Senin, 06 Desember 2010

Belajar dari Keindahan Cinta Habibie

Balgis Muhyidin

Kita mengenal banyak cinta. Cinta kepada Sang Pencipta, orang tua, anak, saudara, dan sebagainya. Kali ini, Saya ingin belajar dari cinta mantan Presiden BJ. Habibie pada istrinya, Alm. Ainun Habibie.

Kisah cinta keduanya mulai banyak dibicarakan dalam detik-detik perjuangan Ainun Habibie di Jerman, hingga meninggal beberapa bulan lampau. Mantan Presiden Indonesia ke tiga, yang katanya the right man in the wrong time dalam dunia politik Indonesia itu, menunjukkan kepada dunia tentang definisi cinta.

Pada detik-detik menegangkan itu, Habibie tidak pernah meninggalkan RS tempat ibu Ainun dirawat. Pasti tidak mudah. Senyaman-nyamannya sebuah rumah sakit, tapi melihat orang yang kita cintai terkapar, adalah teror tersendiri. Apalagi, di akhir cerita, Ainun meninggal dunia. "Separuh jiwa saya serasa pergi," katanya dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab di Mata Najwa Metro TV. Mata Najwa, berkaca-kaca.

Bagi Saya, itu keindahan cinta. Keagungan cinta anak manusia. Cinta yang tidak egois, Cinta yang mulia. Cinta yang tak lekang di makan waktu. Setiap manusia, menurut Saya, butuh cinta yang memberi tauladan semacam ini.

Dan Habibie, adalah lelaki yang layak untuk dicintai. Di alam sana, Ainun pasti setuju hal ini. Kelebihan-kelebihan mereka berdua hanyalah mereka yang tahu. Kelebihan yang saling dimiliki oleh pasangannya, yang tetap mempertahankan cinta keduanya tetap murni. Mereka berdua saling berlomba untuk memberi tanpa pernah bertanya kapan menerima. Mereka adalah pribadi yang luar biasa.

Saya melihat prosesi pemakanan Ibu Ainun. Luar biasa. Begitu banyaknya orang yang melayat. Berduka. Padahal, ketika Ainun masih hidup, tidak banyak pemberitaan tentangnya (atau saya yang kurang tahu). Namun ketika meninggal, justru menjadi sangat fenomenal.

Ini karena Habibie meletakkan ibu Ainun di posisi yang sangat terhormat sehingga memancar kepada semua orang. Selain karena pribadi Ainun yang memang pantas dihormati. Kesederhanaan Ainun menyenangkan semua orang. Sepertinya, cinta Habibie menulari semua orang untuk bertindak yang sama. Menghormati Ibu Ainun.

Habibie dan Ainun seolah ingin mengatakan: Cintaku, kau sudah cukup, aku tidak memerlukan yang lain. Tidak butuh pandangan terpesona orang lain, karena apa yang mereka punya lebih mempesona. Mereka tidak butuh kekaguman orang lain. Karena hubungan yang mereka miliki sudah sangat mengagumkan.

Saya sungguh terpesona. Dunia nampaknya akan jauh lebih menentramkan, jika cinta yang kita miliki pada sesama, seputih cinta yang ditunjukkan oleh Habibie dan Ainun.

*Tulisan Balgis Muhyidin lain, klik di sini!


*Foto oleh kalagondang.wordpress.com

Jumat, 07 Mei 2010

Terpesona Keukenhof

Balgis Muhyidin

Keukenhof adalah salah satu tempat yang menjadi prioritas untuk dikunjungi. Di majalah “Holland Herald” tertulis tempat itu sebagai The most beautiful spring garden in the world! Apalagi, taman ini hanya dibuka pada waktu tertentu, kali ini 18 Maret – 16 Mei 2010.

Dari Amsterdam, Keukenhof bisa dijangkau dengan kereta antar kota ke arah Leiden. Lalu naik bus ke Keukenhof. Cuaca yang sedikit extreme (bahkan bagi orang Belanda), tidak menyurutkan langkah pengunjung taman ini.

Taman ini benar-benar memanjakan mata dengan keindahan yang tertata sempurna. Di mana-mana, kehijauan dan bunga. Bunga tulip yang sudah sangat terkenal, tumbuh dengan cantik. Mulai kuntum, menjelang mekar dan mekar sempurna dalam berbagai warna.

Beberapa jenis pohon belum sepenuhnya bersemi, hanya terdiri dari batang dan dahan. Uniknya, seluruh batang pohon seperti berlumut, kehijauan. Keindahannya bercampur dengan misteri kekuatan. Karena telah mampu melewati pergantian musim.

Keukenhof adalah hasil upaya kerja keras ketika berhadapan dengan alam. Bayangkan, taman ini semua tertutup salju ketika musim dingin. Namun ketika musim semi, pemandangan berubah total. Semua warna bunga muncul seolah saling berlomba kecantikan.

Perkiraan ketepatan waktu (musim), bibit, pupuk, kecintaan, tehnologi, kerja keras adalah beberapa ramuan utama untuk menghasilkan kebun yang indah ini. Setelah sebelumnya musim dingin menutupi semua lapisan tanah dan pohon dengan es.

Beberapa pohon besar bertahan dengan merontokkan daunnya, dan ketika matahari menyapa mulailah kuncup bermekaran. Namun bunga tulip dan bunga lain yang ada di keukenhof pasti tidak seberuntung itu. Mesti selalu ditanam dan ditata ulang ketika menjelang musim semi. Dan hasilnya, bak negeri dongeng.

Sungai-sungai kecil dengan gemerciknya adalah nyanyian alam yang tiada tara merdunya. Beberapa angsa bergerombol tanpa rasa takut. Melengkapi simponinya. Air mancur buatan yang berbentuk bunga seolah mendinginkan mata yang kelelahan. Di beberapa tempat terdapat sejarah asal muasal bunga.

Cocok "bebek"

Di tengah taman terdapat taman kaca Willem–Alexander. Uniknya, ada tanaman cocor bebek di sana. Jadi ingat ibu-ibu di Indonesia yang biasa menumbuk daun cocor bebek tersebut dengan bawang merah dan di letakkan di ubun-ubun bayi dan anak kecil di bawah setahun.

Ibu menyakini cara itu untuk mendinginkan kepala si bayi dan juga membuat bayi tersebut tidak terlalu sering keluar ingus. Sayangnya, tidak banyak yang tahu the big why? Kita hanya bisa melakukannyakan?

Kincir angin yang dibangun sejak 1892, masih terawat baik. Kincir tiruan yang selama ini hanya saya lihat di toko roti Holland, jauh lebih indah bila dilihat langsung. Sudah sejak lama Belanda sudah menggunakan kincir angin untuk menghasilkan energy, menjadi listrik. Justru ketika negara lain masih mempunyai cadangan minyak. Belanda sudah melakukan upaya pencegahan untuk pemanasan global. Menggunakan tenaga yang lebih ramah lingkungan.

Dan yang tak kalah mengesankan adalah banyaknya pasangan yang cukup tua, berjalan lambat saling bergandengan tangan. Keindahan Keukenhof seolah menyebar kepada siapapun yang mengunjunginya. Sejauh mata memandang hamparan keindahan ini, wajah-wajah renta yang berseri-seri dan kemesraaan yang tetap terbaca meskipun usia beranjak senja.

| republish | Please Send Email to: iddaily@yahoo.com |

Sabtu, 10 April 2010

Beruntunglah Hidup di Indonesia

*Pengalaman Sebelum Pameran di Belanda

Berangkat dengan KLM 0810 (maskapai Belanda) jam 18.50 on time, meskipun tidak cepat take off dikarenakan cuaca yang kurang bersahabat. Menunggu beberapa pesawat landing barulah pesawat kami take off. Keberangkatan kami sebelumnya dari Surabaya – Jakarta dengan pesawat kebanggaan kita bersama justru mundur (delay) satu jam.

Satu Jam kemudian kami mendarat di bandara Malaysia. Ops…kesan pertama saya, indah dan megah. Sangat modern. Sulit membayangkan, negara tetangga kita yang katanya dulu mengirimkan guru-gurunya untuk belajar di perguruan tinggi kita, mempunyai bandara yang luar biasa megah. Jauh lebih megah dari bandara kita. Orang-orang asing berseliweran, lebih banyak dari yang kami lihat ketika kami di bandara Soekarna Hatta – Jakarta.

