tag:blogger.com,1999:blog-88171019277475151432024-03-18T21:31:55.659-07:00iddailynet | my familyIman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.comBlogger25125tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-82707262248671695842011-03-21T05:14:00.000-07:002011-03-21T05:14:10.095-07:00Nicolas Cage dan Hantu Pocong<i>Minggu malam lalu, Saya dan suami mempunyai kesempatan menonton film Drive With Angry. Setelah menonton film tersebut suami berkomentar sinis. <br />
</i><br />
<br />
"Itulah bedanya film kita dengan film luar. Ketika orang yang sudah mati melakukan balas dendam bisa tampil bak coboy, keren dan masih bisa mengendarai mobil-mobil koleksi yang masih mengkilap. Coba kalau film kita, jika orang yang sudah mati melakukan balas dendam pasti pocong pocong yang bermunculan." Saya tersenyum mendengarnya.<br />
<br />
Sebelumnya Saya minta maaf jika ulasan Saya ini salah, karena saya bukanlah pengulas firm sekaliber Mayong Suryo Laksono. Dan saya tidak bermaksud menjadi pengulas film. Tulisan ini mungkin hanya ungkapan keprihatinan dari wanita, ibu, yang kebetulan lahir dan mencintai bumi Indonesia ini. That’s all.<br />
<br />
Kebetulan, paginya harian Kompas, Minggu, 13 Maret 2011 pada kolom tren/hiburan terdapat ulasan film yang berjudul: Hantu Plus Sensasi Tubuh. Lalu ada lima gambar banner yang berisi film yang diputar. Kebetulan hanya satu yang tidak berjudul hantu. Empat lainnya, Kalung Jelangkung, Pocong Ngesot, Arwah Goyang Karawang JUPE-DEPE, Peluk Hantu……(judul terpotong karena berbatasan dengan pinggiran Koran).<br />
<br />
Film horror Indonesia tengah ramai diputar di bioskop. Sensasi tubuh masih menjadi suguhan utama, selain tentunya adegan yang dimaksud untuk membuat penonton “takut”, tulis Kompas dalam leadnya.<br />
<br />
<b>Curhat Penakut</b><br />
<br />
Saya kebetulan seorang penakut, daripada Saya kemana-mana malam hari selalu merepotkan, karena membutuhkan pengantar, maka Saya menghindari menonton film dengan judul yang “menyeramkan”. Jika Minggu malam yang lalu film Nicolas Cage tersebut berjudul: Nicolas Cage Membalas Dendam Dari Dalam Kubur. Mungkin saya akan mengantisipasi dengan tidak nontonnya. <br />
<br />
Untunglah film tersebut berjudul Drive with Angry. Meskipun beberapa adegannya aneh dan mengumbar darah (menutup mata he..he..), saya masih bisa menikmatinya. Mendapatkan hiburan. Apalagi setelah di tengah cerita saya tahu bahwa Nicolas Cage sang aktor utama, digambarkan sudah meninggal. <br />
<br />
Namun karena kecintaan kepada anaknya yang terbunuh dia meninggalkan neraka dan membalas dendam. Sang Penjaga Neraka? Atau Sang Pencabut Nyawa? Digambarkan berstelan sangat rapi, berdasi dan memperkenalkan diri sebagai sang akuntan. Atau seseorang yang bertugas menghitung, kebaikan dan keburukan?<br />
<br />
<b>Untuk ada Hollywood</b><br />
<br />
Saya dan suami merasa terhibur. Setidaknya tidak membuat saya ketakutan ketika malam atau membangunkan suami Saya karena tiba-tiba Saya bermimpi seram. Sungguh, Saya salah satu penikmat film yang bersyukur karena import film dari Paman Sam masih berlanjut. <br />
<br />
Padahal sempat beredar khabar hendak dihentikan. Selama film tanah tercinta ini masih didominasi film film seperti ulasan kompas tersebut. Semoga import film masih dilanjutkan. Meskipun Saya juga sangat menyukai dan menonton film Laskar Pelangi, Sang Pencerah, Ayat ayat Cinta dan Garuda di Dadaku. <br />
<br />
Film film lokal lainnya (yang tidak berhantu!!) karena satu dan lainnya tidak sempat Saya tonton bukan karena Saya tidak suka, tapi karena kebetulan kesempatan yang tidak ada. Film hantu, nggak lah,..<br />
<br />
<i>Taman Indah 15 Maret 2011</i>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-16534123089968671412011-03-09T18:39:00.000-08:002011-03-09T18:39:55.916-08:00Peran ayah bagi bayi<div class="separator" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" height="133" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZiWKplqDsj4Nj3No-8fmYiUq-Jn_Lfk577G7smjby2IHkNS9iUMnyumtdfswWWX9U3rgq4aYybuZtfJT9pnKXPIZJFccMi6slgK3yNPu3qwtl-sHaSWgHIenfGHBk-nq3L8Qx1SoPN19X/s200/baby_hand.jpg" width="200" /></div>Siapa bilang ayah tidak punya peran penting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi? Sudah waktunya pikiran itu dibuang jauh-jauh. Ayah punya peran sama besarnya dengan ibu.<br />
<br />
Berbagai penelitian menunjukkan, semakin awal ayah terlibat dalam kehidupan anak, si anak akan jadi pribadi yang sehat, cerdas, bahagia, dan lebih dekat dengan sang ayah, tentunya.<br />
<br />
Sebenarnya manfaatnya tidak hanya untuk si bayi. Ketika ayah ikut terlibat dalam mengurus/mengasuh anak, ayah juga akan lebih sehat, lebih teratur, hubungan dengan keluarga dan kerabat yang semakin baik, serta ikatan pernikahan yang lebih kuat dibanding suami yang belum jadi ayah.<br />
<br />
Jangan salah, ayah yang menjadikan anak sebagai prioritas utama biasanya punya karier yang lebih bagus dan lebih sukses dibanding ayah yang workaholic. Merawat bayi akan membuat ayah jadi kelihatan 'laki-laki' dan makin dicintai istri, tentunya.<br />
<br />
Sebagai ayah baru, mungkin saja kesulitan untuk memulai mengganti popok, memandikan bayi, bermain, atau bahkan menidurkan. Itu hal biasa di minggu-minggu awal kelahiran sang bayi.<br />
<br />
Ayah bisa mensiasati dengan melakukan hal-hal itu sejak sebelum istri pulang dari rumah sakit. Melakukan bersama dengan istri tentunya akan lebih menyenangkan dan ringan dalam belajar.<br />
<br />
Di minggu-minggu berikutnya, rasa canggung pasti sudah berkurang. Ayah akan semakin terampil dan sudah terbentuk bonding (ikatan) antara ayah dan bayi.<br />
<br />
Bonding antara ayah dan bayi, sama pentingnya dengan bonding ibu dan bayi. Bahkan stimulasi yang diberikan ayah akan membuat kemampuan kognitif dan motorik bayi berkembang. | <b>viemale-lifestyle.com</b>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-30314079782395759922011-02-26T01:50:00.001-08:002011-02-26T01:52:36.711-08:00Cinta pekerjaan, keluarga bahagia<div class="post-header"></div><img alt="" border="0" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5565885817619133730" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjP_700MoTLdxgUwceevD_7TIqhnwOhsIxn8wwsfs98FAKhqZ2sRuOflCITyyS9zGcweNUPfaDLdj3WlXrLHho4_GD2r3TJ4NoVFUQv1GTLG_lyNyE7whX4dED-WQQyT6jYKsPDK56mxs/s200/happy+couple.jpg" style="float: left; height: 133px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 200px;" />Ketika bekerja di kantor menjadi beban, biasanya sesampainya di rumah pun beban itu akan terbawa.<br />
<br />
Pulang ke rumah, apapun yang dilakukan pasangan terlihat salah. Bawaannya jadi marah-marah melulu. Keluarga jadi tidak bahagia.<br />
<br />
Sebuah penelitian menyebutkan, pekerja yang merasa dihargai, tertantang, dan menyukai pekerjaannya, keluarganya juga lebih bahagia.<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=8817101927747515143&postID=3031407978239575992" name="more"></a><br />
<br />
Bagaimana agar keluarga tidak terpengaruh dengan pekerjaan, berikut tipsnya:<br />
<br />
1. Cari dukungan dan bantuan dari pasangan<br />
Mencari solusi bersama pasangan bisa memperkuat ikatan perkawinan. Karena sudah saling kenal, biasanya pasangan akan memberikan pandangan dan umpan balik yang tepat yang bisa memperbaiki situasi pekerjaan.<br />
<br />
2. Membuat kemajuan di kantor<br />
Penelitian di Harvard Business Review menemukan kalau faktor utama yang meuat pekerja senang dan termotivasi adalah 'kemajuan'.<br />
<br />
Pekerja yang termotivasi untuk berhasil, cenderung lebih bahagia, dan kebahagiaan itu akan ditransfer ke pasangan di akhir hari.<br />
<br />
3. Mengurangi stress<br />
Sebuah penelitian menyebutkan, ada hubunga antara stress karena pekerjaan dengan kesehatan yang memburuk. Dua stress yang yang paling banyak adalah karena tidak ada dukungan dan hubungan interpersonal yang buruk.<br />
<br />
Kesehatan yang baik dan sikap optimis akan membuat pasangan lebih bahagia.<br />
<br />
4. Berbagi kehidupan pekerjaan<br />
Pernikahan yang bahagia adalah ketika tidak ada rahasia yang disimpan. Termasuk pekerjaan yang mungkin membosankan untuk diceritakan, cobalah untuk dibagi dengan pasangan.<br />
<br />
Last but not least, carilah pekerjaan yang menyenangkan karena bisa membantu kehidupan keluarga menjadi lebih bahagia.<i> | </i><b>http://viemale-lifestyle.com/</b><i> </i>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-44495144801021913852010-12-06T00:02:00.000-08:002010-12-06T00:04:11.831-08:00Belajar dari Keindahan Cinta Habibie<a href="http://idmyfamily.blogspot.com/">Balgis Muhyidin</a><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.iddaily.net/2010/12/belajar-dari-keindahan-cinta.html"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 200px; height: 140px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXB7R-OC4zOAO9LlgnS4f_ELgf4F74z2tYFFsbpQrZzMDzFemYwwFmadMexzP6H1DI31dzkRiMppWOGMTOjAO1X9jBAN2Yx7zzEIaAWsXfpY_SgVp3M8CsrLKQ4Hv8H299EUCFR1StcX9e/s200/habibie-dan-ainun.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5547472726664411842" border="0" /></a><span style="font-style: italic;">Kita mengenal banyak cinta. Cinta kepada Sang Pencipta, orang tua, anak, saudara, dan sebagainya. Kali ini, Saya ingin belajar dari cinta mantan Presiden BJ. Habibie pada istrinya, Alm. Ainun Habibie.</span><br /><br />Kisah cinta keduanya mulai banyak dibicarakan dalam detik-detik perjuangan Ainun Habibie di Jerman, hingga meninggal beberapa bulan lampau. Mantan Presiden Indonesia ke tiga, yang katanya the right man in the wrong time dalam dunia politik Indonesia itu, menunjukkan kepada dunia tentang definisi cinta.<br /><br />Pada detik-detik menegangkan itu, Habibie tidak pernah meninggalkan RS tempat ibu Ainun dirawat. Pasti tidak mudah. Senyaman-nyamannya sebuah rumah sakit, tapi melihat orang yang kita cintai terkapar, adalah teror tersendiri. Apalagi, di akhir cerita, Ainun meninggal dunia. "Separuh jiwa saya serasa pergi," katanya dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab di Mata Najwa Metro TV. Mata Najwa, berkaca-kaca.<br /><br />Bagi Saya, itu keindahan cinta. Keagungan cinta anak manusia. Cinta yang tidak egois, Cinta yang mulia. Cinta yang tak lekang di makan waktu. Setiap manusia, menurut Saya, butuh cinta yang memberi tauladan semacam ini.<br /><br />Dan Habibie, adalah lelaki yang layak untuk dicintai. Di alam sana, Ainun pasti setuju hal ini. Kelebihan-kelebihan mereka berdua hanyalah mereka yang tahu. Kelebihan yang saling dimiliki oleh pasangannya, yang tetap mempertahankan cinta keduanya tetap murni. Mereka berdua saling berlomba untuk memberi tanpa pernah bertanya kapan menerima. Mereka adalah pribadi yang luar biasa.<br /><br />Saya melihat prosesi pemakanan Ibu Ainun. Luar biasa. Begitu banyaknya orang yang melayat. Berduka. Padahal, ketika Ainun masih hidup, tidak banyak pemberitaan tentangnya (atau saya yang kurang tahu). Namun ketika meninggal, justru menjadi sangat fenomenal.<br /><br />Ini karena Habibie meletakkan ibu Ainun di posisi yang sangat terhormat sehingga memancar kepada semua orang. Selain karena pribadi Ainun yang memang pantas dihormati. Kesederhanaan Ainun menyenangkan semua orang. Sepertinya, cinta Habibie menulari semua orang untuk bertindak yang sama. Menghormati Ibu Ainun.<br /><br />Habibie dan Ainun seolah ingin mengatakan: Cintaku, kau sudah cukup, aku tidak memerlukan yang lain. Tidak butuh pandangan terpesona orang lain, karena apa yang mereka punya lebih mempesona. Mereka tidak butuh kekaguman orang lain. Karena hubungan yang mereka miliki sudah sangat mengagumkan.<br /><br />Saya sungguh terpesona. Dunia nampaknya akan jauh lebih menentramkan, jika cinta yang kita miliki pada sesama, seputih cinta yang ditunjukkan oleh Habibie dan Ainun.<br /><br /><span style="font-style: italic;">*Tulisan Balgis Muhyidin lain, </span><a style="font-style: italic;" href="http://idmyfamily.blogspot.com/">klik di sini</a><span style="font-style: italic;">!</span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><br />*Foto oleh kalagondang.wordpress.com</span>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-92032953955069316232010-05-07T16:03:00.001-07:002010-05-07T16:04:44.205-07:00Terpesona Keukenhof<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://www.iddaily.net/2010/05/terpesona-keukenhof.html"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 292px; height: 219px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOyWZZKZiEJmb5pZKCeRmrjNVkFq5jqioJNItNJoIWSyrhzSA7mK4fRHl2Ku9XthoOz0QqHbVnXayabqjzWip2cU9BPQznK50Y4iS4dPGb9H6AnyGZLBP9G7FXvfgo6mdowWgj_QOViuJL/s400/keukenhof+3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5468665207503685490" border="0" /></a><a href="http://idmyfamily.blogspot.com/">Balgis Muhyidin</a><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Keukenhof adalah salah satu tempat yang menjadi prioritas untuk dikunjungi. Di majalah “Holland Herald” tertulis tempat itu sebagai The most beautiful spring garden in the world! Apalagi, taman ini hanya dibuka pada waktu tertentu, kali ini 18 Maret – 16 Mei 2010.</span><br /><br />Dari Amsterdam, Keukenhof bisa dijangkau dengan kereta antar kota ke arah Leiden. Lalu naik bus ke Keukenhof. Cuaca yang sedikit extreme (bahkan bagi orang Belanda), tidak menyurutkan langkah pengunjung taman ini.<br /><br />Taman ini benar-benar memanjakan mata dengan keindahan yang tertata sempurna. Di mana-mana, kehijauan dan bunga. Bunga tulip yang sudah sangat terkenal, tumbuh dengan cantik. Mulai kuntum, menjelang mekar dan mekar sempurna dalam berbagai warna.<br /><br />Beberapa jenis pohon belum sepenuhnya bersemi, hanya terdiri dari batang dan dahan. Uniknya, seluruh batang pohon seperti berlumut, kehijauan. Keindahannya bercampur dengan misteri kekuatan. Karena telah mampu melewati pergantian musim.<br /><br />Keukenhof adalah hasil upaya kerja keras ketika berhadapan dengan alam. Bayangkan, taman ini semua tertutup salju ketika musim dingin. Namun ketika musim semi, pemandangan berubah total. Semua warna bunga muncul seolah saling berlomba kecantikan.<br /><br />Perkiraan ketepatan waktu (musim), bibit, pupuk, kecintaan, tehnologi, kerja keras adalah beberapa ramuan utama untuk menghasilkan kebun yang indah ini. Setelah sebelumnya musim dingin menutupi semua lapisan tanah dan pohon dengan es.<br /><br />Beberapa pohon besar bertahan dengan merontokkan daunnya, dan ketika matahari menyapa mulailah kuncup bermekaran. Namun bunga tulip dan bunga lain yang ada di keukenhof pasti tidak seberuntung itu. Mesti selalu ditanam dan ditata ulang ketika menjelang musim semi. Dan hasilnya, bak negeri dongeng.<br /><br />Sungai-sungai kecil dengan gemerciknya adalah nyanyian alam yang tiada tara merdunya. Beberapa angsa bergerombol tanpa rasa takut. Melengkapi simponinya. Air mancur buatan yang berbentuk bunga seolah mendinginkan mata yang kelelahan. Di beberapa tempat terdapat sejarah asal muasal bunga.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Cocok "bebek"</span><br /><br />Di tengah taman terdapat taman kaca Willem–Alexander. Uniknya, ada tanaman cocor bebek di sana. Jadi ingat ibu-ibu di Indonesia yang biasa menumbuk daun cocor bebek tersebut dengan bawang merah dan di letakkan di ubun-ubun bayi dan anak kecil di bawah setahun.<br /><br />Ibu menyakini cara itu untuk mendinginkan kepala si bayi dan juga membuat bayi tersebut tidak terlalu sering keluar ingus. Sayangnya, tidak banyak yang tahu the big why? Kita hanya bisa melakukannyakan?<br /><br />Kincir angin yang dibangun sejak 1892, masih terawat baik. Kincir tiruan yang selama ini hanya saya lihat di toko roti Holland, jauh lebih indah bila dilihat langsung. Sudah sejak lama Belanda sudah menggunakan kincir angin untuk menghasilkan energy, menjadi listrik. Justru ketika negara lain masih mempunyai cadangan minyak. Belanda sudah melakukan upaya pencegahan untuk pemanasan global. Menggunakan tenaga yang lebih ramah lingkungan.<br /><br />Dan yang tak kalah mengesankan adalah banyaknya pasangan yang cukup tua, berjalan lambat saling bergandengan tangan. Keindahan Keukenhof seolah menyebar kepada siapapun yang mengunjunginya. Sejauh mata memandang hamparan keindahan ini, wajah-wajah renta yang berseri-seri dan kemesraaan yang tetap terbaca meskipun usia beranjak senja.<br /><br />| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-72247461460944884092010-04-10T01:58:00.000-07:002010-04-10T01:59:53.659-07:00Beruntunglah Hidup di Indonesia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://idmyfamily.blogspot.com/"><img style="float: left; margin: 0pt 10px 10px 0pt; cursor: pointer; width: 400px; height: 300px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjw7KNrQlMDj4mZIA4hPWKeGAm1SvdljzMFGg47AyZhfOkFi1iU5WdKZSLLwEiGkoyPFMbF4KlVpJnhv1EPW_zncPomN-HfCVS17egpI9LRDhME37SvCFHFnU1jhEqa-QQOe0DSuHQ8fpLW/s400/balgis_belanda.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5458423918254878114" border="0" /></a><a href="http://idmyfamily.blogspot.com/">*Pengalaman Sebelum Pameran di Belanda</a><br /><br />Berangkat dengan KLM 0810 (maskapai Belanda) jam 18.50 on time, meskipun tidak cepat take off dikarenakan cuaca yang kurang bersahabat. Menunggu beberapa pesawat landing barulah pesawat kami take off. Keberangkatan kami sebelumnya dari Surabaya – Jakarta dengan pesawat kebanggaan kita bersama justru mundur (delay) satu jam.<br /><br />Satu Jam kemudian kami mendarat di bandara Malaysia. Ops…kesan pertama saya, indah dan megah. Sangat modern. Sulit membayangkan, negara tetangga kita yang katanya dulu mengirimkan guru-gurunya untuk belajar di perguruan tinggi kita, mempunyai bandara yang luar biasa megah. Jauh lebih megah dari bandara kita. Orang-orang asing berseliweran, lebih banyak dari yang kami lihat ketika kami di bandara Soekarna Hatta – Jakarta.<br /><br />Tidak terjadi penumpukan penumpang, karena trem siap setiap saat mengangkut penumpang yang datang untuk dibawa ke tujuannya masing-masing. Padahal ketika di Soekarno Hatta, untuk masuk immigrasi dan masuk ke pintu penerbangan kami harus melalui antrian cukup panjang. Didominasi orang local yang hendak melakukan ziarah dan umroh. Nampaknya kita mesti belajar dari Malaysia dalam hal ini, effisiensi dan memudahkan. Sehingga tidak terjadi penumpukan. Kasihan sekali, lansia (lanjut usia) yang mau berangkat umroh maupun haji. Sebaiknya tidak antri berlama-lama, karena mereka mesti menyimpan tenaga untuk melakukan ibadah selanjutnya.<br /><br />Dari Malaysia, sekitar 30 menit kemudian kami berangkat menuju Amsterdam (Belanda). Sebelum memasuki pesawat, kami harus menunjukkan passport an tiket pesawat kami. Petugas di Malaysia tidak menunjukkan senyum, inilah kelebihan kita. Petugas kita masih lebih ramah. Ah seandainya semua bisa kita tingkatkan menjadi lebih baik, sehingga negara kita lebih menyamankan orang untuk tinggal.<br /><br />Kami mendapatkan 3 kali makan, ketika penerbangan ke Malaysia, ketika terbang ke Amsterdam dan sarapan pagi sebelum sampai di Amsterdam. Jadi jangan takut untuk kelaparan. Setiap dua jam, pramugari berseliweran untuk menawarkan minuman termasuk ice cream. Saya agak kawatir karena pengalaman saya di toilet manapun di tanah air yang ‘tidak cukup bersih’ dan selalu dengan aroma yang khas. Maka saya menahan diri untuk pergi ke toilet pesawat apalagi saya lihat banyak orang yang menggunakannya. Namun saya hanya bertahan 10 jam dari sekitar 16 jam penerbangan kami.<br /><br />Ternyata, toilet tersebut meskipun kecil tetap berbau harum. Cukup berbekal bahasa inggris sederhana kita bisa nyaman menggunakan toilet tersebut. Jadilah berkali-kali saya masuk ke toilet. Apalagi saya sedang datang bulan. Tips: Untuk teman-teman wanita yang akan melakukan bepergian seperti saya dan sedang datang bulan, sebaiknya membawa tas wanita dengan diisi cukup pembalut. Dan bisa menggantinya sesering yang dibutuhkan. Meskipun, jika anda meminta bantuan pramugari mereka akan dengan senang hari mencari dan memberikan tampon.<br /><br />Salah satu menu makan malam kami berisi potongan buah nanas, papaya dan melon. Orang yang duduk di samping saya nyeletuk: entah ini buah dari mana, kalau buah dari Indonesia pasti lebih enak. Orang tersebut orang Belgia yang tinggal di Indonesia selama 2 tahun terakhir. Sebelumnya juga pernah beberapa kali tinggal di Indonesia tapi tidak menetap. Usianya sekitar 65 tahun, tinggal di Bandung. Menurutnya, Bandung adalah tempat teruwet di Indonesia (bahkan mungkin di Dunia?) tidak ada kedisiplinan dalam berlalu lintas. Dan menurutnya, karena di Indonesia anak-anak sekolah tidak pernah diajari kedisiplinan sejak kecil. Benarkah? Ah, saya enggan berdebat. Mencoba tidur adalah focus saya saat ini.<br /><br />Alhamdulillah, jam 6,10 menit waktu Amsterdam kami landing di bandara Internasional Schiphol. Bandara yang besar sekali jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya tidak ada seperempatnya jumlah penduduk negara kita. Untungnya kami bertemu dengan teman-teman Undip yang sudah dijemput KBRI, dan kami bisa bersama mereka. Dengan guidance dari KBRI kami gampang melewati bandara yang luar biasa besarnya tersebut, jika tidak, mungkin akan gampang juga bagi kami untuk tersesat. Tiga macam tempat sampah tersedia di setiap sudut bandara. Paper, waste dan Pet lengkap dengan gambar dari masing-masing item yang dimaksud. Jika tidak mengerti arti tulisannya orang tetap bisa mengerti masing-masing kegunaan dari bak sampah dari contoh gambar.<br /><br />Kami bertemu teman KBRI yang berasal dari Surabaya, KH Mas Mansur. Jadilah kami berbahasa ‘suroboyoan’ dalam berkomunikasi. Dari dia kami mendapat informasi bahwa minggu sebelumnya cuaca sudah 20 derajat, namun minggu ini turun menjadi 10 bahkan kadang dibawah sepuluh. Apalagi disertai angin. Anomali cuaca terjadi dimana-mana ya. Karena belum pernah mengalami kami tenang-tenang aja. Namun ketika menuju mobil jemputan dan keluar dari gedung bandara..brrrrtttt ups dinginnya menusuk tulang, angin yang berhembus sedikit saja seperti menampar pipi kami dan membuat jalan kami sempoyongan. Saya jadi ingat lagi ketika orang di Belgia di pesawat tersebut bertanya: Tidak takut dingin? Dan saya dengan sangat percaya diri menggelengkan kepala. Rasanya saya harus mengkoreksi gelengan kepala tersebut.<br /><br />Sesampai di hotel dengan harga 32 euro perkepala dan diisi 4 orang (kami berempat), jadi 128 euro semalam. Setara dengan sekitar Rp. 1.500.000. Kami mendapat kamar ukuran 3 x 6 dengan dua tempat tidur kecil dua masing-masing bertingkat. Dan sprei, bantal masih dalam keadaan belum terbungkus. Dan disampingnya terdapat sprei dan bungkus bantal masih dalam plastic. Handuk tidak disediakan gratis dalam kamar, tidak ada TV, piring, ataupun gelas. Jadinya kami menggunakan tempat mi, sebagai tempat minum dan alas lainnya. Bahkan untuk memasak kembali mi bungkus yang kami bawa.<br /><br />Streofom tersebut kami tahu berbahaya, tapi no choice. Esoknya kami semakin menyadari bahwa disini semua mesti dilakukan sendiri. Beberapa orang yang menginap ketika akan sarapan kami lihat membawa sendiri sprei dan sarung bantalnya dan diletakkan di tempat cucian. Bahkan ketika selesai makan, semua meletakkan piring yang sudah kotor ditempat yang sudah disediakan. Ternyata hotel kami menginap adalah hotel pelajar, 70% dari pengunjungnya remaja muda dan menjelang dewasa.<br /><br />Meskipun kami juga melihat beberapa orang seusia kami. Yang menurut saya sangat berbeda antara remaja-remaja ini dengan remaja-remaja kita di tanah air adalah – selain tingginya pasti – tidak ada satupun dari mereka yang membawa telaphon genggam. Tidak ada satupun dari mereka asyik ber-sms atau bercengrama di telephon. Mereka berdiskusi tertawa-tawa dan bergembira dengan temannya dalam group kecil dan besar sembari makan, tanpa diganggu bunyi dering telephon maupun sms.<br /><br />Wach, padahal di tanah air kita anak2 SD pun sudah berlomba-lomba meggunakan blackberry. Tanah tercinta, dengan jumlah penduduknya yang besar sungguh pasar yang luar biasa bagi operator seluler maupun handset. Selain itu, sungguh nikmat tinggal di Indonesia. Dengan berbekal uang 500.000 an ribu kita bisa mendatkan hotel yang layak, sarapan beragam, TV HBO dan service yang memuaskan. Tidak perlu membawa sendiri sprei yang habis dipakai ketempat laundry…he..he…<br /><br />Saya jadi ingat, salah satu teman yang menikah dengan orang asing merasa sangat nyaman dengan jalan-jalan di Europe yang lempeng dan tidak macet. Dia berandai andai jika di Indonesia demikian. Namun dia juga menggaris bawahi: But I do still love hidup di Indonesia karena semua barang murah. Mungkin karena itu kita termanja, mungkin karena itu Belanda menjajah kita selama 350 tahun. Banyak yang tidak dimiliki Belanda, kita memilikinya. Meskipun setelah perdagangan bebas, semua memungkinkan. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, untuk mendapatkan terasi sangat sulit disini. Karena itu harganya jadi mahal. Wach, kita tidak bisa hidup tanpa terasi dan ikan asin khan?<br /><br />Seorang teman yang hidup di Belanda selama empat tahun mengatakan sulit menerapkan sholat disini. Bagaimana tidak jam 5 pagi waktu setempat kami masih melihat bulan penuh. Jam 10 malampun langit masih benderang. Pasti sungguh repot manakala puasa. Bravo Indonesia – kami mesti berlari melihat surga bunga nih……<br /><br /><span style="font-style: italic;">*The Hague 31 Maret 2010</span>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-30136419099957877322009-12-29T06:43:00.000-08:002009-12-29T06:44:57.509-08:00Nasibmu TKI<span>Balqis Muhyidin</span><span style="font-style: italic;"><br /><br />Mungkin judul tulisan ini, Nasibmu TKI (Tenaga Kerja Indonesia) seolah olah menyatakan bahwa saya tidak berpihak kepada mereka. Bahwa apapun yang terjadi dengan mereka, ya persoalan mu alias dirimu sendiri bukan diri kami atau diri kita, bukan saya. Karena itu tidak salah jika selama tahun 2009 seribu delapan belas TKI (Jawa Pos, 18 Desember 2009) tewas ketika bekerja, dan saya – kita! terkesan tidak berdaya mencegahnya.<br /></span><br />Seribu delapan belas TKI, bukanlah sekedar angka namun jumlah jiwa. Jumlah yang tidak sedikit. Jiwa warga negara Indonesia, karena keterbatasan lapangan pekerjaan yang dimiliki oleh Negara ini mengadu nasib ke negeri lain. Demi kelangsungan hidup keluarga. Memenuhi urusan perut, kadang banyak perut yang harus mereka tanggung. Sepadankah jika siksaan bahkan kematian yang mereka peroleh?<br /><br />Ketika saya membaca alasan beberapa TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Menterjemahkan alasan kepulangan, ketika suami saya bekerja di salah satu asuransi yang mengurusi TKI di Jawa Timur. Saya, sering mengeryitkan dahi. Bagaimana tidak, alasan-alasan itu bagi saya pribadi sungguh tidak masuk akal. Sungguh tidak manusiawi. Antara lain, TKW tersebut dipulangkan karena keringatnya bau. Karena anjingnya tidak suka dsb…dsb. Se-rendah itukah, harga tenaga kerja wanita kita? Sehingga seekor anjing bisa menjadi persoalan baginya untuk tidak mendapatkan pekerjaan?<br /><br />Tulisan ini bukan meniadakan bahwa mungkin tenaga kerja kita terkadang mempunyai persoalan-persoalan internal yang mesti diselesaikan. Namun, tidak bisakah kita mengirim mereka untuk menjadi lebih professional, sehingga orang tidak semena-mena kepada mereka?<br /><br />Saya tidak pernah ada di birokrat, sehingga mungkin apa yang saya sampaikan terkesan mustahil bagi birokrat. Benarkah? Jika menurut kaca mata sederhana saya, hal ini hanya tentang dua hal. Satu, menyiapkan mereka seoptimal mungkin sebelum berangkat, pelatihan-pelatihan yang bisa dicerna dengan cepat dan mudah dimengerti. Bisa diaplikasikan dan memang berguna untuk pekerjaan mereka kelak.<br /><br />Tidak ada salahnya memberi info tambahan tentang Negara yang dituju berikut kebiasaan-kebiasaan dan etika masyarakatnya. Bagus juga jika ditambah dengan pelatihan kepribadian sederhana. Sehingga mereka bisa menjadi tenaga kerja yang bisa menempatkan diri dan menyenangkan. Dengan sendirinya akan meningkatkan price dari TKI/TKW.<br /><br />Dua, Negara tercinta ini membuat hubungan diplomatis yang setara dengan Negara penerima TKI/TKW. Membuat hotline 24 jam, buku saku atau apalah yang bisa mereka akses dalam kondisi darurat. Dan juga secara rutin KBRI setempat mengecek keberadaan warganya, berbicara langsung dengannya. Sehingga kasus-kasus penyekapan sekian bulan bisa diminimalkan.<br /><br />Saya menyadari adanya TKI/TKW yang berangkat secara illegal. Menyulitkan penanganannya. Benarkah itu? Bukankah petugas immigrasi, bandara/ pelabuhan adalah pegawai pemerintah? Bukankah masih berada dalam satu lini untuk koordinasi? Benarkah itu masalah yang tidak bisa dipecahkan? Bukankah kita punya data wilayah-wilayah sending area atau wilayah-wilayah yang banyak mengirimkan TKI, bisa khan kita mulai melakukan sesuatu dari sana?<br /><br />Ketika TKI/TKW menjadi tenaga kerja yang mumpuni dan handal, saya pikir keringat bau ataupun alasan yang tidak masukan akal lainnya tidak akan dengan mudah mendepak mereka. Dengan mempertimbangkankan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi TKI/TKW yang tidak murah. Sungguh menyedihkan jika mereka mesti dipulangkan hanya dalam kurun waktu satu atau dua bulan. Meskipun itu masih lebih baik dari pada mereka hanya pulang berupa jasad.<br /><br />Saya yakin seseorang bisa melakukannya. Seseorang yang mau dan mempunyai kesempatan. Membenahi kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan TKI/ TKW. Semoga, orang yang punya kewenangan agar dampaknya bisa lebih besar. Sehingga teman-teman, saudara-saudara kita ketika kembali ke tanah air, tidak hanya nama. Ketika pulang, mereka bisa menikmati hasil jerih payah dalam keadaan sehat, berkumpul dengan keluarga. Mengganti waktu waktu penuh kerinduan dan kerja keras yang sudah dilakukan sebelumnya. Untuk itulah, seharusnya keringat mereka menetes.<br /><br />Di Taman yang Indah, 19 December 2009Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-30325628375241785162009-12-18T09:10:00.000-08:002009-12-18T09:12:52.086-08:00Mencintai Batik Adalah Mencintai IndonesiaBalgis Muhyidin<br /><br />Sebelum tanggal 15 oktober lalu, saya menerima banyak sms yang berisikan ajakan untuk mengenakan busana batik di hari tersebut. Sebagai bentuk solidaritas terhadap pengukuhan batik oleh Unesco sebagai warisan budaya asli Indonesia. Namun ketika di hari H, saya me reply sms teman-teman tersebut dengan pertanyaan: Apakah anda menggenakan batik hari ini?. Jawaban yang saya terima beragam. Ada yang menjawab, ya iyalah masak iya donk. Atau cukup dengan yoi. Dan he..he… lupa.<br /><br />Dalam beberapa bulan terakhir ini (khususnya di Surabaya) banyak pameran bertajuk batik. Ada pameran khusus batik, batik dengan handycraft lainnya ataupan pameran lain namun menempelkan unsur batik. Dari pengamatan saya, remaja pun banyak yang mengenakan batik dan mereka tidak nampak jadul (jaman dulu). Model dengan bahan dasar batik yang ditawarkan saat ini mempunyai banyak pilihan. Hal ini menjadi angin segar bagi pengrajin, dengan banyaknya kesempatan pameran mereka memunyai banyak kesempatan untuk memasarkan hasil karyanya.<br /><br />Batik, sebagai sebuah produk sebagaimana pergeseran jaman, batik juga mengalami perubahan. Meskipun masih ada batik yang tetap mempertahan pakem dengan tetap mempunyai makna filosofi pada setiap motifnya. Misalnya motif kuno Sidomukti, biasa dipakai pada saat pernikahan dengan harapan pernikahan tersebut akan langgeng dan membahagiakan. Atau motif kuno Satrio Manah, yang mempunyai arti bahwa pemakai batik ini adalah orang yang menjunjung tinggi moral dalam mencapai tujuannya. Di Jawa Timur, motif kuno yang mirip motif batik kuno dari Solo dan Jogja banyak ditemui salah satunya pada batik tulis yang berasal dari Tulung Agung.<br /><br />Selain pergeseran motif, batik juga mengalami pergeseran cara pembuatan. Jika sebelumnya batik hanya ada batik tulis, maka sekarang banyak dibuat batik cap. Biasanya digunakan dalam jumlah besar agar mendapatkan batik yang sama, umumnya untuk seragam. Bahkan kain dengan motif batik, juga disebut batik. Padahal proses pembuatan batik, baik batik tulis maupun cap melalui beberapa tahap yang cukup rumit dan memakan waktu lama hingga akhirnya kain menjadi bahan. Selembar batik tulis bisa memakan waktu seminggu, dua minggu bahkan bisa berbulan-bulan.<br /><br />Yang pasti, batik cap khususnya batik tulis banyak menyerap tenaga kerja manusia dalam pembuatannya. Seharusnya jika kita mencintai negeri ini, kita bisa memberikan sumbangan yang luar biasa jika masing-masing dari kita mempunyai koleksi batik tulis yang bukan hanya digunakan saat kondangan. Sehingga pengrajin batik tidak perlu eksport (yang aturannya dirasa cukup menyulitkan bagi sebagian pengrajin). Mengenakan batik pada setiap kesempatan. Mengenakannya dengan bangga. Sehingga siapapun tidak ada yang bisa mengklaim, bahwa batik milik mereka. Kesempatan mengklaim akan muncul, ketika kita menempatkan batik dalam sebuah ruang terisolasi dan tidak menjadi bagian keseharian kita.<br /><br />Dengan menggenakan batik, kita sudah menciptakan dan melanggengkan lapangan pekerjaan. Sehingga membatik tidak hanya dilakukan oleh kelompok tua namun para pencari pekerja baru bisa melirik lapangan pekerjaan ini sebagai salah satu pilihan yang menjanjikan. Pekerjaan ini tidak harus dilakukan dikota yang pada akhirnya mengurangi urbanisasi dari desa ke kota. Sehingga kota tidak harus dibanjiri pencari lowongan pekerjaan yang dipenuhi mimpi-mimpi yang kadang menyesatkan.<br /><br />Itulah uniknya pengrajin batik, dengan tetap berada di daerah asal. Pengrajin akan tetap mempertahankan ke-orisinil-an dan nilai estetika dari masing-masing daerah berikut ciri khasnya. Tidak harus menunggu himbauan presiden untuk mengenakan batik, tidak harus menunggu peraturan pemerintah untuk menggenakan batik di hari kamis dan jum’at. Namun mari mencintainya dari lubuk hati yang terdalam, membelinya dan menggenakannya dengan bangga. Selembar batik tulis adalah hasil upaya kerja keras, kecintaan untuk melestarikan budaya, imajinasi, semangat dan cinta yang tak pernah luruh.Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-69738994137910850482009-09-20T10:20:00.000-07:002009-09-20T10:27:45.798-07:00Seputih di Hari Nan FitrieBalgis Muhyidin<br /><br />Andai boleh kupinta hari<br />‘tuk selalu<br />Seputih hari nan fitrie<br /><br />Agar ada maaf<br />Untuk semua kealphaan<br />Dari kodrat insani<br /><br />Kuucap namaMU<br />Di hembusan surgawi Ramadhan<br />Seindah kalam yang telah KAU janjikan<br /><br />KarenaMU<br />Kumencoba melintasi hari<br />Mencoba mengendalikan diri<br /><br />DipintuMU<br />Aku mengetuk<br />Meski aku terseok dengan beban pertanyaan yang sulit terjawab<br /><br />Pintaku<br />Putihkan hatiku ‘bak salju<br />Setelah perjalanan yang melelahkan<br />Agar bisa kuberikan senyum<br />Meski luka tertorehkan<br /><br />KarenaMU<br />Kutahu, kumampu<br /><br />KarenaMU<br />Genderang bedug takbir mengalun merdu<br /><br />Tulisan diatas saya buat sekitar 13-14 tahun yang lalu. Saya bagikan pada teman-teman Indonesia saya yang kebanyakan waktu itu berada di Paiton Project. Teman sekretaris yang tidak sekantor dengan saya bercerita, bahwa salah satu Engineer di perusahaannya sampai bertengkar dengan istrinya gara-gara tulisan tersebut. Istrinya bertanya, kenapa tulisannya sangat personal banget, dia punya hubungan apa dengan si penulis/ pengirim hingga tulisan itu harus nyampe ke rumah mereka.<br /><br />Saat itu saya cuek saja, karena tulisan itu juga saya berikan kepada sekitar lima puluh teman lainnya, yang merayakan Idul Fitri. Sahabat dan teman bagi saya sangatlah special, canda dan tawa kami bagi bersama. Namun, mereka semua sama tiada beda. Saya menyayangi mereka, itu aja. Menurut saya, tulisan itu adalah bentuk kecintaan saya padaNYA, bukan pada seseorang. Itu alasan saya waktu itu, pendeknya ‘emangnya gue pikirin?’.<br /><br />Namun saat ini saya memikirkannya. Siapapun wanita itu (istri engineer itu) jika dia membaca tulisan ini, dari relung hati yang terdalam saya memohon maaf. Niat saya waktu itu (menurut saya) didasari niat baik, membagi cinta saya padaNYA kepada sahabat-sahabat saya. Mendapatkan cintaNYA, dengan meniti tangga maaf dari orang-orang disekeliling saya. Namun apa gunanya niat baik tersebut, jika ternyata melukai hati orang lain?<br /><br />Belajar dari pengalaman tersebut, saya sadari banyak hal dalam kehidupan menghadapkan saya pada situasi dilematis. Kejadian maupun keputusan yang menurut saya ‘baik-baik’ saja belum tentu baik bagi orang lain. Dalam keseharian saya, disengaja atau tidak banyak sekali catatan-catatan tersebut mengiringi semua interaksi saya. Interaksi saya kepada sesama. Ketika saya menyandang kodrat saya, sebagai manusia. Untunglah saya diberi kesempatan untuk meminta maaf, meskipun saya setuju permintaan maaf itu tidak harus menunggu lebaran. Salah satu keindahan ritual tahunan ini adalah mengingatkan kita untuk selalu bermaaf-maaf-an. Yang kadang sering terlupakan.<br /><br />Saya pernah mendapatkan sebuah kartu post yang cantik dengan tulisan: Maafin saya ya?? Score kita sekarang 0-0. Ketika itu saya menganggapnya biasa-biasa saja, emangnya sepak bola? Score 0:0? Teman saya benar, coba bayangkan jika catatan-catatan yang berisi kealphaan scorenya bukan 0:0, tapi menjadi 124765 : 190872 (kali 100 kalau kita punya teman 100 – meskipun masing-masing angkanya bisa berbeda) atau kali 1000 jika teman kita 1000 orang. Bagaimana kita bisa meraih fitri, dan hati kita kembali putih? Kembali bersih? Serasa bayi yang baru dilahirkan? Ketika catatan-catatan tersebut masih belum termaafkan? Ketika semua teman kita belum mengosongkan kekhilafan, belum menghapus semua kealphaan? Belum memberikan score nol untuk kita, dan kitapun belum memberikan score nol untuknya?<br /><br />Menurut pemahaman saya, dengan memberikan score nol untuk semua kekhilafan adalah salah satu bentuk kebesaran hati. Dengan memberikan score nol, kita telah mengalahkan hasrat manusiawi kita untuk selalu mengingat kesalahan orang lain. Meluluh lantakkan ke egoan kita dan menggantinya dengan cinta, dengan kasih. Menurut saya, Islam adalah kelembutan, adalah kasih. Bagaimana bisa, kita membiarkan spons spons hati kita berdarah-darah dengan kebencian dan kedengkian dengan selalu mengingat kekhilafan dan kealphaan orang lain? Dengan score nol kita berusaha mendekati kesempurnaan fitrah kita sebagai manusia, memaafkan orang lain dan memaafkan diri sendiri.<br /><br />Dalam kesempatan ini ijinkanlah saya dari segala kedunguan saya sebagai manusia yang kadang terlalu sok pintar, terlalu merasa bahwa apa yang saya lakukan selalu benar. Sehingga mengabaikan ruang-ruang lain yang sebenarnya berisi kebenaran hakiki. Terlalu sok tahu tentang kedalaman hati manusia, padahal hanya secuil pengetahuan saya tentangnya. Bagaimana saya bisa, memastikan hal yang baik untuk orang lain, manakala saya sendiri melakukan kesalahan terhadap keputusan yang saya ambil?<br /><br />Bahkan kadang saya sering tidak tahu apa yang saya inginkan? Bagaimana bisa, saya memastikan seolah saya paham keinginan orang lain? Untuk itu teman, perkenankan saya meminta maaf. Agar teman-teman bisa mengosongkan lembaran-lembaran khilaf dan alpha. Agar score kita menjadi 0:0. Tapi untuk catatan yang baik, jangan 0:0 dunk….semoga semakin banyak dan banyak sehingga menjadi salah satu bekal baik kita kelak ketika mesti menghadapNYA.<br /><br />Seandainya boleh kupinta hari-hari ……selalu seperti hari nan fitri….putih…bersih…Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-19387918443356005592009-09-04T14:18:00.000-07:002009-09-04T14:19:35.246-07:00Menjadi IbuBalgis Muhyidin<br /><br />Pergulatan ini mungkin berbeda antara wanita yang satu dengan yang lain. Pilihan-pilihan yang diambilpun akan berbeda. That’s fine. Yang saya tulis ini adalah pergulatan saya. Pilihan saya. Bisa dikatakan hampir separo hidup saya, saya sudah bekerja. Saya mulai bekerja sejak usia saya 21 tahun, semasa menempuh S1. Delapan belas tahun tepatnya. Uang dari bekerja saya gunakan untuk membiayai kuliah. Meskipun saat itu, sebagian kebutuhan masih ditopang orang tua. <br /><br />Ketika saya menikah dan hamil, pesan Ayah saya almarhum: jangan pernah berhenti bekerja, tanpa pekerjaan laki-laki akan semena-mena terhadapmu. Maksud ayah, saya harus punya karir diluar rumah yang cemerlang. Meskipun saya tahu, ibu saya hanyalah ibu rumah tangga biasa. Toh, ayah sangat mencintainya. Hingga akhir hayat beliau ayah selalu memanggil ibu dengan sebutan ‘Jeng. Kependekan dari ‘diajeng’. Meskipun mereka berdua bukan orang jawa.<br /><br />Di rumah, terkesan ayah selalu menurut nasehat yang ibu berikan. Saya mencintai ayah, apapun yang beliau sampaikan selama ini saya rasakan kebenarannya. Saat itupun, saya bertekad untuk menjadi seperti harapan beliau. Mempunyai keluarga, menjadi ibu dan punya uang dari hasil keringat sendiri. Sungguh tidak terbayangkan bagaimana rasanya jika saya hanya menunggu uang ‘jatah’ dari suami. Meskipun dalam Islam kecukupan financial adalah tanggung jawab laki-laki.<br /><br />Putra pertama kami lahir. Kami mempunyai pembantu yang luar biasa menyayanginya. Meskipun kadang ketika berangkat bekerja putra kami menangisi kepergian saya. Saat itu hati saya mulai teriris. Ketika putra kami masuk rumah sakit karena sesuatu hal, saya menemaninya dua hari. Setelah itu kantor mengharuskan saya keluar kota. Masih saya ingat salah satu pembezuk yang masih kerabat kami mengatakan saya cukup ‘kuat’ meninggalkannya. Saat itu kondisi putra kami mulai membaik dan saya pikir dia berada ditangan yang tepat. Dokter. Dan kebetulan suami saya tidak sedang keluar kota. Apa yang salah?<br /><br />Putra kedua kami lahir. Kami tidak menemukan pembantu sebaik seperti sebelumnya. Sampai dengan sekarang putra kedua kami belum lancar berkata-kata. Mungkin ketika kami bekerja tidak ada yang mengajaknya bercakap-cakap. Buktinya ketika saya cuti melahirkan anak ketiga selama tiga bulan. Kosa katanya meningkat. Di dalam relung hati yang terdalam saya menyalahkan diri saya sendiri. Jika saya selalu disampingnya, mungkin dia akan secerewet kakaknya. <br /><br />Setiap kali akan berangkat ke kantor kami harus berputar-putar mengelilingi perumahan kami, bersama putra kedua kami. Jika tidak dia akan menangis histeris, sehingga kami miris. Seandainya saya bisa selalu membawanya. Mendekapnya selalu.<br /><br />Ketika putri ketiga kami lahir. Proyek tempat saya terakhir bekerja usai April tahun ini. Usia putri kami enam bulan. Biasanya sebelum proyek yang satu selesai, saya sudah mendapatkan proyek lainnya. Namun tidak kali ini. <br /><br />Saya merasa kehilangan waktu-waktu bersama mereka. Waktu-waktu yang tidak akan pernah kembali. Waktu mereka merangkak pertama kali, waktu mereka bicara pertama kali dan waktu waktu lain yang tidak akan pernah tergantikan. Saya takut saya akan menyesalinya kelak. Saya lebih takut lagi karena saya tidak tahu banyak kebiasaan mereka. Bagaimana kami akan berbincang, manakala saya tidak tahu topik-topik yang mereka sukai?<br /><br />Seringkali saat saya berada diluar kota, saya mendapat kabar bahwa anak kami sakit. Duh, inginnya saya bisa terbang saat itu juga dan memastikan mereka tidak apa-apa. Atau saya berada di suatu tempat yang sangat indah, menyenangkan. Rasanya saya tidak bisa menikmatinya manakala saya hanya sendirian. Yang saya bayangkan adalah, alangkah bahagianya jika putra-putri kami juga bisa menikmatinya.<br /><br />Saya punya teman-teman beragam. Ada yang sampai sekarang belum menikah dan menjadi wanita karir yang hebat. Ada yang sudah menikah, punya anak dan tetap menjadi wanita karir yang hebat. Ada juga teman saya yang sejak awal menikah memutuskan untuk berada dirumah saja. Sekarang saya jadi tahu, menjadi ibu adalah peran yang sungguh luar biasa. Sebagaimana salah satu iklan di televisi.<br /><br />Ibu, disadari atau tidak adalah tenaga keuangan yang hebat, mencukupkan berapapun uang yang diberikan uantuk memenuhi kebutuhan rumah dan jika mungkin untuk ditabung. Ibu, adalah tenaga pengajar yang harus serba tahu karena menjadi rujukan setiap pertanyaan. Ibu, adalah perawat atau dokter yang ahli sehingga kasus pilek, panas karena sakit gigi bisa ditangani segera sebelum dibawa ke praktek dokter. Jika anaknya alergi, Ibu juga harus memastikan makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang tidak akan memicu alergi anaknya. Dan tugas-tugas lain yang dikerjakannya dengan penuh cinta. <br /><br />Maka tidak salah jika pepatah mengatakan, dari ibu yang hebat akan muncul anak-anak yang hebat. Di dalam Islam dikatakan surga terletak dibawah kaki ibu.<br /><br />Saya tahu itu, namun sungguh tidak mudah Kesibukan-kesibukan itu bukan kesibukan yang biasa saya jalani. Pekerjaan-pekerjaan ini bukan pekerjaan yang biasa saya lakukan. Namun memandang putra-putri kami, tangan mereka yang kadang memeluk leher saya dan minta cium setiap saat, adalah kekuatan tersendiri. Kata-kata ayah saya masih sering terngiang, namun saya tidak ingin mendebatnya. Saya hanya ingin berada disamping anak-anak kami. Memeluk dan mengelus mereka kapanpun saya mau. Mendengarkan cerita-cerita mereka setiap hari. Hanya itu. <br /><br />Ketika keputusan itu, saya sampaikan pada salah satu teman, pertanyaannya adalah: Bisakah? Rasanya secara nalar memang tidak bisa, namun kenyataannya selama empat bulan ini dengan segala cerita didalamnya, saya bisa. Saya menikmatinya. Memastikan kepada putra-putri kami saya ada kapanpun mereka butuhkan. Mencintai mereka tanpa ada syarat. Tanpa ada habisnya. Meskipun, tidak mempunyai uang sendiri sungguh tidak nyaman.<br /><br />Salah satu teman ada yang mengatakan, jika suatu saat kamu ingin bekerja lagi pasti akan sulit. Biasanya jika kita berhenti, jeda beberapa saat akan sulit mendapatkan pekerjaan lainnya. Entahlah, saya hanya ingin mengikuti naluri saya. Naluri saya sebagai seorang wanita, sebagai ibu. Mungkin memang ada yang mesti dikorbankan. Yang saya tahu, saya tidak akan menjadi wanita sempurna, hanya dengan melahirkan saja. Menurut saya, saya akan menjadi wanita yang sempurna jika anak-anak kami menjadi orang yang berguna bagi sesama, mampu berempati terhadap orang lain, mempunyai ahlak yang baik.<br /><br />Saat inilah nilai-nilai itu mesti kami tanamkan bersama. Mungkin ada yang bisa, dengan tidak mendampingi mereka setiap saat. Dengan menekankan pada kualitas waktu. Masing-masing orang punya cara berbeda mengungkapkannya. Cara saya, mengikuti naluri saya, merengkuh mereka dalam pelukan. Membantu mereka menjadi diri sendiri. Mendampingi mereka meraih mimpi. Saat ini saya mesti menggandeng tangan-tangan mungil mereka, menunjukkan arah dan jalannya. Pekerjaan ini menurut saya, tidak bisa saya delegasikan kepada orang lain. Sehebat apapun mereka. Karena hanya saya ibu mereka.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Taman Indah, September 2, 2009.</span>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-64430140670599160942009-08-20T21:13:00.000-07:002009-08-20T21:15:28.831-07:00Masih Ada Ketidaktahuan<a href="http://idmyfamily.blogspot.com/">Balgis Muhyidin</a><br /><br />Tadi pagi saya mengantarkan putri bungsu kami ke puskesmas. Minggu lalu dia berusia sembilan bulan. Usia dimana dia sebaiknya mendapatkan imunisasi campak. Penyakit ini bahkan bisa menyebabkan kematian, khususnya jika menyerang anak yang kurang gizi atau mempunyai daya tahan rendah dan belum diimunisasi campak. <br /><br />Saya ke loket, mengambil nomor antrian, dipanggil dan membayar biaya registrasi sebesar Rp. 2.500. Kemudian bidan BKIA memanggil nama putri saya dan kami mendapatkan pelayanan. Tiba-tiba seorang ibu yang sedang menggendong bayi datang kepada petugas di BKIA yang sedang melakukan pencatatan dan bertanya. <br />“Bu, apakah anak saya tidak mendapatkan obat?”.<br />“Tidak bu, imunisasi anak ibu adalah imunisasi BCG, tidak menyebabkan panas, jadi anak ibu tidak perlu mendapatkan obat panas”. Jawab petugas BKIA.<br />Berlalulah ibu tersebut. <br /><br />Ibu tersebut adalah potret ketidak tahuan masyarakat, terhadap imunisasi. Padahal dari tujuh macam penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu, TBC anak, Hepatitis B, Difteri, Tetanus, Pertusis, Polio dan Campak hanya vaksin Pertusis (biasa dikenal dengan batuk rejan atau batuk seratus hari) dan Campak yang sering menimbulkan panas. Vaksin pertusis yang umumnya tergabung dalam vaksin DPT, melindungi tiga penyakit yaitu Difteri, Pertusis dan Tetanus. Seorang anak setelah mendapatkan vaksin DPT biasanya suhu tubuhnya akan meningkat setelah dua atau tiga jam kemudian. Sedangkan seorang anak setelah mendapatkan vaksin campak suhu tubuhnya akan meningkat setelah satu hari atau dua hari kemudian. Namun demikian ada beberapa bayi yang tidak meningkat suhu tubuhnya setelah mendapatkan imunisasi tersebut. <br /><br />Ketakutan terhadap panas ditenggarai menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya cakupan imunisasi. Padahal imunisasi merupakan salah satu penemuan terbesar dalam bidang kedokteran sehingga dengan imunisasi bisa menyelamatkan jutaan bayi dari penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Bayi bisa tumbuh dewasa dan menjadi tulang punggung bangsa dan negara yang kuat. <br /><br />Pernah didalam sebuah pertemuan dengan petugas puskesmas, dokter anak dan beberapa institusi lain yang berhubungan dengan imunisasi. Para penggiat kampanye untuk peningkatan cakupan imunisasi bertanya apakah benar imunisasi DPT ke dokter anak tidak menyebabkan panas. Dokter anak tersebut menjawab, jika anda datang ke dokter anak untuk mendapatkan pelayanan imunisasi memang tidak akan menimbulkan panas pada anak, namun akan menyebabkan panas pada kantong orang tuanya. Jawaban tersebut disambut dengan geerrr semua peserta pertemuan. Meskipun menurut teman-teman puskesmas, pelayanan swastapun masih mengambil vaksin dari mereka secara gratis dan memberikan kepada pasien dengan menarik uang jasa yang lumayan’memanaskan’ kantong tadi. <br /><br />Lepas dari polemik apakah sebaiknya datang ke pusat pelayanan swasta ataukah pusat pelayanan pemerintah, pemerintah sudah menyediakan vaksin gratis untuk memberikan perlindungan terhadap bayi dibawah satu tahun. Vaksin-vaksin tersebut mencegah tujuh macam penyakit yang sudah disebutkan diatas. Atau biasa disebut dengan PD3i atau penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. <br /><br />Jika setiap musim pancaroba, kita selalu mendengar banyaknya orang yang meninggal karena kasus demam berdarah. Mungkin kita bisa bermimpi: kapan ilmu kedokteran bisa menemukan vaksin untuk demam berdarah?<br /><br />Taman Indah, senin 27 July 2009Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-11115021568315917992009-08-05T01:01:00.000-07:002009-08-05T01:16:56.586-07:00Me and My Family: Dunia Lain<a href="http://idmyfamily.blogspot.com/">Balgis Muhyidin</a><br /><br />Saya sangat setuju jika ada teman yang mengatakan tayangan televisi kita semakin lama semakin membuat kita ‘hoek hoek’. Sulit sekali mencari tayangan yang mendidik. Ada beberapa yang bagus untuk anak-anak dan juga digemari oleh orang dewasa, misalnya si bolang, cita-citaku, surat sahabat dan laptop si unyil. Meskipun perbandingan jumlah tayangan antara yang mendidik dengan yang tidak mendidik, sungguh seperti bumi dan langit. Lebih banyak yang tidak mendidik. <br /><br />Beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dengan ‘jor-jor’annya stasiun televisi menayangkan reality show. Reality dalam tanda petik menurut saya. Bagaimana bisa cerita-cerita tentang aib yang kadang memalukan diri sendiri bisa diperkenankan oleh yang bersangkutan? Saya tidak habis pikir. Mungkin memang sebaiknya tidak saya pikir. Saat ini saya belum merasakan dampak langsung dari tayangan tersebut, untunglah anak-anak kami ‘belum’ menyukainya. Semoga tidak pernah menyukainya. <br /><br />Tulisan ini terkait penayangan televisi yang tidak mendidik lainnya. Meskipun tidak sebanyak tahun tahun yang lalu, toh tayangan televisi masih ada yang ‘berhantu’. Maksud saya menayangkan cerita hantu. Saya merasakan dampak langsung dari tayangan tersebut, terhadap anak saya. <br /><br />Nampaknya ketika kami berdua tidak berada di rumah, pembantu kami selalu mencari channel televisi yang penuh dengan adegan mistis. Jadilah anak kami ikut menontonnya. Dan mungkin, akhirnya menyukainya. Kejadian tersebut, sudah dimulai cukup lama. Saya katakana cukup lama karena salah satu acara favorit pembantu saya adalah Mak Lampir. <br /><br />Dampak yang paling kentara adalah putra terbesar kami yang berusia tujuh tahun, tidak pernah berani berada di salah satu ruang rumah sendirian. Kecuali ketika tertidur tentunya. Namun ketika terbangunpun dia akan berteriak-teriak minta tolong seolah-olah para hantu-hantu itu memang mengelilinginya. Mungkin yang ada dibenaknya wajah-wajah seram yang biasa dia tonton di televisi bisa tiba-tiba muncul. Padahal ketika dia berusia 3 tahun, dan melakukan tindakan yang kreatif extrem kami akan mendiamkannya di dalam kamar. Saat itu dia tidak menangis atau meminta tolong justru dia bernyanyi-nyanyi dengan keras. Sekarang, dia sangat ketakutan jika sendirian apalagi jika kami kunci di dalam kamar. <br /><br />Pertanyaan –pertanyaan yang dia lontarkan pun kebanyakan tentang mistis atau hantu, misalnya, mengapa orang mati kuburannya penuh dengan belatung, apakah kuntilanak selalu perempuan dan sebagainya, dan sebagainya. Sungguh, kami dibuat pusing tujuh keliling menjawab semua pertanyaan –pertanyaan itu. Meskipun dengan segala keterbatasan pengetahuann yang kami miliki, kami mencoba memberikan pengertian. Kamipun percaya bahwa hal-hal ghoib ada namun menurut kami tidaklah seperti yang ditayangkan di televisi. Karena toh kita tidak pernah mengetahuinya. Kami ingin mengajarkan putra putri kami tentang hal itu, hanya kami merasa saatnya belumlah tepat. Dari tayangan itulah dia mendapatkan pengetahun tentang hal gaib, dunia mistis, sebagaimana yang dia lihat, menakutkan.<br /><br />Setahun terakhir ini dia jarang bertanya tentang dunia mistis ataupun hantu. Bisa dikatakan hampir tidak pernah. Legalah kami. Kami merasa, mungkin pengaruh tayangan yang ‘mengerikan’ tersebut sudah mulai luntur. Meskipun kami tidak berani mencoba mengunci-nya di dalam kamar.<br /><br />Tiga hari yang lalu putra terbesar kami sakit. Ayahnya sangat sibuk. Akhirnya saya yang mengantar ke dokter. Dalam perjalanan tersebut inilah percakapan kami.<br /><br />Si Sulung: “ Bunda tahu mas Reyhan”<br /><br />Saya:”Cucunya eyang hamid” (saya membahasakan tetangga sebelah kami dengan sebutan Eyang)<br /><br />Si Sulung: “Iya”.<br /><br />Saya: “ Kenapa sayang?”<br /><br />Si Sulung: “ Dia kaya sekali lho bunda?”<br /><br />Saya: “ Oh ya?” <br /><br />Si Sulung:” Iya, mas Reyhan punya rumah banyak”<br /><br />Saya: “ Wach bunda belum tahu, dimana saja?”<br /><br />Si Sulung: “ Di Surabaya ada, di Jakarta, Batam dan di Singapura”.<br /><br />Saya: “ Wow iya, kaya sekali ya”<br /><br />Si Sulung: “Iya bunda, bahkan dia punya rumah di dunia lain”.<br /><br />Saya: Hahhh???????<br /><br />[Taman Indah, 10 July 2009]Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-88774090357054592752009-06-29T07:01:00.000-07:002009-06-29T07:02:50.603-07:00Ketika Bu Iyah PulangBalgis Muhyidin<br /><br />Kami sering berganti-ganti pembantu. Jika bukan karena mereka tidak menyukai kami kadang kami-pun tidak menyukai mereka. Misalnya, salah satu pembantu sering meminta uang kepada si sulung untuk membeli bakso ataupun membeli pulsa. Dengan mengintimidasi si sulung, jika tidak dikabulkan maka dia akan mengabaikan si sulung. Tidak membantunya ketika si Sulung membutuhkan bantuan.<br /><br />Ada juga pengalaman mengharukan. Salah satu pembantu kami mengatakan dia tidak pernah keluar dari pulau Madura. Dia mengetahui Surabaya setelah usianya 20 tahun. Ketika bekerja dengan kami. Dia juga belum pernah makan buah apel, anggur, pir dan beberapa buah lain yang mudah didapatkan di belahan republik ini. Maka jika dia ikut berbelanja, kami perbolehkan dia mengambil makanan ataupun buah yang belum pernah dia rasakan.<br /><br />Menurut kami (sendiri), kami cukup baik memperlakukan pembantu-pembantu kami. Setidaknya kami tidak pernah menyiksa pembantu kami sebagaimana Nurmala atau Siti Hajar ketika bekerja di Malaysia. Menurut kami (sendiri), kami cukup baik dengan memberikan sedikit gaji lebih kepada pembantu-pembantu kami. Sehingga kami dikomplain tetangga karena dianggap merusak pasaran harga pembantu di lingkungan kami. Menurut kami (sendiri), kami cukup baik jika pembantu kami sakit kami antar dan biayai berobat ke puskesmas ataupun dokter terdekat.<br /><br />Jika ditulis disini mungkin menurut kami (sendiri), semua kebaikan kami cukup banyak. Bahkan sandal jepit yang kami belikan untuk mereka-pun akan kami anggap sebagai salah satu kebaikan.<br /><br />Itulah yang kami pandang selama ini. Bahwa mereka lebih butuh gaji yang kami berikan daripada pelayanan yang mereka berikan kepada kami. Bahwa mereka lebih membutuhkan kami daripada kami membutuhkan mereka. Dan, semuanya berubah ketika bu Iyah pulang.<br /><br />Bu Iyah adalah pembantu yang dicarikan oleh pembantu yang pernah bekerja dengan kami selama tiga tahun. Dengan syarat hanya boleh bekerja oleh suaminya selama lima bulan. Bu Iyah menggantikan salah satu pembantu kami yang menikah. Selama empat bulan bu Iyah bekerja berdua dengan pembantu kami lainnya. Namun di bulan ke lima bu Iyah bekerja sendiri. Tentu, atas persetujuannya. Dan luar biasa, Bu iyah bisa melakukan semua pekerjaan tanpa terbengkalai, sama seperti jika kami mempunyai dua pembantu. Memasak, membersihkan rumah dan memperhatikan ketiga putra-putri kami, khususnya merawat si kecil.<br /><br />Hampir empat minggu setelah bu Iyah Pulang, tepatnya akhir bulan Mei lalu. Saya sudah dua kali jatuh sakit dan empat kali dirawat dokter. Pertama ketika di Tulungagung. Sehari setelah kepulangan bu Iyah, badan saya demam, perut saya kram, paha dan kaki saya seperti ditusuk-tusuk dan akhirnya tangan dan kaki saya tidak bisa digerakkan selama hampir tiga jam. Ketika ke dokter di Tulungagung, (otak saya bisa berfikir normal meskipun badan saya sulit bergerak) saya tanyakan saya terkena chikungunya atau stroke. Setelah melihat tekanan darah saya, dokter mengatakan saya suspect (karena tidak ada hasil laboratorium) chikungunya. Ada lima macam pil yang diberikan ke saya, setelah saya menolak injeksi. Dan memang, setelah pil saya telan, perlahan-lahan tangan dan kaki saya tidak kaku lagi.<br /><br />Anehnya, esok harinya semua yang saya rasakan sehari sebelumnya menghilang. Padahal menurut info salah satu teman dokter, nyeri yang diderita oleh pasien chikungunya minimal akan bertahan selama tiga hari. Karena mesti kembali ke Surabaya saya tidak kembali ke dokter Tulungagung. Menurut teman dokter tersebut sebaiknya saya ke neurology/ dr. saraf.<br /><br />Saya menceritakan apa yang sudah terjadi ke dokter saraf di Surabaya. Setelah menyuruh saya memukul, membengkokkan kaki dan tangan, menekan, mengenggam dan serangkain test lainnya dokter saraf menyimpulkan bahwa saraf saya cukup baik. Hanya saya terserang yang bahasa mudahnya ‘panic attack’ hampir sama dengan film yang saya tonton yang dibintangi oleh Jodie Foster yaitu ‘panic room’. Jika Jodie Foster dalam film tersebut diselamatkan oleh ‘panic room’, saya justru kesakitan oleh si panic attack ini.<br /><br />Anehnya, minggu depannya saya terkena serangan lagi. Saya hampir tidak bisa bergerak, semua badan saya sakit sekali. Untunglah kami mempunyai tetangga dokter yang berbaik hati mau mendatangi rumah kami karena saya tidak bisa berjalan. Dia mengatakan dari gejala klinis kemungkinan saya terkena demam berdarah (DB). Apalagi beberapa tetangga kami juga terkena DB. Esoknya hasil trombosit saya masih normal. Agar tidak berganti-ganti dokter saya kembali ke dokter saraf saya sebelumnya (karena demam saya hanya sehari, saya tidak terlalu yakin jika saya DB). Selama tiga hari sendi-sendi besar saya terasa sakit, seperti habis dipukuli.<br /><br />Saraf-saraf saya di test lagi dan menurutnya tetap baik. Namun kali ini dia memberi saya pil pengontrol emosi. Dokter tersebut tidak bersedia menyebutnya sebagai obat penenang, meskipun menurut saya sama saja artinya. Yang harus saya pastikan obat tersebut aman untuk saya yang masih menyusui. Dokter saraf tersebut menjamin obat tersebut aman untuk saya dan bayi saya. Ssstttt dari sepuluh hari obat yang diresepkan saya hanya meminumnya selama tiga hari. Selama bukan antibiotic saya pikir saya tidak perlu meminumnya sampai habis. Sebagaimana saran dokter saraf, saya lebih suka menelusui penyebab dari serangan tersebut.<br /><br />Mungkin salah, namun inilah teori saya. Saya kelelahan jiwa dan raga. Bagaimana tidak, semua urusan rumah yang selama ini beres di tangan bu Iyah harus saya tangani sendiri. Sampai dengan hari ini kami belum mendapatkan pengganti. Dulu, setelah sholat subuh saya bisa tidur lagi. Sekarang tidak karena setelah sholat subuh saya mesti menyiapkan keperluan si sulung ke sekolah. Mobil jemputannya datang setiap jam 5.30 pagi. Beruntung jika tidak berbarengan dengan bangunnya si Tengah atapun si Bungsu yang masih berusia 7 bulan. Malam hari, saya mesti menyusui si bungsu beberapa kali karena saya bertekad memberinya ASI.<br /><br />Rumah sangat kotor, setrikaan menumpuk. Dan kadang tiga malaikat kecil saya minta diperhatikan bersamaan. Apalagi si bungsu selalu menangis jika saya tidak berada disampingnya. Selama empat minggu ini saya hanya sempat menyapa teman-teman di facebook sekali. Saya tidak sempat membaca koran. Tidak jarang saya mandi di atas jam 9 malam. Menunggu suami saya pulang, menggantikan saya memegang si bungsu baru saya bisa melonggarkan diri.<br /><br />Suami saya bahkan beberapa kali mesti membolos dari kantor terutama ketika saya sakit. Dia mesti mengorbankan beberapa kegiatan organisasinya, yang saya tahu sangat sibuk menjelang pilpres ini.<br /><br />Kami membeli nasi rantangan, kadang tidak terdapat sayur, kadang tidak cocok di lidah, namun itulah yang mesti kami makan. Saya tidak bisa keluar rumah untuk bercengkrama dengan teman-teman, yang ketika bu Iyah ada masih bisa saya lakukan. Jangan katakan saya bisa nonton cineplek, ketika menonton televisi saja tidak sempat. Pendeknya saya tidak punya waktu untuk diri saya sendiri ataupun dengan teman-teman saya. Sekarang saya berfikir: Berapakah saya mesti menggaji Bu Iyah hanya untuk hal ini? Untuk: me time?<br /><br />Ketika bu Iyah ada saya bisa menitipkan anak-anak dan saya bisa terlelap dengan nyaman. Misalnya ketika malamnya kami punya acara atau jika saya kelelahan sehabis tugas dari luar kota. Berapa sebenarnya saya mesti menggaji Bu Iyah, untuk kenyamanan waktu-waktu tidur yang sudah Bu Iyah bantu untuk saya? Berapa sebenarnya saya mesti menggaji Bu Iyah untuk kenyamanan tempat tidur yang sudah dirapikannya, yang sekarang tidak bisa saya nikmati lagi?<br /><br />Masakannya yang sedap, setrikaannya yang licin, kebersihannya, semua pekerjaan rumah yang dia kerjakan, rasa sayangnya pada anak-anak, termasuk memastikan mereka makan makanan yang layak dan sehat? Mencukupkan uang belanja kami selama sepekan. Belum lagi keamanan rumah kami ketika kami mesti keluar kota, dan selalu dalam keadaan bersih dan nyaman ketika kami kembali. Berapa biaya untuk semua ini? Semakin saya pikirkan, semakin banyak hal baik yang sudah bu Iyah berikan kepada kami.<br /><br />Empat minggu Bu Iyah pulang, saya harus mengeluarkan biaya dokter untuk pengobatan. Yang kemungkinan tidak akan terjadi jika Bu Iyah masih di rumah. Jika Bu Iyah ada, akankah sebagian biaya tersebut saya berikan padanya sebagai ungkapan terimakasih?<br /><br />Sekarang saya tahu apa yang saya berikan tidaklah cukup menggantikan apa yang sudah Bu Iyah berikan kepada saya. Kepada kami.<br /><br /><br />Taman Indah – 28 June 2009Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-29749280699477536292009-05-24T21:02:00.000-07:002009-05-24T21:04:00.931-07:00In Memoriam “Black”Usianya belum genap 36 tahun. Ketika dia ditemukan terkapar di kamar mandi. Sudah meninggal. Ketika jenazahnya dibawa ke rumah duka, keluarganya hanya mendapatkan keterangan kalau paru-parunya gosong. Saya tidak ingin tahu lebih jauh lagi. Saya hanya ingin mengenangnya, menarik pelajaran berharga dari hidupnya. Dan semoga, bermanfaat juga untuk kita semua.<br /><br />Kami memanggilnya Black, biarlah tetap saya panggil dengan Black. Namanya tidak terlalu penting untuk saya. Bagi saya, dia adalah salah satu pahlawan kehidupan. Sekitar enam tahun terakhir dia mendedikasikan hidupnya untuk mengkampanyekan ‘harm reduction’ atau penggurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba. Khususnya narkoba suntik. <br /><br />Dia ‘ditemukan’ oleh teman-teman jaringan pecandu narkoba yang sebagian dari mereka sudah menjadi ‘mantan’ pecandu. Meskipun menurut mereka, seorang pecandu selamanya akan tetap menjadi pecandu. Karena kondisi ‘relapse’ sangatlah lekat dalam keseharian kehidupan mereka. Sekali pernah menjadi pecandu narkoba, selama hidup adalah perjuangan yang tidak akan pernah berhenti, terus menerus, untuk memerangi kecanduan mereka atau keinginan nge-drug lagi.<br /><br />Saya masih ingat, perkenalan kami diawali ketika dia menjadi imam shalat dengan alunan doa yang menyejukkan hati. Karena itu teman-teman juga memanggilnya Aak Black. Waktu itu dia masih belum terlalu lama bergabung di lembaga yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS. Jika teman-teman yang lain memanggil saya Mbak, dia memanggil saya dengan Bu. Sangat formal. Saya tahu itu adalah bentuk penghormatannya untuk saya, sebagaimana saya juga menghormatinya. <br /><br />Secara garis besar harm reduction adalah memberikan penyuluhan kepada pengguna narkoba untuk menghentikan perilaku nge-drugnya. Jika tidak bisa maka sementara waktu mereka disarankan mengurangi kecanduannya dengan menggunakan oral drug. jika tidak bisa lakukan penyuntikan yang aman, antara lain, tidak bergantian jarum suntik, atau menggunakan jarum suntik yang sudah distresilkan. <br /><br />Bagi mantan pecandu, memberikan penyuluhan kepada teman-teman mereka yang masih menjadi pecandu untuk berubah perilaku agar tidak terinfeksi HIV/AIDS, bukanlah persoalan mudah. Mereka tahu efek fly yang ditimbulkan oleh narkoba. Melihat orang lain memakai narkoba di depan mereka, sugesti itu pastilah sangat berat mereka rasakan. Namun mereka tetap melakukan pekerjaan itu. Setiap hari menemui pecandu baru atau lama, berinteraksi dengan mereka, memberikan pilihan-pilihan agar AIDS bisa mereka hindari. Black, adalah salah satu dari pahlawan-pahlawan itu. Yang mau memberikan hidupnya bagi orang lain. Meskipun artinya dia tidak berada di ‘zona aman’. Kemungkinan terjadi salah tangkap dari kepolisian bisa terjadi. Kemungkinan menjadi target bandar narkoba sangat mungkin, karena mereka dianggap mengurangi jumlah pembelinya.<br /><br />Menghindari sugesti tidaklah selalu berjalan mulus dan sukses, kadang mereka tergelincir untuk mencoba lagi. Atau sebagian melarikannya ke bentuk kecanduan yang lain, salah satunya alcohol. Kepada saya Black pernah mengatakan bahwa untuk narkoba lainnya dia bisa tidak tergiur, namun sulit baginya menghilangkan kebiasaan minum minuman keras.<br /><br />Meskipun demikian tanpa bermaksud membenarkan apa yang Black lakukan. Teman-teman ini adalah orang-orang yang luar biasa. Seharusnya mereka mendapatkan tanda jasa. Kemauan mengorbankan hidupnya bagi orang lain. Mereka adalah suhu-suhu bagi para pencandu. Pemberi obor kepada pecandu ketika jalan lainnya gelap gulita. Meskipun dalam perjuangan mereka kerap mesti mengorbankan diri mereka sendiri.<br /><br />Black adalah manusia seperti itu. Dia tahu resikonya, dan dia tetap menjalaninya. Memberikan hidupnya. <br /><br />Suatu saat, ketika hobi menjahit sang istri menghasilkan uang. Sambil mengelus kepala istrinya Black berkata” Kamu pandai cari uang, jika saya tidak ada kamu akan mampu mencari uang sendiri “. Sambil memandangi putri mereka yang berusia satu setengah tahun, istrinya menceritakannya kepada saya, berderai air mata.<br /><br />Kami masih merasa kehilangan, merasa kecolongan. Saya masih merasa kehilangan. Kami merindukan senyum lebar di kulit wajahnya yang legam. Kata-katanya yang agamis, penuh tutur kata manis. Selamat jalan teman.<br /><br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">Surabaya, 20 Mei 2009<br />Tulisan ini untuk ACA putri Black satu-satunya. Kami mengenang ayahmu sebagai pahlawan. </span>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-5528687523421403212009-04-24T00:17:00.000-07:002009-04-24T00:20:02.746-07:00Obrolan Di Arisan Bulan Ini<span style="font-style:italic;">Balgis Muhyidin</span><br /><br />Sebulan sekali ibu-ibu di perumahan tempat saya tinggal, mengadakan arisan. Selain Arisan, kami membicarakan kegiatan kampung lainnya. Kebersihan, Tujuh Belasan, donor darah, keamanan, pengajian adalah topik-topik langganan kami. Namun topik tersebut tidak muncul di arisan bulan April ini. Topik yang muncul adalah seputar berita tentang pemilu 2009. Berita tentang partai mana yang mendulang suara tertinggi atau terendah tidaklah terlalu menarik hati, namun Calon Legislatif/ Caleg yang stres dan tingkah polah caleg-caleg yang kami dengar dari TV mendominasi pertemuan kami bulan ini.<br /><br />Sebutlah Ibu Ina, dia mengatakan seperti ini: “waduh kalau kalah lalu jadi penghuni rumah sakit jiwa, terus kalau jadi bagaimana donk?” Mungkin maksudnya dengan stresnya caleg tersebut menandakan dia kurang kuat menghadapi ujian, lalu bagaimana jika jadi DPR/DPRD ketika menghadapi persoalan? Bukankah dia wakil rakyat yang harus memikirkan persolan rakyat yang cukup kompleks? Bagaimana mereka menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan budgeting jika mereka mudah patah?<br /><br />Tapi Bu Lasmi (bukan nama sebenarnya) justru mengatakan seperti ini: “Jangan – jangan DPR/D kita pun saat ini banyak dijabat oleh orang-orang yang kurang waras, meskipun tidak menghadapi kekalahan dan stres, namun mereka stres melihat iming-iming uang dan wanita. “Kasus korupsi dan perbuatan asusila banyak menimpa wakil rakyat kita, itupun yang ketahuan”. Imbuhnya.<br /><br />Bu Dila tetangga samping kanan saya ikut nimbrung:” lebih memalukan lagi mereka yang tidak terpilih, karpet, aspal dan alat musik yang sudah disumbangkan diambil kembali”<br />“Wanita dari partai Petruk bahkan bunuh diri, padahal dia sedang hamil” papar bu Novi. Begitulah mulai jam 7 sampai jam 9 malam, kami masih asyik membicarakan perilaku-perilaku caleg tersebut. Calon wakil-wakil rakyat, wakil-wakil kami. Orang orang yang nantinya menyuarakan kepentingan kami. Orang-orang dimana harapan kami gantungkan.<br /><br />Dengan sistim perolehan suara terbanyak maka caleg-caleg nomor urut besar sama optimisnya dengan caleg nomor urut kecil. Kadang keoptimisan itu membutakan dari kekurangan. Menghabiskan apapun yang dipunya tanpa kalkulasi yang matang. <br />Banyaknya partai baru, memudahkan siapapun menjadi caleg. Bahkan mereka yang tidak pernah mendapatkan pengalaman berorganisasi. Di kantor, salah satu teman saya mengatakan bahwa DPR/D kita hanya akan dihuni oleh dua kelompok. Yaitu, pedagang dan kyai. Pedagang bisa lolos karena mereka punya uang, sedangkan kyai bisa lolos karena mereka punya massa. Sedangkan mereka yang memang kapable, belum tentu akan dipilih oleh rakyat.<br /><br />Teman saya yang lain justru mengatakan bahwa dia menyukai model pemilihan sebelumnya. Pemilu legislatif dengan menggunakan no urut tertinggi. Karena sampai dengan detik terakhir pemilu legislatif 9 April lalu dia masih belum mengenal salah satu caleg didaerahnya. Menurutnya, dengan system no urut tertinggi, partai politik sudah melakukan seleksi awal. Selanjutnya kredibilitas partai politik yang akan mempengaruhi pilihannya. <br /><br />Saya sendiri lebih suka mengatakan bahwa saat ini Negara kita sedang berbenah setelah sekian lamanya dalam hegemoni kekuasaan yang sama. Semoga dengan berjalannya waktu kedewasaan berpolitik untuk caleg dimasa yang akan datang lebih matang dan ‘siap’ bertarung. Lebih siap menerima kekalahan, dan jika menang menjadi amanah dan setia terhadap rakyat. Selamanya, tidak mencederai kepercayaan pemilihnya. <br /><br />Ketika duduk di sekolah dasar saya sangat menyukai buku silat kho ping ho. Salah satu wejangan dalam bukunya (saya lupa edisinya) kho ping ho menulis untuk bisa merasakan gurih dan manisnya kehidupan maka kita terlebih dahulu mesti merasakan kecut dan pahitnya kehidupan. Bagaimana kita bisa mengatakan hal tersebut manis, jika sebelumnya kita tidak pernah merasakan pahit?<br /><br />9 April sudah kita lewati. The show must go on. Meskipun masih ada kekisruhan DPT, ketidakpuasan dari beberapa pihak, caleg yang stress dan persoalan-persoalan lainnya. Bagaimanapun, semoga terpilih caleg-caleg yang baik, santun dan amanah. Mungkin tidak seluruhnya tapi pada merekalah harapan bumi tercinta ini digantungkan. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Surabaya, 21 April 2009</span>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-42107220831019933442009-03-31T00:44:00.000-07:002009-03-31T00:46:40.930-07:00Kejaiban, Membuka Pintu yang Diliputi LaraBalgis Muhyidin<br /><br />Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Semua yang menyedihkan pasti ada hikmaknya. Terjadi pada kami dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Membukakan pintu hati kami yang semula diliputi lara.<br /><br />Hari itu, usia bayi kami hampir tujuh bulan tiba-tiba badan saya demam tinggi. Bahkan beberapa teman di kantor mengatakan saking panasnya muka saya sampai memerah. Tidak sampai bubaran kantor pimpinan menyuruh saya pulang karena saya terlihat kepayahan. Karena tidak tahu panasnya disebabkan oleh apa, maka dirumah saya tidak berani mendekati bayi saya. Selain ASI (Air Susu Ibu) dia sudah mendapatkan susu formula sehingga dia tidak kelaparan. Selain itu dia juga sudah berkenalan dengan beberapa makanan pendamping ASI (MPASI).<br /><br />Jadilah esok harinya saya ke rumah sakit karena panas saya tidak kunjung reda. Dokter di UGD mengatakan bahwa saya kemungkinan terkena campak Jerman, dan harus menginap di RS untuk di observasi. Dia menunjukkan bahwa di sekujur badan saya pasti muncul bercak-bercak. Saya mengidap alergi, dan kadang badan saya muncul bercak-bercak seperti saat ini meskipun tidak pernah dibarengi demam. Dari hasil laboratorium internist mengatakan bahwa saya terkena typus. <br /><br />Karena demam yang masih tinggi maka dia juga mengkawatirkan saya terkena Demam Berdarah (DB). Banyaknya kasus DB yang mebuat dokter kecolongan karena perubahan-perubahan gejalanya, maka dokter menyarakan saya tetap di RS. Setelah lima hari, saya mendapat kepastian bahwa panas tinggi saya bukan karena DB, maka esoknya saya diperbolehkan pulang. Demam saya sudah menghilang. <br /><br />Seminggu kemudian, saya merasa ada yang salah dengan tubuh saya, rasanya tidak enak. Dan setelah saya ingat-ingat nampaknya karena saya tidak mens. Saya pikir (sebagai orang awam) mungkin karena banyaknya antibiotic yang saya terima ketika di RS. Untuk mamastikan hal tersebut kami mengunjungi dokter kandungan kami. Sungguh tidak kami duga, dokter mengatakan bahwa saya hamil sekitar lima minggu. Artinya ketika menginap di RS saya sudah hamil. Sebagai antisipasi dokter kandungan berkomunikasi dengan internist yang merawat saya untuk mendapatkan informasi antibiotic apa saja yang sudah diberikan.<br /><br />Saya juga menceritakan diagnose awal dari dokter UGD bahwa saya terkena campak Jerman. Meskipun tidak mengatakan apa-apa, dia mengatakan bahwa ada serangkaian test yang harus saya jalani untuk memastikan apakah memang campak Jerman. Namun dilubuk hati saya, terasa ada yang salah. Dan menurut saya (meskipun suami saya berpendapat berbeda) saya melihat raut muka dokter kandungan kami tidak berbahagia. Tidak biasanya dokter kandungan kami begitu, biasanya untuk setiap proses kehamilan dia akan menyalami kami dan mengucapkan selamat.<br /><br />Setelah beberapa hari, kami membawa hasil test tersebut. Dipastikan saya memang positif terkena campak Jerman. Dr. Kandungan mengatakan bahwa kemungkinan selama ini saya tidak pernah terkena campak, karena campak hanya sekali seumur hidup. Yang lebih memukul kepala kami lebih keras lagi adalah, jika seorang wanita hamil di tri semester pertama terkena campak Jerman maka dipastikan 98% bayi yang dikandungnya akan mengalami, buta, tuli, bisu dan cacat permanen lainnya. Suami saya tertegun seperti patung, saya tahu saat seperti ini saya tidak bisa mengandalkannya untuk menenangkan hati saya yang retak. <br /><br />Ya Allah bagaimana bisa? Meskipun dua anak lelaki bagi kami sudah cukup, bukan berarti kami tidak akan menerimanya jika kami kau beri satu lagi. Adakah hal lain yang bisa kami lakukan agar kemungkinan 2% tersebut adalah keajaiban? Sebagai seorang ahli, saran apa yang bisa dokter berikan? Beliau mengatakan: dikuret. Tidak adakah jalan lain? Tidak adakah hal lain yang bisa dilakukan oleh Ilmu kedokteran? Ilmu kedokteran sejauh ini membantu mendiagnosa sehingga kita bisa memiliki pilihan-pilihan yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Hanya itu. Dokter memperbolehkan kami pulang dengan pesan, keputusan mesti segera diambil atau too late.<br /><br />Berhari-hari saya seperti hilang kesadaran, seperti tubuh saya dicacah dan jiwa saya melompat-lompat tanpa tentu rimbanya. Saya yang tidak mempunyai saudara, saya yang jika dunia ini belum cukup padat ingin mempunyai anak banyak. Dan sekarang saya dihadapkan pada pilihan seperti ini? Bagaimana jika saya mempertahankannya, dan sepanjang hidup saya melihatnya hanya terkapar di tempat tidur? Bagaimana jika suatu saat kelak dia justru menghakimi saya karena membiarkannya hidup dalam keadaan seperti itu? Buta, tuli, bisu dan cacat lainnya? Bagaimana bila dia termasuk yang 2%. Adakah selama ini bukti dari 2%?. <br /><br />Orang-orang yang kami cintai yang mengelilingi kami, yang tahu banyak ajaran agama lebih berpikir rasional. Bahwa sebelum usia tiga bulan dengan alasan yang kuat, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, mampukah saya ‘membuangnya? Sekarang saja jiwa saya serasa tercabut seluruhnya. <br /><br />Untunglah saya mempunyai dua wajah malaikat di samping saya, keceriaan dan tangisan mereka menjadi satu-satunya penghubung saya dengan dunia nyata. Kami harus mengambil keputusan, putra kami membutuhkan saya. Mereka tidak membutuhkan mayat hidup disamping mereka. <br /><br />Seandainya imunisasi campak sudah diberikan gratis seperti saat ini, pada bayi-bayi ketika berusia 9 bulan. Mungkin kami tidak akan pernah dihadapkan pada pilihan simalakama ini. Kami mengambil keputusan. Keputusan yang meremuk redamkan. Keputusan yang membawa sebagaian jiwa kami hilang.<br /><br />Hari ini tepat putra kami yang kedua berusia 3 tahun, waktu berlalu dari dua setengah tahun waktu yang menyedihkan. Kami hanya manusia, mencoba membuat pilihan. Semoga pilihan tersebut tidak salah. <br /><br />Bukannya mudah, menatap ruang operasi yang dingin. Saya mengalami operasi ke empat. Masih melintang dan perih. Dan putri kami menangis keras-keras. Dia memberikan kebahagiaan yang dalam. Kami memanggilnya Aya, yang artinya keajaiban.Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-3770123678638004442009-02-04T03:48:00.000-08:002009-02-04T03:51:08.544-08:00Akhirnya Datang JuaAlhamdulillah. Itulah ucapan syukur kami terhadap keinginan yang dikabulkan. Meskipun sesungguhnya banyak hal lain yang mestinya kami syukuri namun kami luput merasakannya. Nadi yang tetap berdenyut, harumnya bunga kala pagi menyapa, rasa cinta, pernikahan, keluarga, sahabat dan masih banyak yang lainnya. Maafkan kami Ya Khaliq terhadap kealphaan ini.<br /><br />Setelah operasi endemetriosis yang menurut bahasa lugas kami ‘mengangkat’ tumor yang besar. Sedangkan ‘bibit’ tumor maupun tumor yang kecil-kecil tidak bisa dibersihkan dengan cara operasi maka saya di terapi Tapros selama 3 bulan. Selain itu, Tapros juga merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan agar kasus yang sama tidak terulang. Namun demikian dokter tidak bisa menjamin kasus yang sama tidak akan terjadi lagi. <br /><br />Sekitar lima bulan kemudian setelah operasi saya mengalami menstruasi yang pertama kalinya. Tidak mens adalah salah satu akibat dari terapi tapros tersebut. Sebagaimana anjuran dokter kandungan maka saat mens pertama kali kami mendatanginya. Saya mendapatkan vitamin dan ‘jadwal’ berhubungan dengan suami di masa-masa subur. Kami mesti mengikuti jadwal tersebut.<br /><br />Dalam upaya ‘mentaati’ jadwal, kebetulan saya harus menghadiri pertemuan di Jakarta sejak senin sd hari jum’at. Padahal hari Jum’atnya adalah waktu dimana saya harus menerapkan jadwal pertama yang sudah ditetapkan dokter. Biasanya saya selalu pulang esok harinya. Selain untuk menghindari kemacetan Jakarta, hal tersebut saya lakukan agar saya tidak terburu-buru dan memanfaatkan waktu untuk berdiskusi dengan teman-teman. Namun jum’at itu sebelum acara pertemuan di tutup saya sudah berpamitan, sudah pasti semua bertanya-tanya. Jawaban saya adalah: saya mesti pulang malam ini dan bertemu suami saya karena kami merancang kehamilan. Teman-teman tertawa, sebagian mungkin beranggapan saya mengada-ngada. Padahal itu adalah jawaban saya yang terjujur.<br /><br />Sebulan kemudian saya tidak menstruasi lagi, saya pikir itu adalah salah satu effect dari tapros yang masih tersisa. Saya sempat makan durian banyak, durian adalah salah satu buah favorit saya. Teman-teman sempat mengingatkan karena mereka tahu saya sedang merancang kehamilan. Di kehamilah pertama saya sempat menanyakan kesukaan saya tersebut kepada dokter kandungan. Dan jawabannya adalah “ Asalkan belum satu becak, boleh saja”. OLeh karena itu jawaban saya terhadap kekhawatiran teman saya adalah “ Belum satu becak khan?”. Meskipun saya belum tahu pasti dan tidak mempunyai firasat apapun. <br /><br />Setelah satu minggu keterlambatan, saya mengeceknya menggunakan salah satu alat test kehamilan. Negative. Sy menghubungi dokter kandungan lagi, dan menanyakan hal tersebut. Dr. kandungan menyarankan saya untuk melakukan test lagi dengan alat test yang menurutnya lebih akurat. Saya disarankan salah satu merk. Saya lakukan sarannya. Alhamdulillah, janin yang kami tunggu, agar anak pertama kami tidak menjadi anak tunggal akkhirnya datang jua.<br /><br />Hari-hari saya lalui dengan semangat baru, dengan kebahagiaan yang membuncah. Dan kandungan saya memang tidak bermasalah. Saya tidak mengalami mual, saya tidak mengalami ngidam. Semua berlangsung dengan ringan, penuh keceriaan. Hingga kandungan memasuki bulan kedelapan dr kandungan mengatakan bahwa selama ini dia cukup was-was. Ternyata pada kebanyakan kasus setelah terapi tapros, pada usia kehamilan 2 atau 3 bulan janin akan gugur. Ketika saya tanyakan ‘kenapa saya tidak diberitahu?, dokter mengatakan ‘cukuplah dokter saja yang was-was. <br /><br />Begitulah, dibantu dokter yang baik, semangat, harapan dan doa, kehamilan saya sungguh terasa tidak bermasalah. Bahkan waktu puasa hingga sembilan hari saya lalui tanpa keluhan. Hingga waktu melahirkan tiba. Seminggu sebelum hari H. Kami berkonsultasi dengan dokter dan menurutnya jika persalinan saya lancar saya bisa melahirkan secara normal. Namun jika di tengah proses terjadi sesuatu, maka saya tetap harus di operasi karena saya tidak boleh di – vacum ataupun upaya-upaya lain yang biasa dilakukan untuk mengeluarkan bayi dalam persalinan normal. Daripada dua kali kehilangan energi, kami memutuskan operasi. Hal ini lebih memudahkan saya untuk memantapkan hati dan menyiapkan mental. <br /><br />Saya ingat, hati H tersebut adalah hari Kamis, 9 Ramadhan 2005. Rabu saya masih bekerja seperti biasa, namun ketika sore sekitar jam2-3. Saya mendatangi ruang kerja salah satu teman yang mempunyai empat anak. Saya mengatakan bahwa perut saya kadang terasa seperti berdenyut. Teman tersebut kaget, karena menurutnya gejala itu adalah pra kontraksi. Maklumlah, saya memang belum pernah merasakan seperti apa pra kontraksi ataupun kontraksi tersebut. <br /><br />Hari itu, rabu, saya pulang jam 4 sore, menghubungi dokter. Sarannya jika denyut semakin cepat menjadi per 15 menit maka saya mesti segera ke rumah sakit. <br />Esoknya jam 9 pagi, saya memasuki ruang operasi untuk yang ke tiga kalinya. Tidak terasa sakit namun perut saya serasa liat ketika dibelah. Alhamdulliah, saya melahirkan nafas kecil kedua kami. Laki-laki. Kata Dokter, muka dan tubuhnya bersih sekali. Meskipun putra pertama kami yang berusia 4 tahun sempat cemberut. “Bagaimana sih yah, Allah ini” katanya pada suami saya. “Saya khan udah minta adik perempuan kok diberi laki-laki?”. Katanya.Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-60282835189191837332008-12-18T17:13:00.000-08:002008-12-18T17:14:43.883-08:00Janganlah Anak Kami Anak Tunggal (2)Saya tahu bagaimana rasanya. Sendiri. Ada ruang-ruang hati yang kosong, karena tidak pernah ada pertengkaran, berbagi hingga berebut atau hal lainnya layaknya sebuah keluarga dengan anggota lebih dari 3 orang. Ketika kecil saya selalu ingin berada dekat keramaian. Atau saya ajak teman-teman untuk berkumpul dirumah agar tidak merasa sepi. Saya takut suasana senyap, meskipun saat beranjak dewasa saya mulai menyukainya.<br /><br />Tanpa mengurangi rasa cinta kepada kakak perempuan saya almarhum dan juga kakak lelaki saya yang berada di Jember. Terpaksa saya mesti bercerita mengapa saya bisa kesepian, padahal di tulisan terdahulu saya menyebutkan mempunyai kakak. Sebenarnya saya adalah anak tunggal. Ketika menikah dengan Ibu, Bapak adalah seorang duda dengan membawa putra sedangkan Ibu adalah seorang janda kembang yang membawa satu putra dan satu putri. Kakak lelaki putra Ibu saya meninggal ketika sekolah dasar. <br /><br />Jadilah Ibu hanya membawa putri. Namun karena Ibu-pun juga putri tunggal maka putri Ibu tersebut diasuh oleh nenek. Dari perkawinan tersebut lahirlah saya, dengan cinta yang melimpah dari kedua orang tua. Cinta itu kadang menenggelamkan, namun kadang juga menjadikan saya seperti sebongkah cadas.<br /><br />Saya tidak ingin anak saya merasakan kesepian dan kesendirian seperti yang saya rasakan. Saya harap, saudara kandung akan membuat mereka saling berpegangan mengarungi samudra kehidupan dan saling menguatkan ketika tertimpa persoalan. <br />Karena itulah, ketika putra pertama kami berusia dua tahun kami berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk mendapatkan putra ke dua. Maka dilepaslah IUD saya. <br /><br />Namun setelah kami tunggu kurang lebih enam bulan, bayi yang kami harapkan tidak kunjung datang. Setelah beberapa kali kontrol, dokter meminta persetujuan saya untuk melakukan USG ‘dalam’. Saya masih ingat kata-kata dokter kandungan yang sangat kami percaya tersebut: inilah yang paling tidak saya suka. Oops, deg-deg-an saya semakin bertambah. Dokter mangatakan bahwa di salah satu rahim saya terdapat endometriosis. <br /><br />Bisa diterapi namun agak lama. Jika saya menginginkan segera punya anak lagi maka terapi yang terbaik adalah dengan operasi, untuk memudahkan sperma bertemu dengan sel telur. Yang saya sukai dari dokter kandungan saya, salah satu-nya adalah dia tidak pernah mengungkapkan kekhawatirannya. Hal tersebut saya ketahui ketika operasi sudah terjadi.<br /><br />Dokter menanyakan apakah selama ini ketika menstruasi saya sering merasa kesakitan. Wach saya sungguh tidak tahu bahwa hal tersebut adalah salah satu gejala yang mesti saya sampaikan. Saya pikir rasa ‘sedikit’ sakit tersebut karena saya sudah punya anak. Sehingga terdapat perbedaan ketika menstruasi. Saya anggap hal yang biasa apalagi menurut saya tidak ada keluhan lain yang cukup berarti. Saya pikir banyak wanita akan kecolongan dengan gejala ini. <br /><br />Yang saya tahu, miom, kista atau endometriosis adalah jenis-jenis tumor jinak. Tidak mematikan sebagaimana kanker rahim yang sudah menyerang kakak saya almarhum. Tiga kanker terbesar wanita yang mematikan jika tidak cepat ditangani adalah Kanker Ovarium, Kanker Payudara dan Kanker serviks (kanker leher rahim).<br /><br />Saya meminta waktu sebulan menyiapkan mental dan jiwa saya untuk menghadapi operasi kedua ini. Apalagi setelah saya tanyakan, apakah operasi tersebut berbeda dengan operasi Caesar ketika melahirkan? Inilah jawaban dokter kandungan saya: operasi Caesar ibaratnya membenahi sepeda motor sedangkan operasi endometriosis seperti membenahi arloji. Ooops. Sedangkan waktu yang dibutuhkan sekitar tiga jam, padahal Caesar (jika tidak ada masalah) cukup dengan 20-30 menit. Meskipun belakangan saya ketahui dengan biaya yang lebih mahal maka operasi endometriosis bisa dilakukan dengan laser sehingga waktunya relative lebih cepat. <br /><br />Sebulan kemudian, sore hari saya diantar suami berangkat kerumah sakit provider dari asuransi kami. Malamnya selain puasa, usus saya ‘dibersihkan’. Sungguh tidak nyaman proses pembersihan ini. Seingat saya dengan memasukkan selang berisi air ke dalam anus saya, dibersihkan beberapa kali hingga cairan yang keluar hanya tersisa air. Maka proses pembersihan tersebut baru dianggap selesai. Nampaknya malam tersebut saya diberi obat tidur, sehingga tidur saya sangat lelap. <br /><br />Esok paginya jam enam pagi saya mesti menuju ruang operasi, suster sudah menunggu. Namun saya masih membaca doa-doa yang saya kumpulkan selama sebulan. Doa-doa ini saya dapatkan dari mana-mana untuk menguatkan dan memberikan ketabahan pada saya. Untunglah dokter kandungan saya sangat paham dengan membiarkan bahkan meminta suster untuk menunggu saya menyelesaikan doa-doa tersebut hingga saya siap menunggu ruang operasi. <br /><br />Jam 6 lebih 10 menit saya didorong menuju ruang operasi. Menuju ruang yang sangat dingin. Ada hiruk pikuk dari ruang operasi sebelah, ada seorang artis yang juga sedang dioperasi. Nampaknya semua orang ingin melihatnya. Tubuh saya telentang, dingin yang menyergap perlahan semakin tidak terasa, sesayup bunyi lagu yang semakin tidak terdengar. Saya tidak merasakan apapun. Batas antara hidup dan mati yang sangat tipis, mengapa hanya terasa ketika saya hendak operasi? Ketika seolah saya mendatangi maut? Bukankah seharusnya setiap saat mesti saya rasakan? Bukankah kematian bisa kapanpun dan dalam keadaan sedang bagaimanapun?<br /><br />Perut saya dibedah yang ke dua kalinya, ditempat sayatan yang sama.<br />Keluar dari ruang operasi sekitar jam 10, saya tersenyum-senyum kepada penunggu saya. Saya tidak merasakan sakit sedikitpun, padahal kaki saya masih lumpuh belum bisa digerakkan pengaruh bius. Bahkan rasa bahagia yang mengharu-biru menyelimuti, membuat saya mudah tertawa. Esoknya saya tanyakan, mengapa setelah Caesar yang hanya 20 menit membuat saya kesakitan sedangkan operasi tiga jam ini justru membuat saya merasa nyaman. Dokter mengatakan karena ada morphin yang dimasukan melalui tangan kiri saya. <br /><br />Ah itulah jawabnya, morphin dalam arti yang sebenarnya. Sangat membantu ketika pasien kesakitan. Tiga hari dirumah sakit saya tidak merasa sakit sama sekali, sakit justru agak terasa ketika hari ke empat. Ketika saya diperbolehkan pulang. Semoga saya tidak menjadi pecandu…..meskipun 3 hari saya merasakan nikmatnya morphin.<br />Beberapa hari kemudian saya mendapatkan informasi bahwa tumor tersebut tumor jinak. Ternyata, di awal pemeriksaan ketika ditemukan benjolan dokter mengkawatirkan jika tumor itu ganas. Apalagi dokter juga tahu ada riwayat kanker dalam keluarga kami. <br /><br />Salah satu yang mesti diwaspadai adalah jika dalam keluarga terdapat riwayat cancer. Jika stadium awal keganasan tersebut bisa dilihat melalui operasi dengan memeriksakan jaringan tersebut ke laboratorium. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Taman Indah, 12 Desember 2008.</span>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-48095249158200805142008-11-22T08:34:00.001-08:002008-11-22T08:36:12.600-08:00Ibu Saya Benar, Kadang Kata-Kata Adalah Doa (I)Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah permintaan maaf. Saya merasa terlalu lama kita tidak berbincang-bincang melalui media yang sama-sama kita cintai ini. Jika kemarin-kemarin hal itu karena kesibukan dalam pekerjaan, sedangkan saat ini karena saya melahirkan dan sekali lagi sedang sangat menikmati mempunyai ‘mainan baru’ dirumah.<br /><br />Alhamdulillah, setelah dua putra saat ini kami diberi amanah lagi seorang putri yang (menurut saya) sangat cantik. Lengkaplah sudah kebahagiaan kami. Masa mendatang, hidup kami sebagian besar hanyalah untuk memberikan dan memastikan yang terbaik bagi mereka.<br /><br />Ketika saya terkapar dirumah sakit, ada banyak hal yang saya pikirkan salah satunya adalah mencoba membagi pengalaman personal saya di milis ini. Dengan harapan bisa berguna untuk orang lain khususnya bagi yang mempunyai persoalan sama dengan saya. Perut saya sudah dibelah empat kali. Sejujurnya saya ‘ngeri’ di operasi yang ke empat ini, keberanian saya tidaklah sebesar operasi pertama, kedua ataupun ketiga. Saya ingin membaginya dengan ‘bahasa saya’ dan semoga tidak membosankan. Untuk yang akan melakukan operasi yang ke empat, semoga bisa menjadi kekuatan. <br /><br />Meskipun bagi sebagian orang persalinan secara Caesar lebih sebagai kecantikan, bahkan sebagian orang mengatakan agar tetap ‘perawan’. Pengalaman saya bukanlah karena salah satu alasan itu, saya harus Caesar sampai dengan tiga kali dan satu kali operasi endometriosis. Menurut dokter kandungan saya, itulah yang memang harus saya lakukan. Alhamdulillah saya sudah melewatinya, dan sampai dengan saat ini saya baik-baik aja. Saya masih diberi nafas olehNYA.<br /><br />Membagi pengalaman operasi Caesar pertama, Januari 2002.<br /><br />Pagi itu saya dengan beberapa teman kantor berencana pergi ke Malang. Usia kandungan saya delapan bulan satu minggu. Besuk saya dengan suami berencana control ke dokter kandungan kami. Karena setelah usia kandungan delapan bulan, kontrol di perpendek. Jika di awal-awal kelahiran perbulan, maka diusia kandungan tujuh bulan menjadi dua minggu sekali dan setelah delapan bulan menjadi setiap minggu. <br /><br />Saya mempersiapkan kelahiran normal. Sebagaimana saran dokter maka salah satu olah raga yang saya lakukan adalah jalan kaki mengelilingi komplek perumahan. Olah raga ini katanya akan membuat otot-otot pinggul bergerak dan akan mempermudah proses persalinan secara normal. Tadi malam saya melakukan olah raga tersebut ditemani suami. <br /><br />Sebenarnya keyakinan untuk melahirkan secara normal tidak saya dapat dengan mudah. Beberapa tahun yang lalu tepatnya ketika saya masih SMA saya mempunyai pengalaman yang cukup traumatis. Saat itu saya pernah melihat langsung kakak (almarhum) saya melahirkan anak ke-3nya di rumah. Dibantu oleh seorang Bidan, saya melihat langsung bagaimana dia ‘bertarung’ hingga bisa mengeluarkan bayinya. Melihat perjuangannya waktu itu nyali saya ciut dan miris setiap kali membayangkan proses persalinan secara normal. <br /><br />Beberapa tahun kemudian ketika saya sudah di perguruan tinggi, Ibu (almarhum) bercerita melalui telp bahwa kakak saya melahirkan anak ke empatnya tanpa bantuan tenaga medis. Menurut Ibu, Bapak sudah menghubungi empat bidan yang ada di desa kami dan kebetulan ke empatnya tidak bisa membantu karena sedang menangani persalinan lain, Bidan lainnya tidak berada ditempat. Ketika ayah pulang dari perburuan mengejar empat bidan, ternyata kakak saya sudah melahirkan di rumah. Dia dibantu tetangga yang katanya punya pengalaman membantu melahirkan. Saat itu saya langsung nyeletuk” Kalau suatu saat saya hamil biarlah saya melahirkan dengan cara operasi saja”. Ibu saya langsung menangis dan marah karena menurutnya apa yang saya ucapkan adalah doa dan bisa terjadi. Beliau menangis karena operasi bagi beliau (dan mungkin kebanyakan orang desa lainnya) selalu identik dengan sesuatu yang gawat dan bahkan sering berakibat kematian. <br /><br />Ibu, orang yang sangat saya cintai yang sering menjadi rujukan bagi saya akan banyak hal, meninggal sebelum sempat menyaksikan saya melahirkan. Untunglah saya bertemu Ibu mertua yang luar biasa. Beliau mempunyai 7 anak yang masih hidup (anak ke tiganya dari yang hidup adalah suami saya) dan empat yang lain meninggal ketika masih bayi maupun anak-anak. Jadi keseluruhan putra-putri beliau mestinya sebelas. Angka yang fantastis bagi saya, kakak saya (almarhum) dengan anak empat, waktu itu ayah saya memanggilnya ‘ kucing’. Panggilan itu identik dengan kakak saya yang (menurut kami sekeluarga) beranak banyak. <br /><br />Menurut Ibu mertua saya yang kami panggil Umi, mintalah kepada Allah agar proses kelahiranmu dipermudah dan InsyaAllah akan diperlancar. Bahkan ketika melahirkan adik bungsu suami saya, usia Umi sudah diatas 40 tahun. Dan katanya, semua proses kelahirannya mudah, tidak sakit, biasanya setelah melahirkan beberapa jam kemudian Umi sudah bisa kembali bekerja. Memberi makan ternak yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian keluarga. Cerita-cerita Umi mendorong semangat saya untuk melahirkan normal. Jika Umi se-usia itu bisa kenapa saya mesti takut? Padahal waktu itu, wanita melahirkan berusia diatas 30 tahun sudah dianggap beresiko tinggi. Itulah salah satu tekad saya. Apalagi setelah membaca beberapa referensi saya tahu, bahwa melahirkan Caesar sebenarnya relative lebih bersiko daripada melahirkan secara normal. Tahun ini, tahun 2001 saya masih mendapatkan informasi bahwa orang yang melahirkan Caesar hanya bisa melahirkan maksimal tiga kali. <br /><br />Akhirnya saya mempersiapkan mental, jiwa dan raga saya untuk melahirkan secara normal. Salah satunya dengan upaya jalan kaki tersebut. Saya juga melakukan olah raga ‘ngepel’ lantai. Banyak orang mengatakan ‘ngepel’ lantai juga akan mempermudah proses persalinan. Saya tidak ikut senam persalinan karena kebetulan waktu kerja berbenturan dengan jadwal senam tersebut. Meskipun saya tahu senam persalinan akan mempermudah proses persalinan khususnya dalam mengatur pernafasan. <br /><br />Pagi itu, tidak ada yang berbeda dengan pagi-pagi lainnya. Saya bersiap-siap akan berangkat ke Malang. Sekitar jam 05.30 saya merasa sesuatu yang basah keluar seperti air kencing. Salah satu pesan dokter yang saya ingat adalah mesti berhati-hati dengan cairan apapun yang keluar dari vagina. Saya membangunkan dan melontarkan kekhawatiran saya kepada suami. Setelah saya mengganti celana dalam saya dengan yang baru, suami saya mencium celana dalam saya yang basah dan dia mengatakan baunya seperti kencing, dan dia tidur lagi. <br /><br />Ketika saya mengatakan hal tersebut kepada teman kantor yang seorang dokter, dia mengatakan jangan-jangan itu air ketuban. Info tersebut saya sampaikan kepada suami dengan agak bermalas-malasan (karena kami belum tahu resiko yang akan terjadi) kami berangkat ke rumah sakit. Sejak kehamilan saya memasuki usia 7 bulan, dokter memberi kami surat pengantar jika sewaktu-waktu melahirkan di salah satu rumah sakit yang kami pilih. Thanks GOD, salah satu sahabat yang sudah melahirkan bahkan memberikan tips yang sangat berguna. Sahabat tersebut mengatakan sebaiknya ketika usia kehamilan memasuki bulan ke 7 mulai menyiapkan keperluan untuk ke rumah sakit dalam tas yang sewaktu-waktu bisa langsung dibawa. Meskipun tidak yakin, kami membawa tas tersebut.<br /><br />Masih pukul 6.15 ketika kami keluar dari rumah. Uang di dompet kami sangat ‘tipis’ kami berencana mengambil uang di ATM. Ternyata ATM baru buka jam 7 pagi, kami berputar-putar menghabiskan waktu sebelum jam 7 pagi. Setelah dari ATM, kami menuju rumah bersalin yang sudah kami pilih. Kami menceritakan kondisi kami dan memberikan surat dari dokter kepada resepsionis RS tersebut. Kami diminta menunggu sebentar, lalu seseorang dengan membawa kursi roda meminta saya naik ke kursi tersebut dan dibawa ke kamar bersalin. Malu dan aneh adalah perasaan saya waktu itu, malu karena merasa sehat, tidak sakit namun kenapa mesti didorong seolah-olah saya kesakitan. Aneh, karena saya tidak merasa sakit sama sekali, perut ataupun yang lainnya. Kecuali adanya cairan yang keluar, itu saja.<br /><br />Di ruang bersalin seorang Bidan menemani saya dan memasukan jari tangannya ke kemaluan saya, untuk melihat berapa bukaan yang sudah terjadi. Bidan tersebut mengatakan dua bukaan. Duh, sungguh tidak enak proses melihat bukaan tersebut. Beberapa saat kemudian, sekitar jam 8 dokter kandungan saya datang menanyakan kepada Bidan berapa bukaan, lalu meraba perut saya. Di waktu yang hampir sama Bidan tersebut bertanya kamar kelas berapa yang akan kami ambil. Kami mengatakan kelas 2 sesungguhnya kami sudah berhitung-hitung tentang hal tersebut. Jika melahirkan normal dana kami cukup menggunakan kelas 2, bukan kelas utama tapi lumayanlah. <br /><br />Pasti saya menginginkan kenyamanan untuk persalinan pertama ini. Namun ternyata setelah beberapa saat meraba-raba perut saya, dokter mengatakan bahwa bayi saya ‘belum menempati posisi’ artinya kepala belum berada dibawah. Dokter mengatakan bahwa bayi saya posisinya melintang, masing serong. Dokter masih berupaya menata letak janin tersebut agar bisa dilahirkan secara normal. Namun tidak bisa. Dokter mengatakan bayi saya harus dikeluarkan dengan operasi, karena jika ketuban saya sampai habis maka bayi tersebut akan keracunan dan bisa menyebabkan kematian. <br /><br />Saya tersentak, saya merasa sangat beruntung hidup di kota dimana kami bisa langsung menuju RS dan dibantu oleh dokter yang berpengalaman dengan peralatan medis yang relative lengkap. Saya membayangkan ayah saya yang mesti berlarian mencari Bidan ketika proses persalinan kakak saya. Duh jika kondisi tersebut saya alami, mungkin anak tercinta yang kami dambakan kehadirannya tidak akan pernah ada.<br /><br />Saya jadi tahu mengapa angka kematian Ibu dan bayi khususnya pada saat persalinan di Indonesia masih tinggi. Saya yang relative mendapatkan banyak akses informasi masih tidak waspada dengan persalinan. Dan saya jadi paham, inilah gunanya program desa siaga, keluarga siaga, inilah gunanya program suami siaga.<br /><br />Saya tercenung, ternyata kadang Allah menyentil saya dengan bahasaNYA. Agar saya tidak mudah mengumbar kata-kata. Ucapan yang saya sampaikan kepada Ibu tentang keinginan melahirkan melalui operasi, telah dijawabNYA. Meskipun Ibu saya yang menjadi saksi ucapan tersebut tidak bisa menyaksikan semua ini. Ternyata DIA tidak pernah diam, tidak tidur. Saya mesti berhati-hati dengan ucapan saya. Ibu saya benar, kata-kata kadang menjadi doa.<br /><br />Kami berpindah ke ruang kelas 3 karena dengan operasi dana kami tidak cukup untuk membayar kelas 2.Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-76587954752044560192008-10-16T04:48:00.000-07:002008-10-16T04:57:02.424-07:00Jangan Benci Cuci TanganKebiasaan atau perilaku cuci tangan pakai sabun jika diterapkan dengan benar setidaknya sebelum makan dan setelah buang air besar akan meningkatkan kesehatan keluarga sampai dengan 40%. Karena kebiasaan tersebut akan memutus mata rantai penularan yang disebabkan oleh jemari tangan dan membersihkan tangan yang kotor setelah menyentuh feces. Setidaknya beberapa penyakit yang bisa dicegah akibat dari kebersihan jemari tangan adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), Typus, Colera, Disentri, Syndrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Hepatitis A.<br /><br />Di Dunia, UNICEF memperkirakan setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal karena diare. Sedangkan di Indonesia, Departemen Kesehatan mengatakan dari setiap seribu bayi yang lahir, hampir 50% diantaranya mati sebelum menginjak usia lima tahun. <br />Jika seorang bayi terkena diare biasanya berat badannya akan turun dengan drastis, apalagi jika terjadi berulang. Diare merupakan penyumbang terbesar terhadap terjadinya gizi buruk jika tidak ditangani dengan tepat. Selain itu juga berdampak negative terhadap waktu, dan ekonomi sebuah keluarga. Padahal kebiasaan cuci tangan dengan sabun mudah dan bisa diterapkan untuk mencegah diare terjadi. <br /><br />Hari ini sebuah stasiun televesi mewawancarai beberapa anak jalanan terkait dengan kebiasaan cuci tangan pakai sabun. Rata-rata mereka tahu dampak dari kebiasaan cuci tangan pakai sabun, namun dengan alasan mahal dan sulit mendapatkan air bersih yang mengalir maupun sabun akhirnya kebiasaan tersebut tidak dilakukan. <br /><br />Sebuah baseline survey oleh USAID kepada 7200 responden dari seluruh Indonesia di sekitar tahun 2006 menghasilkan temuan sebagai berikut, cuci tangan pakai sabun dengan benar setelah BAB hanya dilakukan oleh 8% responden, setelah menceboki BAB anak 6,8%, sebelum menyiapkan makanan bayi 4.3%, sebelum menyiapkan makanan 2,8% dan sebelum makan 7,4%. Meskipun dilakukan pada responden yang berbeda, artinya sedikit banyak bisa diambil gambaran tahun 2006 dan saat ini perilaku masyarakat relative masih sama. Karena satu dan lain hal, kebiasaan cuci tangan pakai sabun sulit dilakukan. Padahal memberikan daya ungkit yang besar untuk meningkatkan derajat kesehatan. <br /><br />Semua berpulang kepada kita, maukah kita membiarkan anak kita masuk kedalam daftar 50% Depkes sebagai balita yang meninggal ketika usianya belum genap lima tahun? Ataukah membiarkan buah hati kita (sebagai kelompok yang rentan karena ketergantungannya kepada kita) menjadi salah satu penderita gizi buruk? Ataukah sejak saat ini cuci tangan pakai sabun menjadi prioritas kita dalam berperilaku? Membiasakannya mulai dari diri sendiri dan semua keluarga? Selamat mencoba.Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-55931340716937038122008-09-29T22:14:00.000-07:002008-09-29T22:16:40.813-07:00Dua "Narkoba" di Sekeliling KitaBalgis Muhyidin<br /><br />Menyedihkan, itu adalah ungkapan yang pertama kali muncul ketika layar kaca disibukkan dengan berita artis-artis pecandu narkoba. Ironi, dari yang usianya belasan bahkan sampai sangat senior bisa terjerat oleh godaannya. Potret ini sesungguhnya menunjukkan potret bangsa ini dalam menghadapi persoalan narkoba. Bahwa, siapapun anak bangsa ini, tua - muda mempunyai resiko untuk menjadi pecandu. <br /><br />Berdasarkan pedoman Harm Reduction di Asia, dua jenis narkoba yang sangat umum ada disekeliling kita namun luput dari pengamatan adalah, yang pertama: Pelarut, Penghirup dan Zat Volatil<br /><br />Sejak jaman purbakala manusia telah menghirup asap wangi-wangian, obat salep dan rempah-rempah yang dibakar sebagai bagian dari upacara keagamaan mereka. Penyalahgunaan pelarut, seperti yang kita kenal, muncul pada 1950-an di AS dan sejak itu menjalar ke sebagian besar dunia. Tiga jenis utama penghirup adalah pelarut organik, nitrat volatil dan oksida nitrous. Beberapa penghirup yang paling umum termasuk lem, penyemprot aerosol, bahan pengencer cat, produk minyak, cat dasar krom, spidol. <br /><br />Menghirup dilakukan melalui mulut atau hidung. Sering kali produk dapat disemprotkan ke dalam kantong plastik atau kain lap yang direndam dan kemudian dihirup, atau secara langsung dihirup dari wadahnya. Penghirup diserap melalui paru ke dalam aliran darah, yang kemudian membawa bahan kimia dengan cepat ke otak. Bahan ini melambatkan kegiatan otak dan susunan saraf pusat. Efek yang memabukkan sering bertindak cepat (7-10 detik), hebat dan bertahan singkat tidak lebih dari 30-60 menit (beberapa penghirup hanya bertahan dua menit). <br /><br />Efeknya dapat termasuk kegembiraan, pening, keadaan kelengar, disorientasi dan gangguan visual tak teratur serta berbicara mencerca. Penggunaan jangka panjang, terutama produk minyak yang mengandung timbel, dapat mengakibatkan kerusakan pada otak, hati, ginjal dan terutama paru. Kematian dapat terjadi akibat berhenti bernapas dan denyut jantung tidak teratur. Pelarut organik sering mudah tersedia, murah dan umumnya dipakai oleh orang muda saat tahun-tahun pertama di sekolah menengah pertama. <br /><br />Kedua: Nikotin/Tembakau<br /><br />Dikenal dan telah dipakai oleh penduduk asli Amerika pada upacara keagamaan dan peristiwa sosial seribu tahun lalu. Dikenal di Eropa pada abad ke-17, nikotin telah dipakai untuk maksud hiburan dan pengobatan. Pemakaian tembakau diperluas dengan diperkenalkannya jenis tembakau yang lebih ringan, mesin penggulung rokok otomatis, kampanye iklan secara besar-besaran dan ketika pemerintah melihat ini sebagai sumber pajak. <br /><br />Nikotin, terdapat di tembakau, adalah salah satu zat yang paling adiktif yang dikenal. Nikotin adalah perangsang susunan saraf pusat (SSP) yang mengganggu keseimbangan neuropemancar. Ketergantungan fisik pada nikotin dan yang lebih penting, ketergantungan psikologis pada rokok, berkembang dengan cepat. Menghisap tembakau menghasilkan efek nikotin pada SSP dalam waktu kurang-lebih sepuluh detik. Jika tembakau dikunyah, efek pada SSP dialami dalam waktu 3-5 menit. <br /><br />Efek nikotin ketika tembakau dipakai dengan cara menghisap, mengunyah atau menghirup tembakau sedotan, menyebabkan penyempitan pembuluh darah, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, nafsu makan berkurang, menimbulkan emfisema ringan, sebagian menghilangkan perasaan citarasa dan penciuman serta memerihkan paru. Penggunaan tembakau jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada paru-paru, jantung dan pembuluh darah, dan menyebabkan kanker. <br /><br />Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization--WHO) memperkirakan bahwa merokok bertanggung jawab terhadap kematian satu dari lima orang. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen perokok akan meninggal dunia sebelum waktunya sebagai akibat langsung dari penyakit yang disebabkan tembakau. <br /><br />Toleransi pada efek nikotin berkembang dengan cepat, lebih cepat dibanding heroin dan kokain. Gejala putus zat setelah penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan sakit kepala, sifat lekas marah yang parah, ketidakmampuan berkonsentrasi, gelisah dan gangguan tidur. Ketagihan pada nikotin mungkin bertahan seumur hidup setelah berhenti memakai tembakau. Untuk yang sangat ketergantungan fisik, koyo nikotin tersedia sebagai bentuk yang secara relatif tidak berbahaya untuk menghindari efek asap tembakau yang berbahaya seperti karbon monoksida, tar, sulang asap dan hasil sambilan tembakau lainnya. <br /><br />Jika dua pengguna narkoba yang ‘lazim’ diatas disebut sebagai pecandu. Maka semua data tentang pengguna narkoba jenis Heroin, Opium, Kokain, Cannabis, Amfetamin, Ecstasy, Metadon dan Halusinogen akan bertambah berlipat-lipat jumlahnya. Kita bisa lihat pengguna rokok ada dimana-mana. Lalu pertanyaannya, apakah mereka semua mesti dipenjara? Bukankah lebih bijaksana untuk menyediakan klinik ketergantungan narkoba secara gratis dengan metode yang lebih manusiawi? Membantu mereka keluar dari lingkaran ketergantungan narkoba, dengan masih mempunyai segudang harga diri. Bukan penjara, karena penjara hanya meruntuhkan harga diri dan juga asa mereka. <br />Penjara hanya layak untuk pembuat dan penjual narkoba.Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-47110138814863295652008-08-12T01:27:00.001-07:002008-08-12T01:27:48.586-07:00Renungan Tahun Ajaran BaruBiasanya, tahun ajaran baru identik dengan baju baru, tas baru, sepatu baru dan pernak-pernik sekolah lainnya yang serba baru. Mall maupun department store penuh dengan keluarga yang memilih semua perangkat itu, baik dengan label ‘sale’ ataupun tidak. Entahlah, ini kebiasaan umum, menyenangkan anak, menyenangkan orang tua atau culture?<br /><br />Dalam dua minggu ini saya menikmati perayaan tersebut, menikmati peran sebagai ibu. Kebetulan anak pertama saya memasuki sekolah dasar. Terus terang ini menguras tabungan, belum lagi beberapa bulan sebelumnya mesti melunasi uang gedung yang (menurut kami) jumlahnya lumayan. Semua kami lakukan agar putra tercinta bisa bersekolah di tempat yang bagus, meskipun kantong kami jadi kempis. <br /><br />Dua hari masa orientasi sekolah nampaknya berjalan lancar, ketika saya tanyakan pada putra saya, jawabnya: “Menyenangkan, Bun”. Ya, selama pengenalan sekolah dia diajak berkeliling sekolah dengan cara yang menyenangkan dan hari kedua diajak menanam pohon dengan cara yang menarik. Ops, syukurlah. Dia sangat excited bangun jam enam pagi padahal ketika di taman kanak-kanak sebelum pak becak menunggu-nya hingga seperempat jam dia belum bersiap untuk berangkat. Tidak seperti sekolah taman kanak-kanak, sekolah barunya cukup jauh membutuhkan waktu sekitar tiga perempat jam untuk sampai disana. <br /><br />Hari pertama sekolah, saya mengambil cuti dan menemaninya seharian di sekolah. Kami, sebagian besar ibu-ibu bergerombol di depan sekolah dan berbincang-bincang. Dua ibu teman mengobrol saya mempunyai anak lain selain yang sekarang di kelas satu. Anak pertama mereka sudah kelas tiga sekolah dasar. Duh, saya dibuatnya stress. Bagaimana tidak, mereka mengatakan bahwa ketika putra-putri mereka duduk di kelas tiga, dari Sembilan mata pelajaran empat diantaranya dengan nilai delapan sedangkan yang lain dengan nilai Sembilan atau sepuluh, prestasi tersebut ternyata dianggap ‘ tidak bagus’. Artinya angka Sembilan dan sepuluh menjadi umum didalam kelas. <br /><br />Kini, setelah dua minggu bersekolah anak saya mulai malas-malasan. Dan beberapa kali mengatakan “Sekolah tidak menyenangkan, Bun”. Duh, sedih sekali mendengarnya seolah-olah kami memenjarakannya di ruang yang tidak dia sukai. Namun bagaimana lagi nak, inilah metode pembelajaran umum di sini, kau harus bisa disemua mata pelajaran itu. Berhitungmu mungkin cepat namun manakala kau tidak bisa membaca maka kau dianggap tidak sempurna. <br /><br />Saya ingat perbincangan dengan teman saya yang lulusan Harvard USA, pada umumnya di USA sampai dengan usia Sembilan tahun semua anak dibiarkan ‘bermain-main’ mereka tidak dituntut untuk bisa membaca, berhitung atau menulis. Ketika seorang anak menyukai salah satu mata pelajaran maka dia bisa focus mengambil pelajaran tersebut, tidak dituntut semua mata pelajaran harus bisa. Dan dengan metode itu, pendapatan perkapita penduduknya sangat jauh lebih baik dari negara kita. Saya merenungkan percakapan tersebut dan terlintas dalam benak saya: Adakah yang perlu dicontoh untuk kebaikan metode pembelajaran kita? Membuat anak-anak kita semakin Berjaya dengan metode yang ‘lebih ramah’?Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-9141140618300716122008-07-01T10:41:00.000-07:002008-07-01T10:49:29.108-07:00Berdamai Dengan Harga TinggiDampak dari kenaikan harga BBM sangat terasa oleh keluarga, khususnya ibu selaku pengelola keuangan. Bapak, sebagai kepala keluarga yang pada umumnya merupakan tulang punggung keluarga, pasti juga bertambah pusing. Apalagi jika tidak bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Maka ibulah yang mesti berinisiatif untuk melakukan upaya-upaya tertentu agar kebutuhan keluarga tetap terjaga.<br /><br />Salah satu yang mesti diperhatikan adalah pemberian makanan pokok, lauk-pauk serta sayur dan buah, karena akan mendukung tumbuh kembang anak dengan optimal. Kontribusi ini akan dirasakan dengan hadirnya generasi-generasi muda yang kuat dan sehat di masa mendatang.<br /><br />Berikut adalah beberapa tips yang bisa dilakukan agar berdamai dengan harga-harga yang membuat kita semua menjerit:<br /><br />1. Gunakan lahan kosong untuk menanam sayuran atau buah, misalnya pohon pepaya yang kaya dengan manfaat. Pohon pepaya daunnya bisa digunakan sebagai sayur dan buahnya biasanya bisa dimakan oleh siapapun, termasuk anak yang alergi dengan makanan tertentu.<br /><br />2. Jika tidak mempunyai lahan kosong, sayuran bisa ditanam di pot-pot kecil ataupun menggunakan bamboo yang diberi lubang dan diberi tanah secukupnya dan dibuat kebun vertical. Maka, uang belanja sayur (jika mungkin buah) bisa kita simpan untuk kebutuhan lain. Selain itu, banyaknya tanaman di sekitar rumah akan membuat polusi udara semakin berkurang.<br /><br />3. Jangan buang sisa makanan, tapi buatlah kompos. Kompos dari sisa makanan merupakan kompos alam yang sangat bagus untuk sayuran yang ditanam. Dengan memastikan kompos yang digunakan berasal dari kompos organic, maka sayuran yang ditanam merupakan sayuran yang tidak terkontaminasi oleh zat-zat kimia yang membahayakan tubuh. Di beberapa supermarket yang menjual sayuran maupun buah dengan menggunakan pupuk organic, harganya lebih tinggi dari sayuran maupun buah yang menggunakan pupuk an organic.<br /><br />4. Bukalah semua jendela dan ventilasi rumah ketika siang hari. Selain untuk meminimalkan penggunaan listrik, sirkulasi udara yang berganti akan memberikan udara baru yang lebih segar. Panas matahari yang masuk akan membunuh sebagaian kuman-kuman yang berada di dalam ruangan.<br /><br />5. Tampunglah air hujan sebanyak mungkin, untuk mengurangi biaya penggunaan air PDAM juga untuk mengurangi krisis air bersih yang sudah banyak melanda di beberapa tempat di Indonesia. Jika tidak mungkin menampung air, gunakan air seperlunya. Tutup kran air begitu tempat air penuh.<br /><br />6. Kurangi minuman yang manis. Jika sebelumnya untuk satu gelas teh gula menggunakan 3 sendok, maka cobalah selama seminggu menggunakan 2 sendok gula, dan minggu setelahnya menjadi satu sendok gula. Secara perlahan kita mengurangi ketergantungan terhadap gula, dan juga mengurangi kemungkinan penyakit diabetes.<br /><br />7. Cobalah untuk tidak tergiur dengan model-model baju baru. Upayakan baju yang dikenakan merupakan padu padan antara baju yang satu dengan baju yang lain, atau tambahkan aksesoris berupa selendang, bros sehingga memberikan kesan beda.<br /><br />8. Datanglah di setiap acara kenduri. Biasanya tuan rumah selalu memasak berlebih, jika banyak undangan tidak datang maka makanan banyak tersisa. Dengan adanya kenduri jatah makan malam bisa dikurangi.<br /><br />Beberapa hal di atas mungkin tidak serta merta bisa diterapkan. Yang terpenting adalah kemauan untuk mencoba. Dengan kebiasaan tersebut, jika dalam satu hari kita bisa mengurangi biaya yang dikeluargakan sebanyak Rp. 5.000,- maka dalam satu tahun atau 365 hari, akan tersimpan Rp. 1.825.000,- Uang tersebut bisa untuk dana pensiun atau kebutuhan urgent lainnya.<br /><br />Dalam hal penggunaan kompos, menampung air hujan, dan tidak selalu membeli baju model baru selain berdamai dengan harga, kegiatan tersebut juga membuat kita berdamai dengan bumi. Membuat lebih lama penggunaan TPA (Tempat Penampungan Akhir) sampah, melindungi air dan mengurangi sampah kain dari model baju yang selalu berganti.<br />Akhirnya, selamat mencoba!Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-22948222243065593582008-06-27T03:19:00.000-07:002008-06-27T03:21:41.683-07:00Imunisasi Yuuk…Imunisasi adalah upaya pemberian kekebalan kepada seseorang agar terhindar dari penyakit-penyakit tertentu. Bisa diberikan kepada orang dewasa maupun balita. Tulisan ini sengaja di batasi imunisasi pada bayi dibawah satu tahun, dengan asumsi bayi di bawah satu tahun adalah kelompok yang rentan untuk terkena penyakit yang dapat menyebabkan sakit berat, kecacatan atau bahkan kematian.<br /><br />Indonesia memulai upaya imunisasi tahun 1956 di Pulau Jawa dengan vaksin cacar. Bahkan tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit cacar. Secara nasional dikembangkan vaksinasi cacar dan BCG tahun 1973. Begitulah, hingga saat ini dikenal bermacam-macam vaksin untuk balita bahkan orang dewasa. Namun karena keterbatasan pemerintah, maka secara gratis Pemerintah hanya bisa menyediakan lima vaksin dasar untuk bayi dibawah satu tahun. Lima vaksin tersebut adalah Hepatitis B (HB), Polio, BCG, DPT dan Campak. Yang dilakukan dengan cara menyuntik (vaksin Hepatitis B, BCG, DPT dan campak) atau dengan meneteskan di mulut (vaksin polio).<br /><br />Beberapa tahun terakhir kini, bahkan beberapa virus yang sudah mulai menghilang justru muncul lagi, sehingga beberapa kali pemerintah melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Yang memakan biaya sungguh besar. Padahal jika masyarakat mau datang secara rutin untuk mengimunisasikan anaknya PIN tidak perlu dilakukan.<br /><br />Sebagai informasi, Imunisasi hepatitis B adalah untuk melindungi anak dari penyakit hepatitis B (kuning) yang dapat merusak hati atau menimbulkan kanker hati pada usia dewasa. Imunisasi BCG untuk melindungi anak dari penyakit tuberkulosis (TBC) yang dapat menyerang paru, otak dan tulang. Imunisasi Polio untuk melindungi anak dari penyakit Polio yang dapat menyebabkan kelumpuhan.<br /><br />Imunisasi DPT untuk melindungi anak dari 3 penyakit berbahaya : Difteri, Pertusis dan Tetanus. Penyakit Difteri dapat menyerang saluran nafas dan jantung. Penyakit Pertusis (batuk rejan, batuk seratus hari) dapat menyerang paru dan telinga. Penyakit Tetanus dapat menyerang syaraf dan otot, Ketiga penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi DPT. Imunisasi Campak untuk melindungi anak dari penyakit campak yang dapat menyerang paru, usus, mata dan otak.<br /><br />Jadi setelah tahu manfaat imunisasi untuk bayi ketika dewasa kelak, apalagi yang kita tunggu? Yukk kita bawa bayi, keponakan dan adik kita ke pusat pelayanan imunisasi terdekat. Yaitu; posyandu, puskesmas, Rumah Sakit, Dokter Keluarga atau Dokter Spesialis Anak.Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8817101927747515143.post-92020810875783155732008-06-13T18:51:00.001-07:002008-06-13T18:57:43.326-07:00Ketika Coklat Membuat "Sakaw"<div style="text-align: left;">Balgis Muhyidin<br /></div><p class="MsoNormal" style="font-style: italic; text-align: left;">Hmmm, yummy,..</p><p style="text-align: left;" class="MsoNormal">Siapapun yang membayangkan coklat, pasti tergiur. Coklat yang konon bisa membuat relax itu bisa dikonsumsi siapa saja. Bahkan beberapa keluarga lebih memilih anak-anaknya mengkonsumsi coklat, daripada permen jenis lain. Berlasan memang, karena coklat mengandung beberapa zat yang bermanfaat untuk pertumbuhan. Namun belakangan, ditemukan zat adiktif dalam balutan coklat. Bagaimana mengontrol hal ini? </p><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal">Bisa dibayangkan jika sejak sekolah dasar si anak sudah mengkonsumsi narkoba dari jenis yang paling ringan sekalipun, dosis akan selalu ditambah untuk mendapatkan efek yang sama. Semula dirasa tidak enak, namun lama kelamaan akan menimbulkan kecanduan. Aksi "cerdas" ini dilakukan bandar narkoba sebagai upaya membuka "pasar" baru produknya.<br /></p>Belakangan, agen bandar pun kabarnya semakin berani menjualnya secara terang-terangan. Bahkan, jika semula hanya berbagai jenis obat yang bisa menimbulkan kantuk atau halusinasi ringan lama kelamaan akan ditawari jenis narkoba lainnya yang lebih ‘greng’. Misalnya jenis heroin atau putaw yang pasti akan ditawarkan ketika narkoba jenis lainnya dirasa tidak memberikan efek seperti yang diharapkan.<span style=""> </span><div style="text-align: left;"> </div><p style="text-align: left;" class="MsoNormal">Padahal ketika narkoba digunakan dengan cara menyuntik maka masalah lain muncul, yaitu adanya risiko untuk terjadinya penularan HIV/AIDS. Kejadian ini bisa menimpa siapa saja. Apa jadinya negeri ini jika menimpa sebagian besar generasi muda <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>? Yang awalnya hanya karena kebiasaan mengkonsumsi coklat?<br /></p><p style="text-align: left;" class="MsoNormal">"Nak, coklat apa yang kamu makan itu?!"<br /></p>Iman D. Nugrohohttp://www.blogger.com/profile/00837028563937857112noreply@blogger.com0