Sabtu, 10 April 2010

Beruntunglah Hidup di Indonesia

*Pengalaman Sebelum Pameran di Belanda

Berangkat dengan KLM 0810 (maskapai Belanda) jam 18.50 on time, meskipun tidak cepat take off dikarenakan cuaca yang kurang bersahabat. Menunggu beberapa pesawat landing barulah pesawat kami take off. Keberangkatan kami sebelumnya dari Surabaya – Jakarta dengan pesawat kebanggaan kita bersama justru mundur (delay) satu jam.

Satu Jam kemudian kami mendarat di bandara Malaysia. Ops…kesan pertama saya, indah dan megah. Sangat modern. Sulit membayangkan, negara tetangga kita yang katanya dulu mengirimkan guru-gurunya untuk belajar di perguruan tinggi kita, mempunyai bandara yang luar biasa megah. Jauh lebih megah dari bandara kita. Orang-orang asing berseliweran, lebih banyak dari yang kami lihat ketika kami di bandara Soekarna Hatta – Jakarta.

Tidak terjadi penumpukan penumpang, karena trem siap setiap saat mengangkut penumpang yang datang untuk dibawa ke tujuannya masing-masing. Padahal ketika di Soekarno Hatta, untuk masuk immigrasi dan masuk ke pintu penerbangan kami harus melalui antrian cukup panjang. Didominasi orang local yang hendak melakukan ziarah dan umroh. Nampaknya kita mesti belajar dari Malaysia dalam hal ini, effisiensi dan memudahkan. Sehingga tidak terjadi penumpukan. Kasihan sekali, lansia (lanjut usia) yang mau berangkat umroh maupun haji. Sebaiknya tidak antri berlama-lama, karena mereka mesti menyimpan tenaga untuk melakukan ibadah selanjutnya.

Dari Malaysia, sekitar 30 menit kemudian kami berangkat menuju Amsterdam (Belanda). Sebelum memasuki pesawat, kami harus menunjukkan passport an tiket pesawat kami. Petugas di Malaysia tidak menunjukkan senyum, inilah kelebihan kita. Petugas kita masih lebih ramah. Ah seandainya semua bisa kita tingkatkan menjadi lebih baik, sehingga negara kita lebih menyamankan orang untuk tinggal.

Kami mendapatkan 3 kali makan, ketika penerbangan ke Malaysia, ketika terbang ke Amsterdam dan sarapan pagi sebelum sampai di Amsterdam. Jadi jangan takut untuk kelaparan. Setiap dua jam, pramugari berseliweran untuk menawarkan minuman termasuk ice cream. Saya agak kawatir karena pengalaman saya di toilet manapun di tanah air yang ‘tidak cukup bersih’ dan selalu dengan aroma yang khas. Maka saya menahan diri untuk pergi ke toilet pesawat apalagi saya lihat banyak orang yang menggunakannya. Namun saya hanya bertahan 10 jam dari sekitar 16 jam penerbangan kami.

Ternyata, toilet tersebut meskipun kecil tetap berbau harum. Cukup berbekal bahasa inggris sederhana kita bisa nyaman menggunakan toilet tersebut. Jadilah berkali-kali saya masuk ke toilet. Apalagi saya sedang datang bulan. Tips: Untuk teman-teman wanita yang akan melakukan bepergian seperti saya dan sedang datang bulan, sebaiknya membawa tas wanita dengan diisi cukup pembalut. Dan bisa menggantinya sesering yang dibutuhkan. Meskipun, jika anda meminta bantuan pramugari mereka akan dengan senang hari mencari dan memberikan tampon.

Salah satu menu makan malam kami berisi potongan buah nanas, papaya dan melon. Orang yang duduk di samping saya nyeletuk: entah ini buah dari mana, kalau buah dari Indonesia pasti lebih enak. Orang tersebut orang Belgia yang tinggal di Indonesia selama 2 tahun terakhir. Sebelumnya juga pernah beberapa kali tinggal di Indonesia tapi tidak menetap. Usianya sekitar 65 tahun, tinggal di Bandung. Menurutnya, Bandung adalah tempat teruwet di Indonesia (bahkan mungkin di Dunia?) tidak ada kedisiplinan dalam berlalu lintas. Dan menurutnya, karena di Indonesia anak-anak sekolah tidak pernah diajari kedisiplinan sejak kecil. Benarkah? Ah, saya enggan berdebat. Mencoba tidur adalah focus saya saat ini.

Alhamdulillah, jam 6,10 menit waktu Amsterdam kami landing di bandara Internasional Schiphol. Bandara yang besar sekali jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya tidak ada seperempatnya jumlah penduduk negara kita. Untungnya kami bertemu dengan teman-teman Undip yang sudah dijemput KBRI, dan kami bisa bersama mereka. Dengan guidance dari KBRI kami gampang melewati bandara yang luar biasa besarnya tersebut, jika tidak, mungkin akan gampang juga bagi kami untuk tersesat. Tiga macam tempat sampah tersedia di setiap sudut bandara. Paper, waste dan Pet lengkap dengan gambar dari masing-masing item yang dimaksud. Jika tidak mengerti arti tulisannya orang tetap bisa mengerti masing-masing kegunaan dari bak sampah dari contoh gambar.

