Kamis, 18 Desember 2008

Janganlah Anak Kami Anak Tunggal (2)

Saya tahu bagaimana rasanya. Sendiri. Ada ruang-ruang hati yang kosong, karena tidak pernah ada pertengkaran, berbagi hingga berebut atau hal lainnya layaknya sebuah keluarga dengan anggota lebih dari 3 orang. Ketika kecil saya selalu ingin berada dekat keramaian. Atau saya ajak teman-teman untuk berkumpul dirumah agar tidak merasa sepi. Saya takut suasana senyap, meskipun saat beranjak dewasa saya mulai menyukainya.

Tanpa mengurangi rasa cinta kepada kakak perempuan saya almarhum dan juga kakak lelaki saya yang berada di Jember. Terpaksa saya mesti bercerita mengapa saya bisa kesepian, padahal di tulisan terdahulu saya menyebutkan mempunyai kakak. Sebenarnya saya adalah anak tunggal. Ketika menikah dengan Ibu, Bapak adalah seorang duda dengan membawa putra sedangkan Ibu adalah seorang janda kembang yang membawa satu putra dan satu putri. Kakak lelaki putra Ibu saya meninggal ketika sekolah dasar.

Jadilah Ibu hanya membawa putri. Namun karena Ibu-pun juga putri tunggal maka putri Ibu tersebut diasuh oleh nenek. Dari perkawinan tersebut lahirlah saya, dengan cinta yang melimpah dari kedua orang tua. Cinta itu kadang menenggelamkan, namun kadang juga menjadikan saya seperti sebongkah cadas.

Saya tidak ingin anak saya merasakan kesepian dan kesendirian seperti yang saya rasakan. Saya harap, saudara kandung akan membuat mereka saling berpegangan mengarungi samudra kehidupan dan saling menguatkan ketika tertimpa persoalan.
Karena itulah, ketika putra pertama kami berusia dua tahun kami berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk mendapatkan putra ke dua. Maka dilepaslah IUD saya.

Namun setelah kami tunggu kurang lebih enam bulan, bayi yang kami harapkan tidak kunjung datang. Setelah beberapa kali kontrol, dokter meminta persetujuan saya untuk melakukan USG ‘dalam’. Saya masih ingat kata-kata dokter kandungan yang sangat kami percaya tersebut: inilah yang paling tidak saya suka. Oops, deg-deg-an saya semakin bertambah. Dokter mangatakan bahwa di salah satu rahim saya terdapat endometriosis.

Bisa diterapi namun agak lama. Jika saya menginginkan segera punya anak lagi maka terapi yang terbaik adalah dengan operasi, untuk memudahkan sperma bertemu dengan sel telur. Yang saya sukai dari dokter kandungan saya, salah satu-nya adalah dia tidak pernah mengungkapkan kekhawatirannya. Hal tersebut saya ketahui ketika operasi sudah terjadi.

Dokter menanyakan apakah selama ini ketika menstruasi saya sering merasa kesakitan. Wach saya sungguh tidak tahu bahwa hal tersebut adalah salah satu gejala yang mesti saya sampaikan. Saya pikir rasa ‘sedikit’ sakit tersebut karena saya sudah punya anak. Sehingga terdapat perbedaan ketika menstruasi. Saya anggap hal yang biasa apalagi menurut saya tidak ada keluhan lain yang cukup berarti. Saya pikir banyak wanita akan kecolongan dengan gejala ini.

Yang saya tahu, miom, kista atau endometriosis adalah jenis-jenis tumor jinak. Tidak mematikan sebagaimana kanker rahim yang sudah menyerang kakak saya almarhum. Tiga kanker terbesar wanita yang mematikan jika tidak cepat ditangani adalah Kanker Ovarium, Kanker Payudara dan Kanker serviks (kanker leher rahim).