Tidak terjadi penumpukan penumpang, karena trem siap setiap saat mengangkut penumpang yang datang untuk dibawa ke tujuannya masing-masing. Padahal ketika di Soekarno Hatta, untuk masuk immigrasi dan masuk ke pintu penerbangan kami harus melalui antrian cukup panjang. Didominasi orang local yang hendak melakukan ziarah dan umroh. Nampaknya kita mesti belajar dari Malaysia dalam hal ini, effisiensi dan memudahkan. Sehingga tidak terjadi penumpukan. Kasihan sekali, lansia (lanjut usia) yang mau berangkat umroh maupun haji. Sebaiknya tidak antri berlama-lama, karena mereka mesti menyimpan tenaga untuk melakukan ibadah selanjutnya.

Dari Malaysia, sekitar 30 menit kemudian kami berangkat menuju Amsterdam (Belanda). Sebelum memasuki pesawat, kami harus menunjukkan passport an tiket pesawat kami. Petugas di Malaysia tidak menunjukkan senyum, inilah kelebihan kita. Petugas kita masih lebih ramah. Ah seandainya semua bisa kita tingkatkan menjadi lebih baik, sehingga negara kita lebih menyamankan orang untuk tinggal.

Kami mendapatkan 3 kali makan, ketika penerbangan ke Malaysia, ketika terbang ke Amsterdam dan sarapan pagi sebelum sampai di Amsterdam. Jadi jangan takut untuk kelaparan. Setiap dua jam, pramugari berseliweran untuk menawarkan minuman termasuk ice cream. Saya agak kawatir karena pengalaman saya di toilet manapun di tanah air yang ‘tidak cukup bersih’ dan selalu dengan aroma yang khas. Maka saya menahan diri untuk pergi ke toilet pesawat apalagi saya lihat banyak orang yang menggunakannya. Namun saya hanya bertahan 10 jam dari sekitar 16 jam penerbangan kami.

Ternyata, toilet tersebut meskipun kecil tetap berbau harum. Cukup berbekal bahasa inggris sederhana kita bisa nyaman menggunakan toilet tersebut. Jadilah berkali-kali saya masuk ke toilet. Apalagi saya sedang datang bulan. Tips: Untuk teman-teman wanita yang akan melakukan bepergian seperti saya dan sedang datang bulan, sebaiknya membawa tas wanita dengan diisi cukup pembalut. Dan bisa menggantinya sesering yang dibutuhkan. Meskipun, jika anda meminta bantuan pramugari mereka akan dengan senang hari mencari dan memberikan tampon.

Salah satu menu makan malam kami berisi potongan buah nanas, papaya dan melon. Orang yang duduk di samping saya nyeletuk: entah ini buah dari mana, kalau buah dari Indonesia pasti lebih enak. Orang tersebut orang Belgia yang tinggal di Indonesia selama 2 tahun terakhir. Sebelumnya juga pernah beberapa kali tinggal di Indonesia tapi tidak menetap. Usianya sekitar 65 tahun, tinggal di Bandung. Menurutnya, Bandung adalah tempat teruwet di Indonesia (bahkan mungkin di Dunia?) tidak ada kedisiplinan dalam berlalu lintas. Dan menurutnya, karena di Indonesia anak-anak sekolah tidak pernah diajari kedisiplinan sejak kecil. Benarkah? Ah, saya enggan berdebat. Mencoba tidur adalah focus saya saat ini.

Alhamdulillah, jam 6,10 menit waktu Amsterdam kami landing di bandara Internasional Schiphol. Bandara yang besar sekali jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya tidak ada seperempatnya jumlah penduduk negara kita. Untungnya kami bertemu dengan teman-teman Undip yang sudah dijemput KBRI, dan kami bisa bersama mereka. Dengan guidance dari KBRI kami gampang melewati bandara yang luar biasa besarnya tersebut, jika tidak, mungkin akan gampang juga bagi kami untuk tersesat. Tiga macam tempat sampah tersedia di setiap sudut bandara. Paper, waste dan Pet lengkap dengan gambar dari masing-masing item yang dimaksud. Jika tidak mengerti arti tulisannya orang tetap bisa mengerti masing-masing kegunaan dari bak sampah dari contoh gambar.

Kami bertemu teman KBRI yang berasal dari Surabaya, KH Mas Mansur. Jadilah kami berbahasa ‘suroboyoan’ dalam berkomunikasi. Dari dia kami mendapat informasi bahwa minggu sebelumnya cuaca sudah 20 derajat, namun minggu ini turun menjadi 10 bahkan kadang dibawah sepuluh. Apalagi disertai angin. Anomali cuaca terjadi dimana-mana ya. Karena belum pernah mengalami kami tenang-tenang aja. Namun ketika menuju mobil jemputan dan keluar dari gedung bandara..brrrrtttt ups dinginnya menusuk tulang, angin yang berhembus sedikit saja seperti menampar pipi kami dan membuat jalan kami sempoyongan. Saya jadi ingat lagi ketika orang di Belgia di pesawat tersebut bertanya: Tidak takut dingin? Dan saya dengan sangat percaya diri menggelengkan kepala. Rasanya saya harus mengkoreksi gelengan kepala tersebut.

Sesampai di hotel dengan harga 32 euro perkepala dan diisi 4 orang (kami berempat), jadi 128 euro semalam. Setara dengan sekitar Rp. 1.500.000. Kami mendapat kamar ukuran 3 x 6 dengan dua tempat tidur kecil dua masing-masing bertingkat. Dan sprei, bantal masih dalam keadaan belum terbungkus. Dan disampingnya terdapat sprei dan bungkus bantal masih dalam plastic. Handuk tidak disediakan gratis dalam kamar, tidak ada TV, piring, ataupun gelas. Jadinya kami menggunakan tempat mi, sebagai tempat minum dan alas lainnya. Bahkan untuk memasak kembali mi bungkus yang kami bawa.

Streofom tersebut kami tahu berbahaya, tapi no choice. Esoknya kami semakin menyadari bahwa disini semua mesti dilakukan sendiri. Beberapa orang yang menginap ketika akan sarapan kami lihat membawa sendiri sprei dan sarung bantalnya dan diletakkan di tempat cucian. Bahkan ketika selesai makan, semua meletakkan piring yang sudah kotor ditempat yang sudah disediakan. Ternyata hotel kami menginap adalah hotel pelajar, 70% dari pengunjungnya remaja muda dan menjelang dewasa.

Meskipun kami juga melihat beberapa orang seusia kami. Yang menurut saya sangat berbeda antara remaja-remaja ini dengan remaja-remaja kita di tanah air adalah – selain tingginya pasti – tidak ada satupun dari mereka yang membawa telaphon genggam. Tidak ada satupun dari mereka asyik ber-sms atau bercengrama di telephon. Mereka berdiskusi tertawa-tawa dan bergembira dengan temannya dalam group kecil dan besar sembari makan, tanpa diganggu bunyi dering telephon maupun sms.

Wach, padahal di tanah air kita anak2 SD pun sudah berlomba-lomba meggunakan blackberry. Tanah tercinta, dengan jumlah penduduknya yang besar sungguh pasar yang luar biasa bagi operator seluler maupun handset. Selain itu, sungguh nikmat tinggal di Indonesia. Dengan berbekal uang 500.000 an ribu kita bisa mendatkan hotel yang layak, sarapan beragam, TV HBO dan service yang memuaskan. Tidak perlu membawa sendiri sprei yang habis dipakai ketempat laundry…he..he…

Saya jadi ingat, salah satu teman yang menikah dengan orang asing merasa sangat nyaman dengan jalan-jalan di Europe yang lempeng dan tidak macet. Dia berandai andai jika di Indonesia demikian. Namun dia juga menggaris bawahi: But I do still love hidup di Indonesia karena semua barang murah. Mungkin karena itu kita termanja, mungkin karena itu Belanda menjajah kita selama 350 tahun. Banyak yang tidak dimiliki Belanda, kita memilikinya. Meskipun setelah perdagangan bebas, semua memungkinkan. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, untuk mendapatkan terasi sangat sulit disini. Karena itu harganya jadi mahal. Wach, kita tidak bisa hidup tanpa terasi dan ikan asin khan?

Seorang teman yang hidup di Belanda selama empat tahun mengatakan sulit menerapkan sholat disini. Bagaimana tidak jam 5 pagi waktu setempat kami masih melihat bulan penuh. Jam 10 malampun langit masih benderang. Pasti sungguh repot manakala puasa. Bravo Indonesia – kami mesti berlari melihat surga bunga nih……

*The Hague 31 Maret 2010