Jumat, 18 Desember 2009

Mencintai Batik Adalah Mencintai Indonesia

Balgis Muhyidin

Sebelum tanggal 15 oktober lalu, saya menerima banyak sms yang berisikan ajakan untuk mengenakan busana batik di hari tersebut. Sebagai bentuk solidaritas terhadap pengukuhan batik oleh Unesco sebagai warisan budaya asli Indonesia. Namun ketika di hari H, saya me reply sms teman-teman tersebut dengan pertanyaan: Apakah anda menggenakan batik hari ini?. Jawaban yang saya terima beragam. Ada yang menjawab, ya iyalah masak iya donk. Atau cukup dengan yoi. Dan he..he… lupa.

Dalam beberapa bulan terakhir ini (khususnya di Surabaya) banyak pameran bertajuk batik. Ada pameran khusus batik, batik dengan handycraft lainnya ataupan pameran lain namun menempelkan unsur batik. Dari pengamatan saya, remaja pun banyak yang mengenakan batik dan mereka tidak nampak jadul (jaman dulu). Model dengan bahan dasar batik yang ditawarkan saat ini mempunyai banyak pilihan. Hal ini menjadi angin segar bagi pengrajin, dengan banyaknya kesempatan pameran mereka memunyai banyak kesempatan untuk memasarkan hasil karyanya.

Batik, sebagai sebuah produk sebagaimana pergeseran jaman, batik juga mengalami perubahan. Meskipun masih ada batik yang tetap mempertahan pakem dengan tetap mempunyai makna filosofi pada setiap motifnya. Misalnya motif kuno Sidomukti, biasa dipakai pada saat pernikahan dengan harapan pernikahan tersebut akan langgeng dan membahagiakan. Atau motif kuno Satrio Manah, yang mempunyai arti bahwa pemakai batik ini adalah orang yang menjunjung tinggi moral dalam mencapai tujuannya. Di Jawa Timur, motif kuno yang mirip motif batik kuno dari Solo dan Jogja banyak ditemui salah satunya pada batik tulis yang berasal dari Tulung Agung.

Selain pergeseran motif, batik juga mengalami pergeseran cara pembuatan. Jika sebelumnya batik hanya ada batik tulis, maka sekarang banyak dibuat batik cap. Biasanya digunakan dalam jumlah besar agar mendapatkan batik yang sama, umumnya untuk seragam. Bahkan kain dengan motif batik, juga disebut batik. Padahal proses pembuatan batik, baik batik tulis maupun cap melalui beberapa tahap yang cukup rumit dan memakan waktu lama hingga akhirnya kain menjadi bahan. Selembar batik tulis bisa memakan waktu seminggu, dua minggu bahkan bisa berbulan-bulan.

Yang pasti, batik cap khususnya batik tulis banyak menyerap tenaga kerja manusia dalam pembuatannya. Seharusnya jika kita mencintai negeri ini, kita bisa memberikan sumbangan yang luar biasa jika masing-masing dari kita mempunyai koleksi batik tulis yang bukan hanya digunakan saat kondangan. Sehingga pengrajin batik tidak perlu eksport (yang aturannya dirasa cukup menyulitkan bagi sebagian pengrajin). Mengenakan batik pada setiap kesempatan. Mengenakannya dengan bangga. Sehingga siapapun tidak ada yang bisa mengklaim, bahwa batik milik mereka. Kesempatan mengklaim akan muncul, ketika kita menempatkan batik dalam sebuah ruang terisolasi dan tidak menjadi bagian keseharian kita.

Dengan menggenakan batik, kita sudah menciptakan dan melanggengkan lapangan pekerjaan. Sehingga membatik tidak hanya dilakukan oleh kelompok tua namun para pencari pekerja baru bisa melirik lapangan pekerjaan ini sebagai salah satu pilihan yang menjanjikan. Pekerjaan ini tidak harus dilakukan dikota yang pada akhirnya mengurangi urbanisasi dari desa ke kota. Sehingga kota tidak harus dibanjiri pencari lowongan pekerjaan yang dipenuhi mimpi-mimpi yang kadang menyesatkan.

Itulah uniknya pengrajin batik, dengan tetap berada di daerah asal. Pengrajin akan tetap mempertahankan ke-orisinil-an dan nilai estetika dari masing-masing daerah berikut ciri khasnya. Tidak harus menunggu himbauan presiden untuk mengenakan batik, tidak harus menunggu peraturan pemerintah untuk menggenakan batik di hari kamis dan jum’at. Namun mari mencintainya dari lubuk hati yang terdalam, membelinya dan menggenakannya dengan bangga. Selembar batik tulis adalah hasil upaya kerja keras, kecintaan untuk melestarikan budaya, imajinasi, semangat dan cinta yang tak pernah luruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar