Kamis, 20 Agustus 2009

Masih Ada Ketidaktahuan

Balgis Muhyidin

Tadi pagi saya mengantarkan putri bungsu kami ke puskesmas. Minggu lalu dia berusia sembilan bulan. Usia dimana dia sebaiknya mendapatkan imunisasi campak. Penyakit ini bahkan bisa menyebabkan kematian, khususnya jika menyerang anak yang kurang gizi atau mempunyai daya tahan rendah dan belum diimunisasi campak.

Saya ke loket, mengambil nomor antrian, dipanggil dan membayar biaya registrasi sebesar Rp. 2.500. Kemudian bidan BKIA memanggil nama putri saya dan kami mendapatkan pelayanan. Tiba-tiba seorang ibu yang sedang menggendong bayi datang kepada petugas di BKIA yang sedang melakukan pencatatan dan bertanya.
“Bu, apakah anak saya tidak mendapatkan obat?”.
“Tidak bu, imunisasi anak ibu adalah imunisasi BCG, tidak menyebabkan panas, jadi anak ibu tidak perlu mendapatkan obat panas”. Jawab petugas BKIA.
Berlalulah ibu tersebut.

Ibu tersebut adalah potret ketidak tahuan masyarakat, terhadap imunisasi. Padahal dari tujuh macam penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yaitu, TBC anak, Hepatitis B, Difteri, Tetanus, Pertusis, Polio dan Campak hanya vaksin Pertusis (biasa dikenal dengan batuk rejan atau batuk seratus hari) dan Campak yang sering menimbulkan panas. Vaksin pertusis yang umumnya tergabung dalam vaksin DPT, melindungi tiga penyakit yaitu Difteri, Pertusis dan Tetanus. Seorang anak setelah mendapatkan vaksin DPT biasanya suhu tubuhnya akan meningkat setelah dua atau tiga jam kemudian. Sedangkan seorang anak setelah mendapatkan vaksin campak suhu tubuhnya akan meningkat setelah satu hari atau dua hari kemudian. Namun demikian ada beberapa bayi yang tidak meningkat suhu tubuhnya setelah mendapatkan imunisasi tersebut.

Ketakutan terhadap panas ditenggarai menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya cakupan imunisasi. Padahal imunisasi merupakan salah satu penemuan terbesar dalam bidang kedokteran sehingga dengan imunisasi bisa menyelamatkan jutaan bayi dari penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Bayi bisa tumbuh dewasa dan menjadi tulang punggung bangsa dan negara yang kuat.

Pernah didalam sebuah pertemuan dengan petugas puskesmas, dokter anak dan beberapa institusi lain yang berhubungan dengan imunisasi. Para penggiat kampanye untuk peningkatan cakupan imunisasi bertanya apakah benar imunisasi DPT ke dokter anak tidak menyebabkan panas. Dokter anak tersebut menjawab, jika anda datang ke dokter anak untuk mendapatkan pelayanan imunisasi memang tidak akan menimbulkan panas pada anak, namun akan menyebabkan panas pada kantong orang tuanya. Jawaban tersebut disambut dengan geerrr semua peserta pertemuan. Meskipun menurut teman-teman puskesmas, pelayanan swastapun masih mengambil vaksin dari mereka secara gratis dan memberikan kepada pasien dengan menarik uang jasa yang lumayan’memanaskan’ kantong tadi.

Lepas dari polemik apakah sebaiknya datang ke pusat pelayanan swasta ataukah pusat pelayanan pemerintah, pemerintah sudah menyediakan vaksin gratis untuk memberikan perlindungan terhadap bayi dibawah satu tahun. Vaksin-vaksin tersebut mencegah tujuh macam penyakit yang sudah disebutkan diatas. Atau biasa disebut dengan PD3i atau penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Jika setiap musim pancaroba, kita selalu mendengar banyaknya orang yang meninggal karena kasus demam berdarah. Mungkin kita bisa bermimpi: kapan ilmu kedokteran bisa menemukan vaksin untuk demam berdarah?

Taman Indah, senin 27 July 2009

Rabu, 05 Agustus 2009

Me and My Family: Dunia Lain

Balgis Muhyidin

Saya sangat setuju jika ada teman yang mengatakan tayangan televisi kita semakin lama semakin membuat kita ‘hoek hoek’. Sulit sekali mencari tayangan yang mendidik. Ada beberapa yang bagus untuk anak-anak dan juga digemari oleh orang dewasa, misalnya si bolang, cita-citaku, surat sahabat dan laptop si unyil. Meskipun perbandingan jumlah tayangan antara yang mendidik dengan yang tidak mendidik, sungguh seperti bumi dan langit. Lebih banyak yang tidak mendidik.