Saya meminta waktu sebulan menyiapkan mental dan jiwa saya untuk menghadapi operasi kedua ini. Apalagi setelah saya tanyakan, apakah operasi tersebut berbeda dengan operasi Caesar ketika melahirkan? Inilah jawaban dokter kandungan saya: operasi Caesar ibaratnya membenahi sepeda motor sedangkan operasi endometriosis seperti membenahi arloji. Ooops. Sedangkan waktu yang dibutuhkan sekitar tiga jam, padahal Caesar (jika tidak ada masalah) cukup dengan 20-30 menit. Meskipun belakangan saya ketahui dengan biaya yang lebih mahal maka operasi endometriosis bisa dilakukan dengan laser sehingga waktunya relative lebih cepat.

Sebulan kemudian, sore hari saya diantar suami berangkat kerumah sakit provider dari asuransi kami. Malamnya selain puasa, usus saya ‘dibersihkan’. Sungguh tidak nyaman proses pembersihan ini. Seingat saya dengan memasukkan selang berisi air ke dalam anus saya, dibersihkan beberapa kali hingga cairan yang keluar hanya tersisa air. Maka proses pembersihan tersebut baru dianggap selesai. Nampaknya malam tersebut saya diberi obat tidur, sehingga tidur saya sangat lelap.

Esok paginya jam enam pagi saya mesti menuju ruang operasi, suster sudah menunggu. Namun saya masih membaca doa-doa yang saya kumpulkan selama sebulan. Doa-doa ini saya dapatkan dari mana-mana untuk menguatkan dan memberikan ketabahan pada saya. Untunglah dokter kandungan saya sangat paham dengan membiarkan bahkan meminta suster untuk menunggu saya menyelesaikan doa-doa tersebut hingga saya siap menunggu ruang operasi.

Jam 6 lebih 10 menit saya didorong menuju ruang operasi. Menuju ruang yang sangat dingin. Ada hiruk pikuk dari ruang operasi sebelah, ada seorang artis yang juga sedang dioperasi. Nampaknya semua orang ingin melihatnya. Tubuh saya telentang, dingin yang menyergap perlahan semakin tidak terasa, sesayup bunyi lagu yang semakin tidak terdengar. Saya tidak merasakan apapun. Batas antara hidup dan mati yang sangat tipis, mengapa hanya terasa ketika saya hendak operasi? Ketika seolah saya mendatangi maut? Bukankah seharusnya setiap saat mesti saya rasakan? Bukankah kematian bisa kapanpun dan dalam keadaan sedang bagaimanapun?

Perut saya dibedah yang ke dua kalinya, ditempat sayatan yang sama.
Keluar dari ruang operasi sekitar jam 10, saya tersenyum-senyum kepada penunggu saya. Saya tidak merasakan sakit sedikitpun, padahal kaki saya masih lumpuh belum bisa digerakkan pengaruh bius. Bahkan rasa bahagia yang mengharu-biru menyelimuti, membuat saya mudah tertawa. Esoknya saya tanyakan, mengapa setelah Caesar yang hanya 20 menit membuat saya kesakitan sedangkan operasi tiga jam ini justru membuat saya merasa nyaman. Dokter mengatakan karena ada morphin yang dimasukan melalui tangan kiri saya.

Ah itulah jawabnya, morphin dalam arti yang sebenarnya. Sangat membantu ketika pasien kesakitan. Tiga hari dirumah sakit saya tidak merasa sakit sama sekali, sakit justru agak terasa ketika hari ke empat. Ketika saya diperbolehkan pulang. Semoga saya tidak menjadi pecandu…..meskipun 3 hari saya merasakan nikmatnya morphin.
Beberapa hari kemudian saya mendapatkan informasi bahwa tumor tersebut tumor jinak. Ternyata, di awal pemeriksaan ketika ditemukan benjolan dokter mengkawatirkan jika tumor itu ganas. Apalagi dokter juga tahu ada riwayat kanker dalam keluarga kami.

Salah satu yang mesti diwaspadai adalah jika dalam keluarga terdapat riwayat cancer. Jika stadium awal keganasan tersebut bisa dilihat melalui operasi dengan memeriksakan jaringan tersebut ke laboratorium.

Taman Indah, 12 Desember 2008.