Selasa, 29 Desember 2009

Nasibmu TKI

Balqis Muhyidin

Mungkin judul tulisan ini, Nasibmu TKI (Tenaga Kerja Indonesia) seolah olah menyatakan bahwa saya tidak berpihak kepada mereka. Bahwa apapun yang terjadi dengan mereka, ya persoalan mu alias dirimu sendiri bukan diri kami atau diri kita, bukan saya. Karena itu tidak salah jika selama tahun 2009 seribu delapan belas TKI (Jawa Pos, 18 Desember 2009) tewas ketika bekerja, dan saya – kita! terkesan tidak berdaya mencegahnya.

Seribu delapan belas TKI, bukanlah sekedar angka namun jumlah jiwa. Jumlah yang tidak sedikit. Jiwa warga negara Indonesia, karena keterbatasan lapangan pekerjaan yang dimiliki oleh Negara ini mengadu nasib ke negeri lain. Demi kelangsungan hidup keluarga. Memenuhi urusan perut, kadang banyak perut yang harus mereka tanggung. Sepadankah jika siksaan bahkan kematian yang mereka peroleh?

Ketika saya membaca alasan beberapa TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Menterjemahkan alasan kepulangan, ketika suami saya bekerja di salah satu asuransi yang mengurusi TKI di Jawa Timur. Saya, sering mengeryitkan dahi. Bagaimana tidak, alasan-alasan itu bagi saya pribadi sungguh tidak masuk akal. Sungguh tidak manusiawi. Antara lain, TKW tersebut dipulangkan karena keringatnya bau. Karena anjingnya tidak suka dsb…dsb. Se-rendah itukah, harga tenaga kerja wanita kita? Sehingga seekor anjing bisa menjadi persoalan baginya untuk tidak mendapatkan pekerjaan?

Tulisan ini bukan meniadakan bahwa mungkin tenaga kerja kita terkadang mempunyai persoalan-persoalan internal yang mesti diselesaikan. Namun, tidak bisakah kita mengirim mereka untuk menjadi lebih professional, sehingga orang tidak semena-mena kepada mereka?

Saya tidak pernah ada di birokrat, sehingga mungkin apa yang saya sampaikan terkesan mustahil bagi birokrat. Benarkah? Jika menurut kaca mata sederhana saya, hal ini hanya tentang dua hal. Satu, menyiapkan mereka seoptimal mungkin sebelum berangkat, pelatihan-pelatihan yang bisa dicerna dengan cepat dan mudah dimengerti. Bisa diaplikasikan dan memang berguna untuk pekerjaan mereka kelak.

Tidak ada salahnya memberi info tambahan tentang Negara yang dituju berikut kebiasaan-kebiasaan dan etika masyarakatnya. Bagus juga jika ditambah dengan pelatihan kepribadian sederhana. Sehingga mereka bisa menjadi tenaga kerja yang bisa menempatkan diri dan menyenangkan. Dengan sendirinya akan meningkatkan price dari TKI/TKW.

Dua, Negara tercinta ini membuat hubungan diplomatis yang setara dengan Negara penerima TKI/TKW. Membuat hotline 24 jam, buku saku atau apalah yang bisa mereka akses dalam kondisi darurat. Dan juga secara rutin KBRI setempat mengecek keberadaan warganya, berbicara langsung dengannya. Sehingga kasus-kasus penyekapan sekian bulan bisa diminimalkan.

Saya menyadari adanya TKI/TKW yang berangkat secara illegal. Menyulitkan penanganannya. Benarkah itu? Bukankah petugas immigrasi, bandara/ pelabuhan adalah pegawai pemerintah? Bukankah masih berada dalam satu lini untuk koordinasi? Benarkah itu masalah yang tidak bisa dipecahkan? Bukankah kita punya data wilayah-wilayah sending area atau wilayah-wilayah yang banyak mengirimkan TKI, bisa khan kita mulai melakukan sesuatu dari sana?

Ketika TKI/TKW menjadi tenaga kerja yang mumpuni dan handal, saya pikir keringat bau ataupun alasan yang tidak masukan akal lainnya tidak akan dengan mudah mendepak mereka. Dengan mempertimbangkankan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi TKI/TKW yang tidak murah. Sungguh menyedihkan jika mereka mesti dipulangkan hanya dalam kurun waktu satu atau dua bulan. Meskipun itu masih lebih baik dari pada mereka hanya pulang berupa jasad.

Saya yakin seseorang bisa melakukannya. Seseorang yang mau dan mempunyai kesempatan. Membenahi kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan TKI/ TKW. Semoga, orang yang punya kewenangan agar dampaknya bisa lebih besar. Sehingga teman-teman, saudara-saudara kita ketika kembali ke tanah air, tidak hanya nama. Ketika pulang, mereka bisa menikmati hasil jerih payah dalam keadaan sehat, berkumpul dengan keluarga. Mengganti waktu waktu penuh kerinduan dan kerja keras yang sudah dilakukan sebelumnya. Untuk itulah, seharusnya keringat mereka menetes.