Beberapa bulan terakhir ini kita disibukkan dengan ‘jor-jor’annya stasiun televisi menayangkan reality show. Reality dalam tanda petik menurut saya. Bagaimana bisa cerita-cerita tentang aib yang kadang memalukan diri sendiri bisa diperkenankan oleh yang bersangkutan? Saya tidak habis pikir. Mungkin memang sebaiknya tidak saya pikir. Saat ini saya belum merasakan dampak langsung dari tayangan tersebut, untunglah anak-anak kami ‘belum’ menyukainya. Semoga tidak pernah menyukainya.

Tulisan ini terkait penayangan televisi yang tidak mendidik lainnya. Meskipun tidak sebanyak tahun tahun yang lalu, toh tayangan televisi masih ada yang ‘berhantu’. Maksud saya menayangkan cerita hantu. Saya merasakan dampak langsung dari tayangan tersebut, terhadap anak saya.

Nampaknya ketika kami berdua tidak berada di rumah, pembantu kami selalu mencari channel televisi yang penuh dengan adegan mistis. Jadilah anak kami ikut menontonnya. Dan mungkin, akhirnya menyukainya. Kejadian tersebut, sudah dimulai cukup lama. Saya katakana cukup lama karena salah satu acara favorit pembantu saya adalah Mak Lampir.

Dampak yang paling kentara adalah putra terbesar kami yang berusia tujuh tahun, tidak pernah berani berada di salah satu ruang rumah sendirian. Kecuali ketika tertidur tentunya. Namun ketika terbangunpun dia akan berteriak-teriak minta tolong seolah-olah para hantu-hantu itu memang mengelilinginya. Mungkin yang ada dibenaknya wajah-wajah seram yang biasa dia tonton di televisi bisa tiba-tiba muncul. Padahal ketika dia berusia 3 tahun, dan melakukan tindakan yang kreatif extrem kami akan mendiamkannya di dalam kamar. Saat itu dia tidak menangis atau meminta tolong justru dia bernyanyi-nyanyi dengan keras. Sekarang, dia sangat ketakutan jika sendirian apalagi jika kami kunci di dalam kamar.

Pertanyaan –pertanyaan yang dia lontarkan pun kebanyakan tentang mistis atau hantu, misalnya, mengapa orang mati kuburannya penuh dengan belatung, apakah kuntilanak selalu perempuan dan sebagainya, dan sebagainya. Sungguh, kami dibuat pusing tujuh keliling menjawab semua pertanyaan –pertanyaan itu. Meskipun dengan segala keterbatasan pengetahuann yang kami miliki, kami mencoba memberikan pengertian. Kamipun percaya bahwa hal-hal ghoib ada namun menurut kami tidaklah seperti yang ditayangkan di televisi. Karena toh kita tidak pernah mengetahuinya. Kami ingin mengajarkan putra putri kami tentang hal itu, hanya kami merasa saatnya belumlah tepat. Dari tayangan itulah dia mendapatkan pengetahun tentang hal gaib, dunia mistis, sebagaimana yang dia lihat, menakutkan.

Setahun terakhir ini dia jarang bertanya tentang dunia mistis ataupun hantu. Bisa dikatakan hampir tidak pernah. Legalah kami. Kami merasa, mungkin pengaruh tayangan yang ‘mengerikan’ tersebut sudah mulai luntur. Meskipun kami tidak berani mencoba mengunci-nya di dalam kamar.

Tiga hari yang lalu putra terbesar kami sakit. Ayahnya sangat sibuk. Akhirnya saya yang mengantar ke dokter. Dalam perjalanan tersebut inilah percakapan kami.

Si Sulung: “ Bunda tahu mas Reyhan”

Saya:”Cucunya eyang hamid” (saya membahasakan tetangga sebelah kami dengan sebutan Eyang)

Si Sulung: “Iya”.

Saya: “ Kenapa sayang?”

Si Sulung: “ Dia kaya sekali lho bunda?”

Saya: “ Oh ya?”

Si Sulung:” Iya, mas Reyhan punya rumah banyak”

Saya: “ Wach bunda belum tahu, dimana saja?”

Si Sulung: “ Di Surabaya ada, di Jakarta, Batam dan di Singapura”.

Saya: “ Wow iya, kaya sekali ya”

Si Sulung: “Iya bunda, bahkan dia punya rumah di dunia lain”.

Saya: Hahhh???????

[Taman Indah, 10 July 2009]