Selasa, 12 Agustus 2008

Renungan Tahun Ajaran Baru

Biasanya, tahun ajaran baru identik dengan baju baru, tas baru, sepatu baru dan pernak-pernik sekolah lainnya yang serba baru. Mall maupun department store penuh dengan keluarga yang memilih semua perangkat itu, baik dengan label ‘sale’ ataupun tidak. Entahlah, ini kebiasaan umum, menyenangkan anak, menyenangkan orang tua atau culture?

Dalam dua minggu ini saya menikmati perayaan tersebut, menikmati peran sebagai ibu. Kebetulan anak pertama saya memasuki sekolah dasar. Terus terang ini menguras tabungan, belum lagi beberapa bulan sebelumnya mesti melunasi uang gedung yang (menurut kami) jumlahnya lumayan. Semua kami lakukan agar putra tercinta bisa bersekolah di tempat yang bagus, meskipun kantong kami jadi kempis.

Dua hari masa orientasi sekolah nampaknya berjalan lancar, ketika saya tanyakan pada putra saya, jawabnya: “Menyenangkan, Bun”. Ya, selama pengenalan sekolah dia diajak berkeliling sekolah dengan cara yang menyenangkan dan hari kedua diajak menanam pohon dengan cara yang menarik. Ops, syukurlah. Dia sangat excited bangun jam enam pagi padahal ketika di taman kanak-kanak sebelum pak becak menunggu-nya hingga seperempat jam dia belum bersiap untuk berangkat. Tidak seperti sekolah taman kanak-kanak, sekolah barunya cukup jauh membutuhkan waktu sekitar tiga perempat jam untuk sampai disana.

Hari pertama sekolah, saya mengambil cuti dan menemaninya seharian di sekolah. Kami, sebagian besar ibu-ibu bergerombol di depan sekolah dan berbincang-bincang. Dua ibu teman mengobrol saya mempunyai anak lain selain yang sekarang di kelas satu. Anak pertama mereka sudah kelas tiga sekolah dasar. Duh, saya dibuatnya stress. Bagaimana tidak, mereka mengatakan bahwa ketika putra-putri mereka duduk di kelas tiga, dari Sembilan mata pelajaran empat diantaranya dengan nilai delapan sedangkan yang lain dengan nilai Sembilan atau sepuluh, prestasi tersebut ternyata dianggap ‘ tidak bagus’. Artinya angka Sembilan dan sepuluh menjadi umum didalam kelas.

Kini, setelah dua minggu bersekolah anak saya mulai malas-malasan. Dan beberapa kali mengatakan “Sekolah tidak menyenangkan, Bun”. Duh, sedih sekali mendengarnya seolah-olah kami memenjarakannya di ruang yang tidak dia sukai. Namun bagaimana lagi nak, inilah metode pembelajaran umum di sini, kau harus bisa disemua mata pelajaran itu. Berhitungmu mungkin cepat namun manakala kau tidak bisa membaca maka kau dianggap tidak sempurna.

Saya ingat perbincangan dengan teman saya yang lulusan Harvard USA, pada umumnya di USA sampai dengan usia Sembilan tahun semua anak dibiarkan ‘bermain-main’ mereka tidak dituntut untuk bisa membaca, berhitung atau menulis. Ketika seorang anak menyukai salah satu mata pelajaran maka dia bisa focus mengambil pelajaran tersebut, tidak dituntut semua mata pelajaran harus bisa. Dan dengan metode itu, pendapatan perkapita penduduknya sangat jauh lebih baik dari negara kita. Saya merenungkan percakapan tersebut dan terlintas dalam benak saya: Adakah yang perlu dicontoh untuk kebaikan metode pembelajaran kita? Membuat anak-anak kita semakin Berjaya dengan metode yang ‘lebih ramah’?