolasi dan tidak menjadi bagian keseharian kita.

Dengan menggenakan batik, kita sudah menciptakan dan melanggengkan lapangan pekerjaan. Sehingga membatik tidak hanya dilakukan oleh kelompok tua namun para pencari pekerja baru bisa melirik lapangan pekerjaan ini sebagai salah satu pilihan yang menjanjikan. Pekerjaan ini tidak harus dilakukan dikota yang pada akhirnya mengurangi urbanisasi dari desa ke kota. Sehingga kota tidak harus dibanjiri pencari lowongan pekerjaan yang dipenuhi mimpi-mimpi yang kadang menyesatkan.

Itulah uniknya pengrajin batik, dengan tetap berada di daerah asal. Pengrajin akan tetap mempertahankan ke-orisinil-an dan nilai estetika dari masing-masing daerah berikut ciri khasnya. Tidak harus menunggu himbauan presiden untuk mengenakan batik, tidak harus menunggu peraturan pemerintah untuk menggenakan batik di hari kamis dan jum’at. Namun mari mencintainya dari lubuk hati yang terdalam, membelinya dan menggenakannya dengan bangga. Selembar batik tulis adalah hasil upaya kerja keras, kecintaan untuk melestarikan budaya, imajinasi, semangat dan cinta yang tak pernah luruh.

Minggu, 20 September 2009

Seputih di Hari Nan Fitrie

Balgis Muhyidin

Andai boleh kupinta hari
‘tuk selalu
Seputih hari nan fitrie

Agar ada maaf
Untuk semua kealphaan
Dari kodrat insani

Kuucap namaMU
Di hembusan surgawi Ramadhan
Seindah kalam yang telah KAU janjikan

KarenaMU
Kumencoba melintasi hari
Mencoba mengendalikan diri

DipintuMU
Aku mengetuk
Meski aku terseok dengan beban pertanyaan yang sulit terjawab

Pintaku
Putihkan hatiku ‘bak salju
Setelah perjalanan yang melelahkan
Agar bisa kuberikan senyum
Meski luka tertorehkan

KarenaMU
Kutahu, kumampu

KarenaMU
Genderang bedug takbir mengalun merdu

Tulisan diatas saya buat sekitar 13-14 tahun yang lalu. Saya bagikan pada teman-teman Indonesia saya yang kebanyakan waktu itu berada di Paiton Project. Teman sekretaris yang tidak sekantor dengan saya bercerita, bahwa salah satu Engineer di perusahaannya sampai bertengkar dengan istrinya gara-gara tulisan tersebut. Istrinya bertanya, kenapa tulisannya sangat personal banget, dia punya hubungan apa dengan si penulis/ pengirim hingga tulisan itu harus nyampe ke rumah mereka.

Saat itu saya cuek saja, karena tulisan itu juga saya berikan kepada sekitar lima puluh teman lainnya, yang merayakan Idul Fitri. Sahabat dan teman bagi saya sangatlah special, canda dan tawa kami bagi bersama. Namun, mereka semua sama tiada beda. Saya menyayangi mereka, itu aja. Menurut saya, tulisan itu adalah bentuk kecintaan saya padaNYA, bukan pada seseorang. Itu alasan saya waktu itu, pendeknya ‘emangnya gue pikirin?’.

Namun saat ini saya memikirkannya. Siapapun wanita itu (istri engineer itu) jika dia membaca tulisan ini, dari relung hati yang terdalam saya memohon maaf. Niat saya waktu itu (menurut saya) didasari niat baik, membagi cinta saya padaNYA kepada sahabat-sahabat saya. Mendapatkan cintaNYA, dengan meniti tangga maaf dari orang-orang disekeliling saya. Namun apa gunanya niat baik tersebut, jika ternyata melukai hati orang lain?

Belajar dari pengalaman tersebut, saya sadari banyak hal dalam kehidupan menghadapkan saya pada situasi dilematis. Kejadian maupun keputusan yang menurut saya ‘baik-baik’ saja belum tentu baik bagi orang lain. Dalam keseharian saya, disengaja atau tidak banyak sekali catatan-catatan tersebut mengiringi semua interaksi saya. Interaksi saya kepada sesama. Ketika saya menyandang kodrat saya, sebagai manusia. Untunglah saya diberi kesempatan untuk meminta maaf, meskipun saya setuju permintaan maaf itu tidak harus menunggu lebaran. Salah satu keindahan ritual tahunan ini adalah mengingatkan kita untuk selalu bermaaf-maaf-an. Yang kadang sering terlupakan.

Saya pernah mendapatkan sebuah kartu post yang cantik dengan tulisan: Maafin saya ya?? Score kita sekarang 0-0. Ketika itu saya menganggapnya biasa-biasa saja, emangnya sepak bola? Score 0:0? Teman saya benar, coba bayangkan jika catatan-catatan yang berisi kealphaan scorenya bukan 0:0, tapi menjadi 124765 : 190872 (kali 100 kalau kita punya teman 100 – meskipun masing-masing angkanya bisa berbeda) atau kali 1000 jika teman kita 1000 orang. Bagaimana kita bisa meraih fitri, dan hati kita kembali putih? Kembali bersih? Serasa bayi yang baru dilahirkan? Ketika catatan-catatan tersebut masih belum termaafkan? Ketika semua teman kita belum mengosongkan kekhilafan, belum menghapus semua kealphaan? Belum memberikan score nol untuk kita, dan kitapun belum memberikan score nol untuknya?

Menurut pemahaman saya, dengan memberikan score nol untuk semua kekhilafan adalah salah satu bentuk kebesaran hati. Dengan memberikan score nol, kita telah mengalahkan hasrat manusiawi kita untuk selalu mengingat kesalahan orang lain. Meluluh lantakkan ke egoan kita dan menggantinya dengan cinta, dengan kasih. Menurut saya, Islam adalah kelembutan, adalah kasih. Bagaimana bisa, kita membiarkan spons spons hati kita berdarah-darah dengan kebencian dan kedengkian dengan selalu mengingat kekhilafan dan kealphaan orang lain? Dengan score nol kita berusaha mendekati kesempurnaan fitrah kita sebagai manusia, memaafkan orang lain dan memaafkan diri sendiri.

Dalam kesempatan ini ijinkanlah saya dari segala kedunguan saya sebagai manusia yang kadang terlalu sok pintar, terlalu merasa bahwa apa yang saya lakukan selalu benar. Sehingga mengabaikan ruang-ruang lain yang sebenarnya berisi kebenaran hakiki. Terlalu sok tahu tentang kedalaman hati manusia, padahal hanya secuil pengetahuan saya tentangnya. Bagaimana saya bisa, memastikan hal yang baik untuk orang lain, manakala saya sendiri melakukan kesalahan terhadap keputusan yang saya ambil?

Bahkan kadang saya sering tidak tahu apa yang saya inginkan? Bagaimana bisa, saya memastikan seolah saya paham keinginan orang lain? Untuk itu teman, perkenankan saya meminta maaf. Agar teman-teman bisa mengosongkan lembaran-lembaran khilaf dan alpha. Agar score kita menjadi 0:0. Tapi untuk catatan yang baik, jangan 0:0 dunk….semoga semakin banyak dan banyak sehingga menjadi salah satu bekal baik kita kelak ketika mesti menghadapNYA.

Seandainya boleh kupinta hari-hari ……selalu seperti hari nan fitri….putih…bersih…

Jumat, 04 September 2009

Menjadi Ibu

Balgis Muhyidin

Pergulatan ini mungkin berbeda antara wanita yang satu dengan yang lain. Pilihan-pilihan yang diambilpun akan berbeda. That’s fine. Yang saya tulis ini adalah pergulatan saya. Pilihan saya. Bisa dikatakan hampir separo hidup saya, saya sudah bekerja. Saya mulai bekerja sejak usia saya 21 tahun, semasa menempuh S1. Delapan belas tahun tepatnya. Uang dari bekerja saya gunakan untuk membiayai kuliah. Meskipun saat itu, sebagian kebutuhan masih ditopang orang tua.

Ketika saya menikah dan hamil, pesan Ayah saya almarhum: jangan pernah berhenti bekerja, tanpa pekerjaan laki-laki akan semena-mena terhadapmu. Maksud ayah, saya harus punya karir diluar rumah yang cemerlang. Meskipun saya tahu, ibu saya hanyalah ibu rumah tangga biasa. Toh, ayah sangat mencintainya. Hingga akhir hayat beliau ayah selalu memanggil ibu dengan sebutan ‘Jeng. Kependekan dari ‘diajeng’. Meskipun mereka berdua bukan orang jawa.

Di rumah, terkesan ayah selalu menurut nasehat yang ibu berikan. Saya mencintai ayah, apapun yang beliau sampaikan selama ini saya rasakan kebenarannya. Saat itupun, saya bertekad untuk menjadi seperti harapan beliau. Mempunyai keluarga, menjadi ibu dan punya uang dari hasil keringat sendiri. Sungguh tidak terbayangkan bagaimana rasanya jika saya hanya menunggu uang ‘jatah’ dari suami. Meskipun dalam Islam kecukupan financial adalah tanggung jawab laki-laki.

Putra pertama kami lahir. Kami mempunyai pembantu yang luar biasa menyayanginya. Meskipun kadang ketika berangkat bekerja putra kami menangisi kepergian saya. Saat itu hati saya mulai teriris. Ketika putra kami masuk rumah sakit karena sesuatu hal, saya menemaninya dua hari. Setelah itu kantor mengharuskan saya keluar kota. Masih saya ingat salah satu pembezuk yang masih kerabat kami mengatakan saya cukup ‘kuat’ meninggalkannya. Saat itu kondisi putra kami mulai membaik dan saya pikir dia berada ditangan yang tepat. Dokter. Dan kebetulan suami saya tidak sedang keluar kota. Apa yang salah?

Putra kedua kami lahir. Kami tidak menemukan pembantu sebaik seperti sebelumnya. Sampai dengan sekarang putra kedua kami belum lancar berkata-kata. Mungkin ketika kami bekerja tidak ada yang mengajaknya bercakap-cakap. Buktinya ketika saya cuti melahirkan anak ketiga selama tiga bulan. Kosa katanya meningkat. Di dalam relung hati yang terdalam saya menyalahkan diri saya sendiri. Jika saya selalu disampingnya, mungkin dia akan secerewet kakaknya.

Setiap kali akan berangkat ke kantor kami harus berputar-putar mengelilingi perumahan kami, bersama putra kedua kami. Jika tidak dia akan menangis histeris, sehingga kami miris. Seandainya saya bisa selalu membawanya. Mendekapnya selalu.

Ketika putri ketiga kami lahir. Proyek tempat saya terakhir bekerja usai April tahun ini. Usia putri kami enam bulan. Biasanya sebelum proyek yang satu selesai, saya sudah mendapatkan proyek lainnya. Namun tidak kali ini.

Saya merasa kehilangan waktu-waktu bersama mereka. Waktu-waktu yang tidak akan pernah kembali. Waktu mereka merangkak pertama kali, waktu mereka bicara pertama kali dan waktu waktu lain yang tidak akan pernah tergantikan. Saya takut saya akan menyesalinya kelak. Saya lebih takut lagi karena saya tidak tahu banyak kebiasaan mereka. Bagaimana kami akan berbincang, manakala saya tidak tahu topik-topik yang mereka sukai?

Seringkali saat saya berada diluar kota, saya mendapat kabar bahwa anak kami sakit. Duh, inginnya saya bisa terbang saat itu juga dan memastikan mereka tidak apa-apa. Atau saya berada di suatu tempat yang sangat indah, menyenangkan. Rasanya saya tidak bisa menikmatinya manakala saya hanya sendirian. Yang saya bayangkan adalah, alangkah bahagianya jika putra-putri kami juga bisa menikmatinya.

Saya punya teman-teman beragam. Ada yang sampai sekarang belum menikah dan menjadi wanita karir yang hebat. Ada yang sudah menikah, punya anak dan tetap menjadi wanita karir yang hebat. Ada juga teman saya yang sejak awal menikah memutuskan untuk berada dirumah saja. Sekarang saya jadi tahu, menjadi ibu adalah peran yang sungguh luar biasa. Sebagaimana salah satu iklan di televisi.

Ibu, disadari atau tidak adalah tenaga keuangan yang hebat, mencukupkan berapapun uang yang diberikan uantuk memenuhi kebutuhan rumah dan jika mungkin untuk ditabung. Ibu, adalah tenaga pengajar yang harus serba tahu karena menjadi rujukan setiap pertanyaan. Ibu, adalah perawat atau dokter yang ahli sehingga kasus pilek, panas karena sakit gigi bisa ditangani segera sebelum dibawa ke praktek dokter. Jika anaknya alergi, Ibu juga harus memastikan makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang tidak akan memicu alergi anaknya. Dan tugas-tugas lain yang dikerjakannya dengan penuh cinta.

Maka tidak salah jika pepatah mengatakan, dari ibu yang hebat akan muncul anak-anak yang hebat. Di dalam Islam dikatakan surga terletak dibawah kaki ibu.

Saya tahu itu, namun sungguh tidak mudah Kesibukan-kesibukan itu bukan kesibukan yang biasa saya jalani. Pekerjaan-pekerjaan ini bukan pekerjaan yang biasa saya lakukan. Namun memandang putra-putri kami, tangan mereka yang kadang memeluk leher saya dan minta cium setiap saat, adalah kekuatan tersendiri. Kata-kata ayah saya masih sering terngiang, namun saya tidak ingin mendebatnya. Saya hanya ingin berada disamping anak-anak kami. Memeluk dan mengelus mereka kapanpun saya mau. Mendengarkan cerita-cerita mereka setiap hari. Hanya itu.

Ketika keputusan itu, saya sampaikan pada salah satu teman, pertanyaannya adalah: Bisakah? Rasanya secara nalar memang tidak bisa, namun kenyataannya selama empat bulan ini dengan segala cerita didalamnya, saya bisa. Saya menikmatinya. Memastikan kepada putra-putri kami saya ada kapanpun mereka butuhkan. Mencintai mereka tanpa ada syarat. Tanpa ada habisnya. Meskipun, tidak mempunyai uang sendiri sungguh tidak nyaman.

Salah satu teman ada yang mengatakan, jika suatu saat kamu ingin bekerja lagi pasti akan sulit. Biasanya jika kita berhenti, jeda beberapa saat akan sulit mendapatkan pekerjaan lainnya. Entahlah, saya hanya ingin mengikuti naluri saya. Naluri saya sebagai seorang wanita, sebagai ibu. Mungkin memang ada yang mesti dikorbankan. Yang saya tahu, saya tidak akan menjadi wanita sempurna, hanya dengan melahirkan saja. Menurut saya, saya akan menjadi wanita yang sempurna jika anak-anak kami menjadi orang yang berguna bagi sesama, mampu berempati terhadap orang lain, mempunyai ahlak yang baik.

Saat inilah nilai-nilai itu mesti kami tanamkan bersama. Mungkin ada yang bisa, dengan tidak mendampingi mereka setiap saat. Dengan menekankan pada kualitas waktu. Masing-masing orang punya cara berbeda mengungkapkannya. Cara saya, mengikuti naluri saya, merengkuh mereka dalam pelukan. Membantu mereka menjadi diri sendiri. Mendampingi mereka meraih mimpi. Saat ini saya mesti menggandeng tangan-tangan mungil mereka, menunjukkan arah dan jalannya. Pekerjaan ini menurut saya, tidak bisa saya delegasikan kepada orang lain. Sehebat apapun mereka. Karena hanya saya ibu mereka.

Taman Indah, September 2, 2009.

Kamis, 20 Agustus 2009

Masih Ada Ketidaktahuan

Balgis Muhyidin

Tadi pagi saya mengantarkan putri bungsu kami ke puskesmas. Minggu lalu dia berusia sembilan bulan. Usia dimana dia sebaiknya mendapatkan imunisasi campak. Penyakit ini bahkan bisa menyebabkan kematian, khususnya jika menyerang anak yang kurang gizi atau mempunyai daya tahan rendah dan belum diimunisasi campak.

Saya ke loket, mengambil nomor antrian, dipanggil dan membayar biaya registrasi sebesar Rp. 2.500. Kemudian bidan BKIA memanggil nama putri saya dan kami mendapatkan pelayanan. Tiba-tiba seorang ibu yang sedang menggendong bayi datang kepada petugas di BKIA yang sedang melakukan pencatatan dan bertanya.
“Bu, apakah anak saya tidak mendapatkan obat?”.
“Tidak bu, imunisasi anak ibu adalah imunisasi BCG, tidak menyebabkan panas, jadi anak ibu tidak perlu mendapatkan obat panas”. Jawab petugas BKIA.
Berlalulah ibu tersebut.

Ibu tersebut adalah potret ketidak tahuan masyarakat, terhadap imunisasi. Padahal dari tujuh macam penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu, TBC anak, Hepatitis B, Difteri, Tetanus, Pertusis, Polio dan Campak hanya vaksin Pertusis (biasa dikenal dengan batuk rejan atau batuk seratus hari) dan Campak yang sering menimbulkan panas. Vaksin pertusis yang umumnya tergabung dalam vaksin DPT, melindungi tiga penyakit yaitu Difteri, Pertusis dan Tetanus. Seorang anak setelah mendapatkan vaksin DPT biasanya suhu tubuhnya akan meningkat setelah dua atau tiga jam kemudian. Sedangkan seorang anak setelah mendapatkan vaksin campak suhu tubuhnya akan meningkat setelah satu hari atau dua hari kemudian. Namun demikian ada beberapa bayi yang tidak meningkat suhu tubuhnya setelah mendapatkan imunisasi tersebut.

Ketakutan terhadap panas ditenggarai menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya cakupan imunisasi. Padahal imunisasi merupakan salah satu penemuan terbesar dalam bidang kedokteran sehingga dengan imunisasi bisa menyelamatkan jutaan bayi dari penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Bayi bisa tumbuh dewasa dan menjadi tulang punggung bangsa dan negara yang kuat.

Pernah didalam sebuah pertemuan dengan petugas puskesmas, dokter anak dan beberapa institusi lain yang berhubungan dengan imunisasi. Para penggiat kampanye untuk peningkatan cakupan imunisasi bertanya apakah benar imunisasi DPT ke dokter anak tidak menyebabkan panas. Dokter anak tersebut menjawab, jika anda datang ke dokter anak untuk mendapatkan pelayanan imunisasi memang tidak akan menimbulkan panas pada anak, namun akan menyebabkan panas pada kantong orang tuanya. Jawaban tersebut disambut dengan geerrr semua peserta pertemuan. Meskipun menurut teman-teman puskesmas, pelayanan swastapun masih mengambil vaksin dari mereka secara gratis dan memberikan kepada pasien dengan menarik uang jasa yang lumayan’memanaskan’ kantong tadi.

Lepas dari polemik apakah sebaiknya datang ke pusat pelayanan swasta ataukah pusat pelayanan pemerintah, pemerintah sudah menyediakan vaksin gratis untuk memberikan perlindungan terhadap bayi dibawah satu tahun. Vaksin-vaksin tersebut mencegah tujuh macam penyakit yang sudah disebutkan diatas. Atau biasa disebut dengan PD3i atau penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Jika setiap musim pancaroba, kita selalu mendengar banyaknya orang yang meninggal karena kasus demam berdarah. Mungkin kita bisa bermimpi: kapan ilmu kedokteran bisa menemukan vaksin untuk demam berdarah?

Taman Indah, senin 27 July 2009

Rabu, 05 Agustus 2009

Me and My Family: Dunia Lain

Balgis Muhyidin

Saya sangat setuju jika ada teman yang mengatakan tayangan televisi kita semakin lama semakin membuat kita ‘hoek hoek’. Sulit sekali mencari tayangan yang mendidik. Ada beberapa yang bagus untuk anak-anak dan juga digemari oleh orang dewasa, misalnya si bolang, cita-citaku, surat sahabat dan laptop si unyil. Meskipun perbandingan jumlah tayangan antara yang mendidik dengan yang tidak mendidik, sungguh seperti bumi dan langit. Lebih banyak yang tidak mendidik.

Beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dengan ‘jor-jor’annya stasiun televisi menayangkan reality show. Reality dalam tanda petik menurut saya. Bagaimana bisa cerita-cerita tentang aib yang kadang memalukan diri sendiri bisa diperkenankan oleh yang bersangkutan? Saya tidak habis pikir. Mungkin memang sebaiknya tidak saya pikir. Saat ini saya belum merasakan dampak langsung dari tayangan tersebut, untunglah anak-anak kami ‘belum’ menyukainya. Semoga tidak pernah menyukainya.

Tulisan ini terkait penayangan televisi yang tidak mendidik lainnya. Meskipun tidak sebanyak tahun tahun yang lalu, toh tayangan televisi masih ada yang ‘berhantu’. Maksud saya menayangkan cerita hantu. Saya merasakan dampak langsung dari tayangan tersebut, terhadap anak saya.

Nampaknya ketika kami berdua tidak berada di rumah, pembantu kami selalu mencari channel televisi yang penuh dengan adegan mistis. Jadilah anak kami ikut menontonnya. Dan mungkin, akhirnya menyukainya. Kejadian tersebut, sudah dimulai cukup lama. Saya katakana cukup lama karena salah satu acara favorit pembantu saya adalah Mak Lampir.

Dampak yang paling kentara adalah putra terbesar kami yang berusia tujuh tahun, tidak pernah berani berada di salah satu ruang rumah sendirian. Kecuali ketika tertidur tentunya. Namun ketika terbangunpun dia akan berteriak-teriak minta tolong seolah-olah para hantu-hantu itu memang mengelilinginya. Mungkin yang ada dibenaknya wajah-wajah seram yang biasa dia tonton di televisi bisa tiba-tiba muncul. Padahal ketika dia berusia 3 tahun, dan melakukan tindakan yang kreatif extrem kami akan mendiamkannya di dalam kamar. Saat itu dia tidak menangis atau meminta tolong justru dia bernyanyi-nyanyi dengan keras. Sekarang, dia sangat ketakutan jika sendirian apalagi jika kami kunci di dalam kamar.

Pertanyaan –pertanyaan yang dia lontarkan pun kebanyakan tentang mistis atau hantu, misalnya, mengapa orang mati kuburannya penuh dengan belatung, apakah kuntilanak selalu perempuan dan sebagainya, dan sebagainya. Sungguh, kami dibuat pusing tujuh keliling menjawab semua pertanyaan –pertanyaan itu. Meskipun dengan segala keterbatasan pengetahuann yang kami miliki, kami mencoba memberikan pengertian. Kamipun percaya bahwa hal-hal ghoib ada namun menurut kami tidaklah seperti yang ditayangkan di televisi. Karena toh kita tidak pernah mengetahuinya. Kami ingin mengajarkan putra putri kami tentang hal itu, hanya kami merasa saatnya belumlah tepat. Dari tayangan itulah dia mendapatkan pengetahun tentang hal gaib, dunia mistis, sebagaimana yang dia lihat, menakutkan.

Setahun terakhir ini dia jarang bertanya tentang dunia mistis ataupun hantu. Bisa dikatakan hampir tidak pernah. Legalah kami. Kami merasa, mungkin pengaruh tayangan yang ‘mengerikan’ tersebut sudah mulai luntur. Meskipun kami tidak berani mencoba mengunci-nya di dalam kamar.

Tiga hari yang lalu putra terbesar kami sakit. Ayahnya sangat sibuk. Akhirnya saya yang mengantar ke dokter. Dalam perjalanan tersebut inilah percakapan kami.

Si Sulung: “ Bunda tahu mas Reyhan”

Saya:”Cucunya eyang hamid” (saya membahasakan tetangga sebelah kami dengan sebutan Eyang)

Si Sulung: “Iya”.

Saya: “ Kenapa sayang?”

Si Sulung: “ Dia kaya sekali lho bunda?”

Saya: “ Oh ya?”

Si Sulung:” Iya, mas Reyhan punya rumah banyak”

Saya: “ Wach bunda belum tahu, dimana saja?”

Si Sulung: “ Di Surabaya ada, di Jakarta, Batam dan di Singapura”.

Saya: “ Wow iya, kaya sekali ya”

Si Sulung: “Iya bunda, bahkan dia punya rumah di dunia lain”.

Saya: Hahhh???????

[Taman Indah, 10 July 2009]

Senin, 29 Juni 2009

Ketika Bu Iyah Pulang

Balgis Muhyidin

Kami sering berganti-ganti pembantu. Jika bukan karena mereka tidak menyukai kami kadang kami-pun tidak menyukai mereka. Misalnya, salah satu pembantu sering meminta uang kepada si sulung untuk membeli bakso ataupun membeli pulsa. Dengan mengintimidasi si sulung, jika tidak dikabulkan maka dia akan mengabaikan si sulung. Tidak membantunya ketika si Sulung membutuhkan bantuan.

Ada juga pengalaman mengharukan. Salah satu pembantu kami mengatakan dia tidak pernah keluar dari pulau Madura. Dia mengetahui Surabaya setelah usianya 20 tahun. Ketika bekerja dengan kami. Dia juga belum pernah makan buah apel, anggur, pir dan beberapa buah lain yang mudah didapatkan di belahan republik ini. Maka jika dia ikut berbelanja, kami perbolehkan dia mengambil makanan ataupun buah yang belum pernah dia rasakan.

Menurut kami (sendiri), kami cukup baik memperlakukan pembantu-pembantu kami. Setidaknya kami tidak pernah menyiksa pembantu kami sebagaimana Nurmala atau Siti Hajar ketika bekerja di Malaysia. Menurut kami (sendiri), kami cukup baik dengan memberikan sedikit gaji lebih kepada pembantu-pembantu kami. Sehingga kami dikomplain tetangga karena dianggap merusak pasaran harga pembantu di lingkungan kami. Menurut kami (sendiri), kami cukup baik jika pembantu kami sakit kami antar dan biayai berobat ke puskesmas ataupun dokter terdekat.

Jika ditulis disini mungkin menurut kami (sendiri), semua kebaikan kami cukup banyak. Bahkan sandal jepit yang kami belikan untuk mereka-pun akan kami anggap sebagai salah satu kebaikan.

Itulah yang kami pandang selama ini. Bahwa mereka lebih butuh gaji yang kami berikan daripada pelayanan yang mereka berikan kepada kami. Bahwa mereka lebih membutuhkan kami daripada kami membutuhkan mereka. Dan, semuanya berubah ketika bu Iyah pulang.

Bu Iyah adalah pembantu yang dicarikan oleh pembantu yang pernah bekerja dengan kami selama tiga tahun. Dengan syarat hanya boleh bekerja oleh suaminya selama lima bulan. Bu Iyah menggantikan salah satu pembantu kami yang menikah. Selama empat bulan bu Iyah bekerja berdua dengan pembantu kami lainnya. Namun di bulan ke lima bu Iyah bekerja sendiri. Tentu, atas persetujuannya. Dan luar biasa, Bu iyah bisa melakukan semua pekerjaan tanpa terbengkalai, sama seperti jika kami mempunyai dua pembantu. Memasak, membersihkan rumah dan memperhatikan ketiga putra-putri kami, khususnya merawat si kecil.

Hampir empat minggu setelah bu Iyah Pulang, tepatnya akhir bulan Mei lalu. Saya sudah dua kali jatuh sakit dan empat kali dirawat dokter. Pertama ketika di Tulungagung. Sehari setelah kepulangan bu Iyah, badan saya demam, perut saya kram, paha dan kaki saya seperti ditusuk-tusuk dan akhirnya tangan dan kaki saya tidak bisa digerakkan selama hampir tiga jam. Ketika ke dokter di Tulungagung, (otak saya bisa berfikir normal meskipun badan saya sulit bergerak) saya tanyakan saya terkena chikungunya atau stroke. Setelah melihat tekanan darah saya, dokter mengatakan saya suspect (karena tidak ada hasil laboratorium) chikungunya. Ada lima macam pil yang diberikan ke saya, setelah saya menolak injeksi. Dan memang, setelah pil saya telan, perlahan-lahan tangan dan kaki saya tidak kaku lagi.

Anehnya, esok harinya semua yang saya rasakan sehari sebelumnya menghilang. Padahal menurut info salah satu teman dokter, nyeri yang diderita oleh pasien chikungunya minimal akan bertahan selama tiga hari. Karena mesti kembali ke Surabaya saya tidak kembali ke dokter Tulungagung. Menurut teman dokter tersebut sebaiknya saya ke neurology/ dr. saraf.