Di Taman yang Indah, 19 December 2009

Jumat, 18 Desember 2009

Mencintai Batik Adalah Mencintai Indonesia

Balgis Muhyidin

Sebelum tanggal 15 oktober lalu, saya menerima banyak sms yang berisikan ajakan untuk mengenakan busana batik di hari tersebut. Sebagai bentuk solidaritas terhadap pengukuhan batik oleh Unesco sebagai warisan budaya asli Indonesia. Namun ketika di hari H, saya me reply sms teman-teman tersebut dengan pertanyaan: Apakah anda menggenakan batik hari ini?. Jawaban yang saya terima beragam. Ada yang menjawab, ya iyalah masak iya donk. Atau cukup dengan yoi. Dan he..he… lupa.

Dalam beberapa bulan terakhir ini (khususnya di Surabaya) banyak pameran bertajuk batik. Ada pameran khusus batik, batik dengan handycraft lainnya ataupan pameran lain namun menempelkan unsur batik. Dari pengamatan saya, remaja pun banyak yang mengenakan batik dan mereka tidak nampak jadul (jaman dulu). Model dengan bahan dasar batik yang ditawarkan saat ini mempunyai banyak pilihan. Hal ini menjadi angin segar bagi pengrajin, dengan banyaknya kesempatan pameran mereka memunyai banyak kesempatan untuk memasarkan hasil karyanya.

Batik, sebagai sebuah produk sebagaimana pergeseran jaman, batik juga mengalami perubahan. Meskipun masih ada batik yang tetap mempertahan pakem dengan tetap mempunyai makna filosofi pada setiap motifnya. Misalnya motif kuno Sidomukti, biasa dipakai pada saat pernikahan dengan harapan pernikahan tersebut akan langgeng dan membahagiakan. Atau motif kuno Satrio Manah, yang mempunyai arti bahwa pemakai batik ini adalah orang yang menjunjung tinggi moral dalam mencapai tujuannya. Di Jawa Timur, motif kuno yang mirip motif batik kuno dari Solo dan Jogja banyak ditemui salah satunya pada batik tulis yang berasal dari Tulung Agung.

Selain pergeseran motif, batik juga mengalami pergeseran cara pembuatan. Jika sebelumnya batik hanya ada batik tulis, maka sekarang banyak dibuat batik cap. Biasanya digunakan dalam jumlah besar agar mendapatkan batik yang sama, umumnya untuk seragam. Bahkan kain dengan motif batik, juga disebut batik. Padahal proses pembuatan batik, baik batik tulis maupun cap melalui beberapa tahap yang cukup rumit dan memakan waktu lama hingga akhirnya kain menjadi bahan. Selembar batik tulis bisa memakan waktu seminggu, dua minggu bahkan bisa berbulan-bulan.

Yang pasti, batik cap khususnya batik tulis banyak menyerap tenaga kerja manusia dalam pembuatannya. Seharusnya jika kita mencintai negeri ini, kita bisa memberikan sumbangan yang luar biasa jika masing-masing dari kita mempunyai koleksi batik tulis yang bukan hanya digunakan saat kondangan. Sehingga pengrajin batik tidak perlu eksport (yang aturannya dirasa cukup menyulitkan bagi sebagian pengrajin). Mengenakan batik pada setiap kesempatan. Mengenakannya dengan bangga. Sehingga siapapun tidak ada yang bisa mengklaim, bahwa batik milik mereka. Kesempatan mengklaim akan muncul, ketika kita menempatkan batik dalam sebuah ruang terisolasi dan tidak menjadi bagian keseharian kita.

Dengan menggenakan batik, kita sudah menciptakan dan melanggengkan lapangan pekerjaan. Sehingga membatik tidak hanya dilakukan oleh kelompok tua namun para pencari pekerja baru bisa melirik lapangan pekerjaan ini sebagai salah satu pilihan yang menjanjikan. Pekerjaan ini tidak harus dilakukan dikota yang pada akhirnya mengurangi urbanisasi dari desa ke kota. Sehingga kota tidak harus dibanjiri pencari lowongan pekerjaan yang dipenuhi mimpi-mimpi yang kadang menyesatkan.

Itulah uniknya pengrajin batik, dengan tetap berada di daerah asal. Pengrajin akan tetap mempertahankan ke-orisinil-an dan nilai estetika dari masing-masing daerah berikut ciri khasnya. Tidak harus menunggu himbauan presiden untuk mengenakan batik, tidak harus menunggu peraturan pemerintah untuk menggenakan batik di hari kamis dan jum’at. Namun mari mencintainya dari lubuk hati yang terdalam, membelinya dan menggenakannya dengan bangga. Selembar batik tulis adalah hasil upaya kerja keras, kecintaan untuk melestarikan budaya, imajinasi, semangat dan cinta yang tak pernah luruh.