Senin, 29 Juni 2009

Ketika Bu Iyah Pulang

Balgis Muhyidin

Kami sering berganti-ganti pembantu. Jika bukan karena mereka tidak menyukai kami kadang kami-pun tidak menyukai mereka. Misalnya, salah satu pembantu sering meminta uang kepada si sulung untuk membeli bakso ataupun membeli pulsa. Dengan mengintimidasi si sulung, jika tidak dikabulkan maka dia akan mengabaikan si sulung. Tidak membantunya ketika si Sulung membutuhkan bantuan.

Ada juga pengalaman mengharukan. Salah satu pembantu kami mengatakan dia tidak pernah keluar dari pulau Madura. Dia mengetahui Surabaya setelah usianya 20 tahun. Ketika bekerja dengan kami. Dia juga belum pernah makan buah apel, anggur, pir dan beberapa buah lain yang mudah didapatkan di belahan republik ini. Maka jika dia ikut berbelanja, kami perbolehkan dia mengambil makanan ataupun buah yang belum pernah dia rasakan.

Menurut kami (sendiri), kami cukup baik memperlakukan pembantu-pembantu kami. Setidaknya kami tidak pernah menyiksa pembantu kami sebagaimana Nurmala atau Siti Hajar ketika bekerja di Malaysia. Menurut kami (sendiri), kami cukup baik dengan memberikan sedikit gaji lebih kepada pembantu-pembantu kami. Sehingga kami dikomplain tetangga karena dianggap merusak pasaran harga pembantu di lingkungan kami. Menurut kami (sendiri), kami cukup baik jika pembantu kami sakit kami antar dan biayai berobat ke puskesmas ataupun dokter terdekat.

Jika ditulis disini mungkin menurut kami (sendiri), semua kebaikan kami cukup banyak. Bahkan sandal jepit yang kami belikan untuk mereka-pun akan kami anggap sebagai salah satu kebaikan.

Itulah yang kami pandang selama ini. Bahwa mereka lebih butuh gaji yang kami berikan daripada pelayanan yang mereka berikan kepada kami. Bahwa mereka lebih membutuhkan kami daripada kami membutuhkan mereka. Dan, semuanya berubah ketika bu Iyah pulang.

Bu Iyah adalah pembantu yang dicarikan oleh pembantu yang pernah bekerja dengan kami selama tiga tahun. Dengan syarat hanya boleh bekerja oleh suaminya selama lima bulan. Bu Iyah menggantikan salah satu pembantu kami yang menikah. Selama empat bulan bu Iyah bekerja berdua dengan pembantu kami lainnya. Namun di bulan ke lima bu Iyah bekerja sendiri. Tentu, atas persetujuannya. Dan luar biasa, Bu iyah bisa melakukan semua pekerjaan tanpa terbengkalai, sama seperti jika kami mempunyai dua pembantu. Memasak, membersihkan rumah dan memperhatikan ketiga putra-putri kami, khususnya merawat si kecil.

Hampir empat minggu setelah bu Iyah Pulang, tepatnya akhir bulan Mei lalu. Saya sudah dua kali jatuh sakit dan empat kali dirawat dokter. Pertama ketika di Tulungagung. Sehari setelah kepulangan bu Iyah, badan saya demam, perut saya kram, paha dan kaki saya seperti ditusuk-tusuk dan akhirnya tangan dan kaki saya tidak bisa digerakkan selama hampir tiga jam. Ketika ke dokter di Tulungagung, (otak saya bisa berfikir normal meskipun badan saya sulit bergerak) saya tanyakan saya terkena chikungunya atau stroke. Setelah melihat tekanan darah saya, dokter mengatakan saya suspect (karena tidak ada hasil laboratorium) chikungunya. Ada lima macam pil yang diberikan ke saya, setelah saya menolak injeksi. Dan memang, setelah pil saya telan, perlahan-lahan tangan dan kaki saya tidak kaku lagi.

Anehnya, esok harinya semua yang saya rasakan sehari sebelumnya menghilang. Padahal menurut info salah satu teman dokter, nyeri yang diderita oleh pasien chikungunya minimal akan bertahan selama tiga hari. Karena mesti kembali ke Surabaya saya tidak kembali ke dokter Tulungagung. Menurut teman dokter tersebut sebaiknya saya ke neurology/ dr. saraf.

Saya menceritakan apa yang sudah terjadi ke dokter saraf di Surabaya. Setelah menyuruh saya memukul, membengkokkan kaki dan tangan, menekan, mengenggam dan serangkain test lainnya dokter saraf menyimpulkan bahwa saraf saya cukup baik. Hanya saya terserang yang bahasa mudahnya ‘panic attack’ hampir sama dengan film yang saya tonton yang dibintangi oleh Jodie Foster yaitu ‘panic room’. Jika Jodie Foster dalam film tersebut diselamatkan oleh ‘panic room’, saya justru kesakitan oleh si panic attack ini.

Anehnya, minggu depannya saya terkena serangan lagi. Saya hampir tidak bisa bergerak, semua badan saya sakit sekali. Untunglah kami mempunyai tetangga dokter yang berbaik hati mau mendatangi rumah kami karena saya tidak bisa berjalan. Dia mengatakan dari gejala klinis kemungkinan saya terkena demam berdarah (DB). Apalagi beberapa tetangga kami juga terkena DB. Esoknya hasil trombosit saya masih normal. Agar tidak berganti-ganti dokter saya kembali ke dokter saraf saya sebelumnya (karena demam saya hanya sehari, saya tidak terlalu yakin jika saya DB). Selama tiga hari sendi-sendi besar saya terasa sakit, seperti habis dipukuli.

Saraf-saraf saya di test lagi dan menurutnya tetap baik. Namun kali ini dia memberi saya pil pengontrol emosi. Dokter tersebut tidak bersedia menyebutnya sebagai obat penenang, meskipun menurut saya sama saja artinya. Yang harus saya pastikan obat tersebut aman untuk saya yang masih menyusui. Dokter saraf tersebut menjamin obat tersebut aman untuk saya dan bayi saya. Ssstttt dari sepuluh hari obat yang diresepkan saya hanya meminumnya selama tiga hari. Selama bukan antibiotic saya pikir saya tidak perlu meminumnya sampai habis. Sebagaimana saran dokter saraf, saya lebih suka menelusui penyebab dari serangan tersebut.

Mungkin salah, namun inilah teori saya. Saya kelelahan jiwa dan raga. Bagaimana tidak, semua urusan rumah yang selama ini beres di tangan bu Iyah harus saya tangani sendiri. Sampai dengan hari ini kami belum mendapatkan pengganti. Dulu, setelah sholat subuh saya bisa tidur lagi. Sekarang tidak karena setelah sholat subuh saya mesti menyiapkan keperluan si sulung ke sekolah. Mobil jemputannya datang setiap jam 5.30 pagi. Beruntung jika tidak berbarengan dengan bangunnya si Tengah atapun si Bungsu yang masih berusia 7 bulan. Malam hari, saya mesti menyusui si bungsu beberapa kali karena saya bertekad memberinya ASI.

Rumah sangat kotor, setrikaan menumpuk. Dan kadang tiga malaikat kecil saya minta diperhatikan bersamaan. Apalagi si bungsu selalu menangis jika saya tidak berada disampingnya. Selama empat minggu ini saya hanya sempat menyapa teman-teman di facebook sekali. Saya tidak sempat membaca koran. Tidak jarang saya mandi di atas jam 9 malam. Menunggu suami saya pulang, menggantikan saya memegang si bungsu baru saya bisa melonggarkan diri.

Suami saya bahkan beberapa kali mesti membolos dari kantor terutama ketika saya sakit. Dia mesti mengorbankan beberapa kegiatan organisasinya, yang saya tahu sangat sibuk menjelang pilpres ini.

Kami membeli nasi rantangan, kadang tidak terdapat sayur, kadang tidak cocok di lidah, namun itulah yang mesti kami makan. Saya tidak bisa keluar rumah untuk bercengkrama dengan teman-teman, yang ketika bu Iyah ada masih bisa saya lakukan. Jangan katakan saya bisa nonton cineplek, ketika menonton televisi saja tidak sempat. Pendeknya saya tidak punya waktu untuk diri saya sendiri ataupun dengan teman-teman saya. Sekarang saya berfikir: Berapakah saya mesti menggaji Bu Iyah hanya untuk hal ini? Untuk: me time?

Ketika bu Iyah ada saya bisa menitipkan anak-anak dan saya bisa terlelap dengan nyaman. Misalnya ketika malamnya kami punya acara atau jika saya kelelahan sehabis tugas dari luar kota. Berapa sebenarnya saya mesti menggaji Bu Iyah, untuk kenyamanan waktu-waktu tidur yang sudah Bu Iyah bantu untuk saya? Berapa sebenarnya saya mesti menggaji Bu Iyah untuk kenyamanan tempat tidur yang sudah dirapikannya, yang sekarang tidak bisa saya nikmati lagi?

Masakannya yang sedap, setrikaannya yang licin, kebersihannya, semua pekerjaan rumah yang dia kerjakan, rasa sayangnya pada anak-anak, termasuk memastikan mereka makan makanan yang layak dan sehat? Mencukupkan uang belanja kami selama sepekan. Belum lagi keamanan rumah kami ketika kami mesti keluar kota, dan selalu dalam keadaan bersih dan nyaman ketika kami kembali. Berapa biaya untuk semua ini? Semakin saya pikirkan, semakin banyak hal baik yang sudah bu Iyah berikan kepada kami.

Empat minggu Bu Iyah pulang, saya harus mengeluarkan biaya dokter untuk pengobatan. Yang kemungkinan tidak akan terjadi jika Bu Iyah masih di rumah. Jika Bu Iyah ada, akankah sebagian biaya tersebut saya berikan padanya sebagai ungkapan terimakasih?

Sekarang saya tahu apa yang saya berikan tidaklah cukup menggantikan apa yang sudah Bu Iyah berikan kepada saya. Kepada kami.


Taman Indah – 28 June 2009