Saya menceritakan apa yang sudah terjadi ke dokter saraf di Surabaya. Setelah menyuruh saya memukul, membengkokkan kaki dan tangan, menekan, mengenggam dan serangkain test lainnya dokter saraf menyimpulkan bahwa saraf saya cukup baik. Hanya saya terserang yang bahasa mudahnya ‘panic attack’ hampir sama dengan film yang saya tonton yang dibintangi oleh Jodie Foster yaitu ‘panic room’. Jika Jodie Foster dalam film tersebut diselamatkan oleh ‘panic room’, saya justru kesakitan oleh si panic attack ini.

Anehnya, minggu depannya saya terkena serangan lagi. Saya hampir tidak bisa bergerak, semua badan saya sakit sekali. Untunglah kami mempunyai tetangga dokter yang berbaik hati mau mendatangi rumah kami karena saya tidak bisa berjalan. Dia mengatakan dari gejala klinis kemungkinan saya terkena demam berdarah (DB). Apalagi beberapa tetangga kami juga terkena DB. Esoknya hasil trombosit saya masih normal. Agar tidak berganti-ganti dokter saya kembali ke dokter saraf saya sebelumnya (karena demam saya hanya sehari, saya tidak terlalu yakin jika saya DB). Selama tiga hari sendi-sendi besar saya terasa sakit, seperti habis dipukuli.

Saraf-saraf saya di test lagi dan menurutnya tetap baik. Namun kali ini dia memberi saya pil pengontrol emosi. Dokter tersebut tidak bersedia menyebutnya sebagai obat penenang, meskipun menurut saya sama saja artinya. Yang harus saya pastikan obat tersebut aman untuk saya yang masih menyusui. Dokter saraf tersebut menjamin obat tersebut aman untuk saya dan bayi saya. Ssstttt dari sepuluh hari obat yang diresepkan saya hanya meminumnya selama tiga hari. Selama bukan antibiotic saya pikir saya tidak perlu meminumnya sampai habis. Sebagaimana saran dokter saraf, saya lebih suka menelusui penyebab dari serangan tersebut.

Mungkin salah, namun inilah teori saya. Saya kelelahan jiwa dan raga. Bagaimana tidak, semua urusan rumah yang selama ini beres di tangan bu Iyah harus saya tangani sendiri. Sampai dengan hari ini kami belum mendapatkan pengganti. Dulu, setelah sholat subuh saya bisa tidur lagi. Sekarang tidak karena setelah sholat subuh saya mesti menyiapkan keperluan si sulung ke sekolah. Mobil jemputannya datang setiap jam 5.30 pagi. Beruntung jika tidak berbarengan dengan bangunnya si Tengah atapun si Bungsu yang masih berusia 7 bulan. Malam hari, saya mesti menyusui si bungsu beberapa kali karena saya bertekad memberinya ASI.

Rumah sangat kotor, setrikaan menumpuk. Dan kadang tiga malaikat kecil saya minta diperhatikan bersamaan. Apalagi si bungsu selalu menangis jika saya tidak berada disampingnya. Selama empat minggu ini saya hanya sempat menyapa teman-teman di facebook sekali. Saya tidak sempat membaca koran. Tidak jarang saya mandi di atas jam 9 malam. Menunggu suami saya pulang, menggantikan saya memegang si bungsu baru saya bisa melonggarkan diri.

Suami saya bahkan beberapa kali mesti membolos dari kantor terutama ketika saya sakit. Dia mesti mengorbankan beberapa kegiatan organisasinya, yang saya tahu sangat sibuk menjelang pilpres ini.

Kami membeli nasi rantangan, kadang tidak terdapat sayur, kadang tidak cocok di lidah, namun itulah yang mesti kami makan. Saya tidak bisa keluar rumah untuk bercengkrama dengan teman-teman, yang ketika bu Iyah ada masih bisa saya lakukan. Jangan katakan saya bisa nonton cineplek, ketika menonton televisi saja tidak sempat. Pendeknya saya tidak punya waktu untuk diri saya sendiri ataupun dengan teman-teman saya. Sekarang saya berfikir: Berapakah saya mesti menggaji Bu Iyah hanya untuk hal ini? Untuk: me time?

Ketika bu Iyah ada saya bisa menitipkan anak-anak dan saya bisa terlelap dengan nyaman. Misalnya ketika malamnya kami punya acara atau jika saya kelelahan sehabis tugas dari luar kota. Berapa sebenarnya saya mesti menggaji Bu Iyah, untuk kenyamanan waktu-waktu tidur yang sudah Bu Iyah bantu untuk saya? Berapa sebenarnya saya mesti menggaji Bu Iyah untuk kenyamanan tempat tidur yang sudah dirapikannya, yang sekarang tidak bisa saya nikmati lagi?

Masakannya yang sedap, setrikaannya yang licin, kebersihannya, semua pekerjaan rumah yang dia kerjakan, rasa sayangnya pada anak-anak, termasuk memastikan mereka makan makanan yang layak dan sehat? Mencukupkan uang belanja kami selama sepekan. Belum lagi keamanan rumah kami ketika kami mesti keluar kota, dan selalu dalam keadaan bersih dan nyaman ketika kami kembali. Berapa biaya untuk semua ini? Semakin saya pikirkan, semakin banyak hal baik yang sudah bu Iyah berikan kepada kami.

Empat minggu Bu Iyah pulang, saya harus mengeluarkan biaya dokter untuk pengobatan. Yang kemungkinan tidak akan terjadi jika Bu Iyah masih di rumah. Jika Bu Iyah ada, akankah sebagian biaya tersebut saya berikan padanya sebagai ungkapan terimakasih?

Sekarang saya tahu apa yang saya berikan tidaklah cukup menggantikan apa yang sudah Bu Iyah berikan kepada saya. Kepada kami.


Taman Indah – 28 June 2009

Minggu, 24 Mei 2009

In Memoriam “Black”

Usianya belum genap 36 tahun. Ketika dia ditemukan terkapar di kamar mandi. Sudah meninggal. Ketika jenazahnya dibawa ke rumah duka, keluarganya hanya mendapatkan keterangan kalau paru-parunya gosong. Saya tidak ingin tahu lebih jauh lagi. Saya hanya ingin mengenangnya, menarik pelajaran berharga dari hidupnya. Dan semoga, bermanfaat juga untuk kita semua.

Kami memanggilnya Black, biarlah tetap saya panggil dengan Black. Namanya tidak terlalu penting untuk saya. Bagi saya, dia adalah salah satu pahlawan kehidupan. Sekitar enam tahun terakhir dia mendedikasikan hidupnya untuk mengkampanyekan ‘harm reduction’ atau penggurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba. Khususnya narkoba suntik.

Dia ‘ditemukan’ oleh teman-teman jaringan pecandu narkoba yang sebagian dari mereka sudah menjadi ‘mantan’ pecandu. Meskipun menurut mereka, seorang pecandu selamanya akan tetap menjadi pecandu. Karena kondisi ‘relapse’ sangatlah lekat dalam keseharian kehidupan mereka. Sekali pernah menjadi pecandu narkoba, selama hidup adalah perjuangan yang tidak akan pernah berhenti, terus menerus, untuk memerangi kecanduan mereka atau keinginan nge-drug lagi.

Saya masih ingat, perkenalan kami diawali ketika dia menjadi imam shalat dengan alunan doa yang menyejukkan hati. Karena itu teman-teman juga memanggilnya Aak Black. Waktu itu dia masih belum terlalu lama bergabung di lembaga yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS. Jika teman-teman yang lain memanggil saya Mbak, dia memanggil saya dengan Bu. Sangat formal. Saya tahu itu adalah bentuk penghormatannya untuk saya, sebagaimana saya juga menghormatinya.

Secara garis besar harm reduction adalah memberikan penyuluhan kepada pengguna narkoba untuk menghentikan perilaku nge-drugnya. Jika tidak bisa maka sementara waktu mereka disarankan mengurangi kecanduannya dengan menggunakan oral drug. jika tidak bisa lakukan penyuntikan yang aman, antara lain, tidak bergantian jarum suntik, atau menggunakan jarum suntik yang sudah distresilkan.

Bagi mantan pecandu, memberikan penyuluhan kepada teman-teman mereka yang masih menjadi pecandu untuk berubah perilaku agar tidak terinfeksi HIV/AIDS, bukanlah persoalan mudah. Mereka tahu efek fly yang ditimbulkan oleh narkoba. Melihat orang lain memakai narkoba di depan mereka, sugesti itu pastilah sangat berat mereka rasakan. Namun mereka tetap melakukan pekerjaan itu. Setiap hari menemui pecandu baru atau lama, berinteraksi dengan mereka, memberikan pilihan-pilihan agar AIDS bisa mereka hindari. Black, adalah salah satu dari pahlawan-pahlawan itu. Yang mau memberikan hidupnya bagi orang lain. Meskipun artinya dia tidak berada di ‘zona aman’. Kemungkinan terjadi salah tangkap dari kepolisian bisa terjadi. Kemungkinan menjadi target bandar narkoba sangat mungkin, karena mereka dianggap mengurangi jumlah pembelinya.

Menghindari sugesti tidaklah selalu berjalan mulus dan sukses, kadang mereka tergelincir untuk mencoba lagi. Atau sebagian melarikannya ke bentuk kecanduan yang lain, salah satunya alcohol. Kepada saya Black pernah mengatakan bahwa untuk narkoba lainnya dia bisa tidak tergiur, namun sulit baginya menghilangkan kebiasaan minum minuman keras.

Meskipun demikian tanpa bermaksud membenarkan apa yang Black lakukan. Teman-teman ini adalah orang-orang yang luar biasa. Seharusnya mereka mendapatkan tanda jasa. Kemauan mengorbankan hidupnya bagi orang lain. Mereka adalah suhu-suhu bagi para pencandu. Pemberi obor kepada pecandu ketika jalan lainnya gelap gulita. Meskipun dalam perjuangan mereka kerap mesti mengorbankan diri mereka sendiri.

Black adalah manusia seperti itu. Dia tahu resikonya, dan dia tetap menjalaninya. Memberikan hidupnya.

Suatu saat, ketika hobi menjahit sang istri menghasilkan uang. Sambil mengelus kepala istrinya Black berkata” Kamu pandai cari uang, jika saya tidak ada kamu akan mampu mencari uang sendiri “. Sambil memandangi putri mereka yang berusia satu setengah tahun, istrinya menceritakannya kepada saya, berderai air mata.

Kami masih merasa kehilangan, merasa kecolongan. Saya masih merasa kehilangan. Kami merindukan senyum lebar di kulit wajahnya yang legam. Kata-katanya yang agamis, penuh tutur kata manis. Selamat jalan teman.



Surabaya, 20 Mei 2009
Tulisan ini untuk ACA putri Black satu-satunya. Kami mengenang ayahmu sebagai pahlawan.

Jumat, 24 April 2009

Obrolan Di Arisan Bulan Ini

Balgis Muhyidin

Sebulan sekali ibu-ibu di perumahan tempat saya tinggal, mengadakan arisan. Selain Arisan, kami membicarakan kegiatan kampung lainnya. Kebersihan, Tujuh Belasan, donor darah, keamanan, pengajian adalah topik-topik langganan kami. Namun topik tersebut tidak muncul di arisan bulan April ini. Topik yang muncul adalah seputar berita tentang pemilu 2009. Berita tentang partai mana yang mendulang suara tertinggi atau terendah tidaklah terlalu menarik hati, namun Calon Legislatif/ Caleg yang stres dan tingkah polah caleg-caleg yang kami dengar dari TV mendominasi pertemuan kami bulan ini.

Sebutlah Ibu Ina, dia mengatakan seperti ini: “waduh kalau kalah lalu jadi penghuni rumah sakit jiwa, terus kalau jadi bagaimana donk?” Mungkin maksudnya dengan stresnya caleg tersebut menandakan dia kurang kuat menghadapi ujian, lalu bagaimana jika jadi DPR/DPRD ketika menghadapi persoalan? Bukankah dia wakil rakyat yang harus memikirkan persolan rakyat yang cukup kompleks? Bagaimana mereka menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan budgeting jika mereka mudah patah?

Tapi Bu Lasmi (bukan nama sebenarnya) justru mengatakan seperti ini: “Jangan – jangan DPR/D kita pun saat ini banyak dijabat oleh orang-orang yang kurang waras, meskipun tidak menghadapi kekalahan dan stres, namun mereka stres melihat iming-iming uang dan wanita. “Kasus korupsi dan perbuatan asusila banyak menimpa wakil rakyat kita, itupun yang ketahuan”. Imbuhnya.

Bu Dila tetangga samping kanan saya ikut nimbrung:” lebih memalukan lagi mereka yang tidak terpilih, karpet, aspal dan alat musik yang sudah disumbangkan diambil kembali”
“Wanita dari partai Petruk bahkan bunuh diri, padahal dia sedang hamil” papar bu Novi. Begitulah mulai jam 7 sampai jam 9 malam, kami masih asyik membicarakan perilaku-perilaku caleg tersebut. Calon wakil-wakil rakyat, wakil-wakil kami. Orang orang yang nantinya menyuarakan kepentingan kami. Orang-orang dimana harapan kami gantungkan.

Dengan sistim perolehan suara terbanyak maka caleg-caleg nomor urut besar sama optimisnya dengan caleg nomor urut kecil. Kadang keoptimisan itu membutakan dari kekurangan. Menghabiskan apapun yang dipunya tanpa kalkulasi yang matang.
Banyaknya partai baru, memudahkan siapapun menjadi caleg. Bahkan mereka yang tidak pernah mendapatkan pengalaman berorganisasi. Di kantor, salah satu teman saya mengatakan bahwa DPR/D kita hanya akan dihuni oleh dua kelompok. Yaitu, pedagang dan kyai. Pedagang bisa lolos karena mereka punya uang, sedangkan kyai bisa lolos karena mereka punya massa. Sedangkan mereka yang memang kapable, belum tentu akan dipilih oleh rakyat.

Teman saya yang lain justru mengatakan bahwa dia menyukai model pemilihan sebelumnya. Pemilu legislatif dengan menggunakan no urut tertinggi. Karena sampai dengan detik terakhir pemilu legislatif 9 April lalu dia masih belum mengenal salah satu caleg didaerahnya. Menurutnya, dengan system no urut tertinggi, partai politik sudah melakukan seleksi awal. Selanjutnya kredibilitas partai politik yang akan mempengaruhi pilihannya.

Saya sendiri lebih suka mengatakan bahwa saat ini Negara kita sedang berbenah setelah sekian lamanya dalam hegemoni kekuasaan yang sama. Semoga dengan berjalannya waktu kedewasaan berpolitik untuk caleg dimasa yang akan datang lebih matang dan ‘siap’ bertarung. Lebih siap menerima kekalahan, dan jika menang menjadi amanah dan setia terhadap rakyat. Selamanya, tidak mencederai kepercayaan pemilihnya.

Ketika duduk di sekolah dasar saya sangat menyukai buku silat kho ping ho. Salah satu wejangan dalam bukunya (saya lupa edisinya) kho ping ho menulis untuk bisa merasakan gurih dan manisnya kehidupan maka kita terlebih dahulu mesti merasakan kecut dan pahitnya kehidupan. Bagaimana kita bisa mengatakan hal tersebut manis, jika sebelumnya kita tidak pernah merasakan pahit?

9 April sudah kita lewati. The show must go on. Meskipun masih ada kekisruhan DPT, ketidakpuasan dari beberapa pihak, caleg yang stress dan persoalan-persoalan lainnya. Bagaimanapun, semoga terpilih caleg-caleg yang baik, santun dan amanah. Mungkin tidak seluruhnya tapi pada merekalah harapan bumi tercinta ini digantungkan.

Surabaya, 21 April 2009

Selasa, 31 Maret 2009

Kejaiban, Membuka Pintu yang Diliputi Lara

Balgis Muhyidin

Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Semua yang menyedihkan pasti ada hikmaknya. Terjadi pada kami dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Membukakan pintu hati kami yang semula diliputi lara.

Hari itu, usia bayi kami hampir tujuh bulan tiba-tiba badan saya demam tinggi. Bahkan beberapa teman di kantor mengatakan saking panasnya muka saya sampai memerah. Tidak sampai bubaran kantor pimpinan menyuruh saya pulang karena saya terlihat kepayahan. Karena tidak tahu panasnya disebabkan oleh apa, maka dirumah saya tidak berani mendekati bayi saya. Selain ASI (Air Susu Ibu) dia sudah mendapatkan susu formula sehingga dia tidak kelaparan. Selain itu dia juga sudah berkenalan dengan beberapa makanan pendamping ASI (MPASI).

Jadilah esok harinya saya ke rumah sakit karena panas saya tidak kunjung reda. Dokter di UGD mengatakan bahwa saya kemungkinan terkena campak Jerman, dan harus menginap di RS untuk di observasi. Dia menunjukkan bahwa di sekujur badan saya pasti muncul bercak-bercak. Saya mengidap alergi, dan kadang badan saya muncul bercak-bercak seperti saat ini meskipun tidak pernah dibarengi demam. Dari hasil laboratorium internist mengatakan bahwa saya terkena typus.

Karena demam yang masih tinggi maka dia juga mengkawatirkan saya terkena Demam Berdarah (DB). Banyaknya kasus DB yang mebuat dokter kecolongan karena perubahan-perubahan gejalanya, maka dokter menyarakan saya tetap di RS. Setelah lima hari, saya mendapat kepastian bahwa panas tinggi saya bukan karena DB, maka esoknya saya diperbolehkan pulang. Demam saya sudah menghilang.

Seminggu kemudian, saya merasa ada yang salah dengan tubuh saya, rasanya tidak enak. Dan setelah saya ingat-ingat nampaknya karena saya tidak mens. Saya pikir (sebagai orang awam) mungkin karena banyaknya antibiotic yang saya terima ketika di RS. Untuk mamastikan hal tersebut kami mengunjungi dokter kandungan kami. Sungguh tidak kami duga, dokter mengatakan bahwa saya hamil sekitar lima minggu. Artinya ketika menginap di RS saya sudah hamil. Sebagai antisipasi dokter kandungan berkomunikasi dengan internist yang merawat saya untuk mendapatkan informasi antibiotic apa saja yang sudah diberikan.

Saya juga menceritakan diagnose awal dari dokter UGD bahwa saya terkena campak Jerman. Meskipun tidak mengatakan apa-apa, dia mengatakan bahwa ada serangkaian test yang harus saya jalani untuk memastikan apakah memang campak Jerman. Namun dilubuk hati saya, terasa ada yang salah. Dan menurut saya (meskipun suami saya berpendapat berbeda) saya melihat raut muka dokter kandungan kami tidak berbahagia. Tidak biasanya dokter kandungan kami begitu, biasanya untuk setiap proses kehamilan dia akan menyalami kami dan mengucapkan selamat.

Setelah beberapa hari, kami membawa hasil test tersebut. Dipastikan saya memang positif terkena campak Jerman. Dr. Kandungan mengatakan bahwa kemungkinan selama ini saya tidak pernah terkena campak, karena campak hanya sekali seumur hidup. Yang lebih memukul kepala kami lebih keras lagi adalah, jika seorang wanita hamil di tri semester pertama terkena campak Jerman maka dipastikan 98% bayi yang dikandungnya akan mengalami, buta, tuli, bisu dan cacat permanen lainnya. Suami saya tertegun seperti patung, saya tahu saat seperti ini saya tidak bisa mengandalkannya untuk menenangkan hati saya yang retak.

Ya Allah bagaimana bisa? Meskipun dua anak lelaki bagi kami sudah cukup, bukan berarti kami tidak akan menerimanya jika kami kau beri satu lagi. Adakah hal lain yang bisa kami lakukan agar kemungkinan 2% tersebut adalah keajaiban? Sebagai seorang ahli, saran apa yang bisa dokter berikan? Beliau mengatakan: dikuret. Tidak adakah jalan lain? Tidak adakah hal lain yang bisa dilakukan oleh Ilmu kedokteran? Ilmu kedokteran sejauh ini membantu mendiagnosa sehingga kita bisa memiliki pilihan-pilihan yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Hanya itu. Dokter memperbolehkan kami pulang dengan pesan, keputusan mesti segera diambil atau too late.

Berhari-hari saya seperti hilang kesadaran, seperti tubuh saya dicacah dan jiwa saya melompat-lompat tanpa tentu rimbanya. Saya yang tidak mempunyai saudara, saya yang jika dunia ini belum cukup padat ingin mempunyai anak banyak. Dan sekarang saya dihadapkan pada pilihan seperti ini? Bagaimana jika saya mempertahankannya, dan sepanjang hidup saya melihatnya hanya terkapar di tempat tidur? Bagaimana jika suatu saat kelak dia justru menghakimi saya karena membiarkannya hidup dalam keadaan seperti itu? Buta, tuli, bisu dan cacat lainnya? Bagaimana bila dia termasuk yang 2%. Adakah selama ini bukti dari 2%?.

Orang-orang yang kami cintai yang mengelilingi kami, yang tahu banyak ajaran agama lebih berpikir rasional. Bahwa sebelum usia tiga bulan dengan alasan yang kuat, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, mampukah saya ‘membuangnya? Sekarang saja jiwa saya serasa tercabut seluruhnya.

Untunglah saya mempunyai dua wajah malaikat di samping saya, keceriaan dan tangisan mereka menjadi satu-satunya penghubung saya dengan dunia nyata. Kami harus mengambil keputusan, putra kami membutuhkan saya. Mereka tidak membutuhkan mayat hidup disamping mereka.

Seandainya imunisasi campak sudah diberikan gratis seperti saat ini, pada bayi-bayi ketika berusia 9 bulan. Mungkin kami tidak akan pernah dihadapkan pada pilihan simalakama ini. Kami mengambil keputusan. Keputusan yang meremuk redamkan. Keputusan yang membawa sebagaian jiwa kami hilang.

Hari ini tepat putra kami yang kedua berusia 3 tahun, waktu berlalu dari dua setengah tahun waktu yang menyedihkan. Kami hanya manusia, mencoba membuat pilihan. Semoga pilihan tersebut tidak salah.

Bukannya mudah, menatap ruang operasi yang dingin. Saya mengalami operasi ke empat. Masih melintang dan perih. Dan putri kami menangis keras-keras. Dia memberikan kebahagiaan yang dalam. Kami memanggilnya Aya, yang artinya keajaiban.

Rabu, 04 Februari 2009

Akhirnya Datang Jua

Alhamdulillah. Itulah ucapan syukur kami terhadap keinginan yang dikabulkan. Meskipun sesungguhnya banyak hal lain yang mestinya kami syukuri namun kami luput merasakannya. Nadi yang tetap berdenyut, harumnya bunga kala pagi menyapa, rasa cinta, pernikahan, keluarga, sahabat dan masih banyak yang lainnya. Maafkan kami Ya Khaliq terhadap kealphaan ini.

Setelah operasi endemetriosis yang menurut bahasa lugas kami ‘mengangkat’ tumor yang besar. Sedangkan ‘bibit’ tumor maupun tumor yang kecil-kecil tidak bisa dibersihkan dengan cara operasi maka saya di terapi Tapros selama 3 bulan. Selain itu, Tapros juga merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan agar kasus yang sama tidak terulang. Namun demikian dokter tidak bisa menjamin kasus yang sama tidak akan terjadi lagi.

Sekitar lima bulan kemudian setelah operasi saya mengalami menstruasi yang pertama kalinya. Tidak mens adalah salah satu akibat dari terapi tapros tersebut. Sebagaimana anjuran dokter kandungan maka saat mens pertama kali kami mendatanginya. Saya mendapatkan vitamin dan ‘jadwal’ berhubungan dengan suami di masa-masa subur. Kami mesti mengikuti jadwal tersebut.

Dalam upaya ‘mentaati’ jadwal, kebetulan saya harus menghadiri pertemuan di Jakarta sejak senin sd hari jum’at. Padahal hari Jum’atnya adalah waktu dimana saya harus menerapkan jadwal pertama yang sudah ditetapkan dokter. Biasanya saya selalu pulang esok harinya. Selain untuk menghindari kemacetan Jakarta, hal tersebut saya lakukan agar saya tidak terburu-buru dan memanfaatkan waktu untuk berdiskusi dengan teman-teman. Namun jum’at itu sebelum acara pertemuan di tutup saya sudah berpamitan, sudah pasti semua bertanya-tanya. Jawaban saya adalah: saya mesti pulang malam ini dan bertemu suami saya karena kami merancang kehamilan. Teman-teman tertawa, sebagian mungkin beranggapan saya mengada-ngada. Padahal itu adalah jawaban saya yang terjujur.

Sebulan kemudian saya tidak menstruasi lagi, saya pikir itu adalah salah satu effect dari tapros yang masih tersisa. Saya sempat makan durian banyak, durian adalah salah satu buah favorit saya. Teman-teman sempat mengingatkan karena mereka tahu saya sedang merancang kehamilan. Di kehamilah pertama saya sempat menanyakan kesukaan saya tersebut kepada dokter kandungan. Dan jawabannya adalah “ Asalkan belum satu becak, boleh saja”. OLeh karena itu jawaban saya terhadap kekhawatiran teman saya adalah “ Belum satu becak khan?”. Meskipun saya belum tahu pasti dan tidak mempunyai firasat apapun.

Setelah satu minggu keterlambatan, saya mengeceknya menggunakan salah satu alat test kehamilan. Negative. Sy menghubungi dokter kandungan lagi, dan menanyakan hal tersebut. Dr. kandungan menyarankan saya untuk melakukan test lagi dengan alat test yang menurutnya lebih akurat. Saya disarankan salah satu merk. Saya lakukan sarannya. Alhamdulillah, janin yang kami tunggu, agar anak pertama kami tidak menjadi anak tunggal akkhirnya datang jua.

Hari-hari saya lalui dengan semangat baru, dengan kebahagiaan yang membuncah. Dan kandungan saya memang tidak bermasalah. Saya tidak mengalami mual, saya tidak mengalami ngidam. Semua berlangsung dengan ringan, penuh keceriaan. Hingga kandungan memasuki bulan kedelapan dr kandungan mengatakan bahwa selama ini dia cukup was-was. Ternyata pada kebanyakan kasus setelah terapi tapros, pada usia kehamilan 2 atau 3 bulan janin akan gugur. Ketika saya tanyakan ‘kenapa saya tidak diberitahu?, dokter mengatakan ‘cukuplah dokter saja yang was-was.

Begitulah, dibantu dokter yang baik, semangat, harapan dan doa, kehamilan saya sungguh terasa tidak bermasalah. Bahkan waktu puasa hingga sembilan hari saya lalui tanpa keluhan. Hingga waktu melahirkan tiba. Seminggu sebelum hari H. Kami berkonsultasi dengan dokter dan menurutnya jika persalinan saya lancar saya bisa melahirkan secara normal. Namun jika di tengah proses terjadi sesuatu, maka saya tetap harus di operasi karena saya tidak boleh di – vacum ataupun upaya-upaya lain yang biasa dilakukan untuk mengeluarkan bayi dalam persalinan normal. Daripada dua kali kehilangan energi, kami memutuskan operasi. Hal ini lebih memudahkan saya untuk memantapkan hati dan menyiapkan mental.

Saya ingat, hati H tersebut adalah hari Kamis, 9 Ramadhan 2005. Rabu saya masih bekerja seperti biasa, namun ketika sore sekitar jam2-3. Saya mendatangi ruang kerja salah satu teman yang mempunyai empat anak. Saya mengatakan bahwa perut saya kadang terasa seperti berdenyut. Teman tersebut kaget, karena menurutnya gejala itu adalah pra kontraksi. Maklumlah, saya memang belum pernah merasakan seperti apa pra kontraksi ataupun kontraksi tersebut.

Hari itu, rabu, saya pulang jam 4 sore, menghubungi dokter. Sarannya jika denyut semakin cepat menjadi per 15 menit maka saya mesti segera ke rumah sakit.
Esoknya jam 9 pagi, saya memasuki ruang operasi untuk yang ke tiga kalinya. Tidak terasa sakit namun perut saya serasa liat ketika dibelah. Alhamdulliah, saya melahirkan nafas kecil kedua kami. Laki-laki. Kata Dokter, muka dan tubuhnya bersih sekali. Meskipun putra pertama kami yang berusia 4 tahun sempat cemberut. “Bagaimana sih yah, Allah ini” katanya pada suami saya. “Saya khan udah minta adik perempuan kok diberi laki-laki?”. Katanya.