Kami bertemu teman KBRI yang berasal dari Surabaya, KH Mas Mansur. Jadilah kami berbahasa ‘suroboyoan’ dalam berkomunikasi. Dari dia kami mendapat informasi bahwa minggu sebelumnya cuaca sudah 20 derajat, namun minggu ini turun menjadi 10 bahkan kadang dibawah sepuluh. Apalagi disertai angin. Anomali cuaca terjadi dimana-mana ya. Karena belum pernah mengalami kami tenang-tenang aja. Namun ketika menuju mobil jemputan dan keluar dari gedung bandara..brrrrtttt ups dinginnya menusuk tulang, angin yang berhembus sedikit saja seperti menampar pipi kami dan membuat jalan kami sempoyongan. Saya jadi ingat lagi ketika orang di Belgia di pesawat tersebut bertanya: Tidak takut dingin? Dan saya dengan sangat percaya diri menggelengkan kepala. Rasanya saya harus mengkoreksi gelengan kepala tersebut.

Sesampai di hotel dengan harga 32 euro perkepala dan diisi 4 orang (kami berempat), jadi 128 euro semalam. Setara dengan sekitar Rp. 1.500.000. Kami mendapat kamar ukuran 3 x 6 dengan dua tempat tidur kecil dua masing-masing bertingkat. Dan sprei, bantal masih dalam keadaan belum terbungkus. Dan disampingnya terdapat sprei dan bungkus bantal masih dalam plastic. Handuk tidak disediakan gratis dalam kamar, tidak ada TV, piring, ataupun gelas. Jadinya kami menggunakan tempat mi, sebagai tempat minum dan alas lainnya. Bahkan untuk memasak kembali mi bungkus yang kami bawa.

Streofom tersebut kami tahu berbahaya, tapi no choice. Esoknya kami semakin menyadari bahwa disini semua mesti dilakukan sendiri. Beberapa orang yang menginap ketika akan sarapan kami lihat membawa sendiri sprei dan sarung bantalnya dan diletakkan di tempat cucian. Bahkan ketika selesai makan, semua meletakkan piring yang sudah kotor ditempat yang sudah disediakan. Ternyata hotel kami menginap adalah hotel pelajar, 70% dari pengunjungnya remaja muda dan menjelang dewasa.

Meskipun kami juga melihat beberapa orang seusia kami. Yang menurut saya sangat berbeda antara remaja-remaja ini dengan remaja-remaja kita di tanah air adalah – selain tingginya pasti – tidak ada satupun dari mereka yang membawa telaphon genggam. Tidak ada satupun dari mereka asyik ber-sms atau bercengrama di telephon. Mereka berdiskusi tertawa-tawa dan bergembira dengan temannya dalam group kecil dan besar sembari makan, tanpa diganggu bunyi dering telephon maupun sms.

Wach, padahal di tanah air kita anak2 SD pun sudah berlomba-lomba meggunakan blackberry. Tanah tercinta, dengan jumlah penduduknya yang besar sungguh pasar yang luar biasa bagi operator seluler maupun handset. Selain itu, sungguh nikmat tinggal di Indonesia. Dengan berbekal uang 500.000 an ribu kita bisa mendatkan hotel yang layak, sarapan beragam, TV HBO dan service yang memuaskan. Tidak perlu membawa sendiri sprei yang habis dipakai ketempat laundry…he..he…

Saya jadi ingat, salah satu teman yang menikah dengan orang asing merasa sangat nyaman dengan jalan-jalan di Europe yang lempeng dan tidak macet. Dia berandai andai jika di Indonesia demikian. Namun dia juga menggaris bawahi: But I do still love hidup di Indonesia karena semua barang murah. Mungkin karena itu kita termanja, mungkin karena itu Belanda menjajah kita selama 350 tahun. Banyak yang tidak dimiliki Belanda, kita memilikinya. Meskipun setelah perdagangan bebas, semua memungkinkan. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, untuk mendapatkan terasi sangat sulit disini. Karena itu harganya jadi mahal. Wach, kita tidak bisa hidup tanpa terasi dan ikan asin khan?

Seorang teman yang hidup di Belanda selama empat tahun mengatakan sulit menerapkan sholat disini. Bagaimana tidak jam 5 pagi waktu setempat kami masih melihat bulan penuh. Jam 10 malampun langit masih benderang. Pasti sungguh repot manakala puasa. Bravo Indonesia – kami mesti berlari melihat surga bunga nih……

*The Hague 31 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar